BAB
I
PENDAHULUAN
Puji syukur kita panjatkan atas
rahmat yang diberikan Allah pada hambnya, Salawat dan salam tak lupa kita
kirimkan buat junjungan umat yakni Muhammad SAW.
Selanjutnya pada makalah ini sedikit akan menguraikan tentang hubungan
filsafat dengan ilmu lainnya terutama kaitan filsafat dengan agama, pendidikan
dan kebudayaan. Karena suatu ilmu tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada ilmu
yang lain. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana pandangan dan hubungan
filsafat terhadap agama, pendidikan dan kebudayaan.
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah menyadari masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.
Penulis
BAB
II
PEMBAHASAN
HUBUNGAN
FILSAFAT DENGAN PANDIDIKAN,
AGAMA,
DAN KEBUDAYAAN
A. Hubungan Filsafat dengan Pendidikan
Antara Filsafat dan pendidikan terdapat hubungan
horizontal, meluas kesamping yaitu hubungan antara cabang disiplin ilmu yang
satu dengan cabang yang lain, yang berbeda, sehinggan merupakan syintesa yang
merupakan terapan ilmu pada bidang kehidupan, yaitu ilmu filsafat pada
penyesuaian problema, pendidikan dan
pengajaran.
Dengan demikian tugas pendidik atau guru adalah menanamkan nilai norma ukuran tingkah laku
kepada anak didik, yang mungkin bersumber pada dasar-dasar agama, filsafat atau
tradisi kebudayaan tertentu.
Dengan berkesimpulan bahwa filsafat dirumuskan sebagai
teori pendidikan yang bersifat umum dan konsepsional.
Filsafat menjadikan manusia berkembang, mempunyai
pandangan hidup yang menyeluruh secara sistematis, maka hal yang semacam ini
telah dituangkan dalam sistem pendidikan, agar dapat terarah untuk mencapai tujuan pendidikan. Usaha
berfilsafat adalah usaha berpandangan menyeluruh dan sistematis yang diharapkan
manusia itu dapat mengusainya, yang demikian ialah melalui proses ilmu
pengetahuan, melalui proses ini manusia menegaskan pikirannya untuk bekerja
sesuai dengan aturan dan hukum-hukum yang ada
B.
Hubungan Filsafat dengan
Agama (Wahyu dan Akal)
Filsafat, sebagai proses berpikir yang sistematis dan
radikal juga memiliki objek material dan objek formal objek material filsafat
adalah segala yang ada mencakup “ada yang tampak dan yanga da yang tidak
tampak”. Ada yang tampak adalah dunia empiris sedangkan ada yang tidak tampak
adalah alam metafisika. Sebagai filosof membagi objek material filsafat atas
tiga bagian, yaitu : yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran, dan yang
ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang
menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai
hakekatnya.
Agama adalah suatu sistem percayaan kepada tuhan yang
dianut oleh sekompok manusia dengan sellau mengadakan interaksi dengan-Nya.
Pokok persoalan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, Manusia dan
hubungan antara manusia dan Tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya
merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk dan bagian dari
benda alam termasuk kedalam katagori fisika. Dengan demikian, filsafat
membahas agama dari segi metafisik.
Pendekatan objektif adalah metode yang sesuai dengan
realitas objektif dengan meminimalkan subjektifitas pembahasan. Pendekatan
objektif ini perlu dalam filsafat agama karena pada dasarnya aspek
subjektifitas pada agama sangat kuat.
Lagi pula mayoritas pembahas filsafat agama adalah orang-orang yang telah
menganut agama tertentu. Karena itu, pembahasan filsafat agama perlu ditekankan
pada segi objektifitas , kendati tidak dinafikan samasekali masuknya unsur
subjektifitas tadi. Namun , dalam pembahasan dasar agama yang bersifat umum
diusahakan seobjektif mungkin.
Berpikir secara bebas dalam membahas dasar-dasar agama dapat mengambil
dua bentuk, yaitu :
- Membahasa dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat pada ajaran-ajaran dan tanpa ada tujuan untuk menyatakan suatu kebenaran suatu agama.
- Membahas dasar-dasar agama secara analisis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran ajaran-ajaran agama, atau sekurang-kurangnya untuk menyelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidak bertentang dengan agama. Dalam pembahasan semacam ini seseorang masih terikat pada ajaran agama.
Kebebasan berpikir dalam arti a tidak mempunyai tujuan apakah
untuk mendukung agama atau tidak. Hal tersebut dapat berakibat pada pemikiran
yang tidak terkendali dan akhirnya terjerumus pada atheisme. Kebebesan dalam
arti b tidak sebebas-bebasnya, tetapi masih terikat dengan tujuan dan
ajaran-ajaran pokok agama, sehingga seseorang tidak akan terbawa pada
pemikiran yang menentang agama.Kebebasan
pembahasan dalam filsafat agama adalah kebebaasn dalam berpikir dalam arti b.
C. Hubungan Filsafat dengan Kebudayaan
Kebudayaan
adalah suatu konsep yang berkaiatan
dengan keseluruhan cara-cara hidup dari masyarakat manusia, atau kebudayaan
adalah suatu matriks yang lengkap dan komplek jalinan relasinya dari
lembaga-lembaga politik, sosial, ekonomis, keagamaan dan juga kepercayaan,
aspirasi ideal dan cita-cita tetap pemikiran-pemikiran yang membimbing orang
dalam kehidupannya baik sebagai individu dan masyarakat.
Manusia sebagai makhluk budaya mampu berspekulasi dan
berteori filsafat yang akan menentukan kebudayaannnya, bahkan sampai sadar dan
jujur mengakui pernyataan Tuhan dan
ajaran agama.
Makhluk budaya manusia tidak mau tunduk, bersikap
pasrah kepada kodrat alamiahnya, dan memang apa yang dibawa sejak lahir tidak
lebih hanya merupakan potensi-potensi yang akan berkembang menjadi kenyataan
yang realita bilamana saja usaha-usaha baik dari manusia maupun masyarakatnya.
Anak manusia yang pada saat melepaskan diri dari dunia dan kehidupan yang amamn
dan tentram, dari dalam kandungan ibunya, tidak berdaya dan karena itu sangat
membutuhkan pertolongan hanya dalam waktu lima – enam tahun telah siap
melepaskan diri dari kandungan keluarganya dan telah mempu berpikir dan
berbahasa secara sederhana. Anak manusia yang menjelang ambang kedewasaannya
telah mampu mempermasalah dirinya, siapa dia apa yang dapat di harapkan yang
tidak dari dirinya, mempertanyakan apa itu hidup, dari mana sumbernya dan arah
tujuan apa dan mana yang akan dicapainya.
Dengan demikian manusia sebagai makhluk budaya
bukanlah setan tetapi bukan pula malaikat, tetapi suatu ketika dapat berubah
kearah bentuk yang dan jenis makhluk demikian itu, atau memiliki
potensi-potensi kearah itu sebagai setan, manusia memiliki kecendrungan untuk
menghancurkan nilai-nilai kebudayaan yang telah diciptakannya sendiri, dan
sebagai malaikat, manusia mendapat kepercayaan dan kehormatan dari tuhan untuk
berperan sebagai malaikat, sebagai penyuluh agama bagi manusia-manusia kearah
jalan yang benar dan baik.
D. Hubungan antara filsafat, Agama dan Kebudayaan, Pendidikan
Brameld memberi suatu contoh sebagai illustrasi
tentang hubungan antara filsafat, agama dan
kebudayaan dan pendidikan.
Ket
1
: Ilmu Pengetahuan (science)
2
: Ekonomi (Economycs )
3
: Sosial (Human Relation)
4
: Politik ( Politics)
5
: Agama ( Religion)
6
: Kesenian (Arts)
7
: Pendidikan (Education)
(1)
Bagan tersebut menggambarkan bahwa
dasar filsafat merupakan simbol, atau sumber kebudayaan sehingga apabila logika
dibalik, kebudayaan merupakan pengejawantahan dari sumber dasar filsafat, yaitu
sumber-sumber nilai dasar atau etos-etos, yaitu nilai-nilai spiritual ethis
yang mendasari tingkah laku manusia.[1]
(2)
Bagan menggambarkan jumlah dan
jenis unsur-unsur kebudayaan yang umum dijumpai dari pola kebudayaan terutama
dari sudut pendekatan sekuler ilmiah demokratis. [2]
(3)
Bagan menggambarkan pola dan perkembangn unsur-unsr kebudayaan
yang normal dan serempak dan yang seharusnya demikian sehingga tidak satu unsur
pun mendahului lebih cepat dari yang lain pada hal dalam kenyataannya tidak
mungkin demikian, kecuali dengan perencanaan sosial.[3]
(4)
Bagan menggambarkan fungsi peranan
pendidikan sebagi unsur pengikat dan tenaga pengembang kebudayaan, sehinggan
perkembangan pendidikan merupakan indikator sosial dari pada perkembangan
kebudayaan dari suatu bangsa dan negara tertentu.[4]
(5)
Bagan menggambarkan, sesuai dengan
butir (1) diatas, bahwa perbedaan dasar nilai-nilai filsafat atau etos-etos
filsafat akan menyebabkan jumlah dan jenis dan unsur-unsur kebudayaan, seperti
negara totaliter monistis komunistis tidak mengakui unsur sosial dan agaman
dalam pola kebudayaannya.[5]
(6)
Bagan menggambarkan ,sesuia dengan
butir (3) diatas kemungkinan terjadinya “ Differential diffusion of culture”
artinya ketidak samaan arah dan kecepatan perkembangan unsur-unsur kebudayaan,
yang pada suatu ketika dapat menimbulkan masalah-masalah sosial dan
klebudayaan.
[1] Ali
Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional
1977) , Cet. 1, hal 117
[2]
Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan,(Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1997) Cet. hal 116
[3] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama 1 (Jakarta : LogosWacana Ilmu, 1997) cet.1
hal.1
[4] Harun
Nasution,Falsafah Aga,ma (Jakarta : Bulan Bintang, 1991) Cet. hal. 4
[5] Amsal
Bakhtiar, Loc, cif
0 Comment