BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam abad XX ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi semakin pesat, karena muncul berbagai penemuan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Khususnya di bidang kedokteran telah banyak penemuan obat-obatan, alat-alat mekanik, serta cara-cara perlindungan terhadap penyakit.
Hampir semua aspek kehidupan manusia tersentuh oleh teknologi, harus disadari bahwa teknologi telah membawa banyak manfaat untuk umat manusia. Di antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut, diagnose mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan peralatan kedokteran yang modern itu,rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu jangka waktu tertentu, dengan memasang sebuah “ respirator “. Bahkan perhitungan saat kematian penderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Yang menjadi persoalan ialah jenis kematian yang ketiga, yaitu kematian dalam kategori euthanasia atau biasa disebut juga mercy killing. Euthanasia biasa didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan tenang. Hal ini dapat terjadi karena dengan pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya, karena penderitaan yang sangat hebat dan tiada akhir, atau tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pertolongan pengobatan seperlunya.
Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan dalam pengakhiran hidupnya, bagi banyak negara masih menjadi perdebatan yang sengit. Sampai sekarang ini, kaidah non hukum yang manapun (agama, moral, kesopanan), menentukan: membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh adalah perbuatan yuang tidak baik.
Pada dasarnya masalah euthanasia ini timbul dari adanya suatu dilema, apakah seorang dokter mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau dari keluarganya, dengan dalih untuk menghilangkan atau mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik bathin, dimana sebagai manusia biasa sang dokter tidak sampai hati menolak permintaan dari pasien dan keluarganya itu. Apalagi keadaan si pasien yang sekarat berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang diberikan itu maka dokter telah melanggar hukum, disamping itu juga telah pula melanggar sumpah dokter yang telah diucapkannya sebelum menjalankan profesi sebagai seorang dokter.
Dalam memecahkan masalah ini, ada cara yang cukup unik yaitu bila keadaan antara hidup dan mati (maribundity), maka proses dan usaha medis jika tiada berpotensi lagi, penyembuhan harus dihentikan. Dengan perkataan lain, bahwa dalam keadaan demikian maka pembunuhan karena kasihan/karena terpaksa yang diijinkan oleh dokter diperbolehkan. Dalam hubungan itu, bahkan ada dokter yang berpendapat bahwa dokter itu boleh mengeluarkan atau mencabut alat yang diperjuangkan untuk memperpanjang hidup dari seorang pasien yang dalam keadaan expiration of the soul, yaitu apabila proses kematian sudah mulai nampak.
Menurut dr. Kartono Muhammad (Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia), seperti dikutip Akh Fauzi Aseri. Ia mengatakan seseorang dianggap mati apabila batang otak yang menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi. Tegasnya, batang otak merupakan pedoman untuk mengetahui masih hidup atau matinya seseorang yang sudah tidak sadar. Dari sini mesin-mesin pembantu seperti pemacu jantung dapat dicabut tanpa dituduh melakukan euthanasia terhadap penderita.
Lahir dan mati adalah takdir, demikianlah pendapat dari sebagian besar masyarakat Indonesia, dan tidak ada seorangpun yang dapat menghindari/menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Kematian dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, karena uzur, penyakit, kecelakaan, bunuh diri, bahkan dibunuh oleh orang lain, semua menurut sebagian besar masyarakat Indonesia adalah takdir.
Pada umumnya, kelahiran selalu membawa kebahagiaan, dan kematian selalu membawa kesedihan. Kematian secara alamiah, dapat selalu diterima sebagai sesuatu hal yang wajar, sebab manusia pada saatnya akan mati, tetapi mati tidak secara alamiah adalah mati yang tidak diharapkan.
Pada mati tidak secara alamiah, apakah itu pengakhiran hidup dengan bunuh diri (zelfmoord) atau minta “dibunuh” (diakhiri hidupnya – selanjutnya euthanasia), akan ada hubungannya dengan hak seseorang untuk mati secara tidak alamiah (selanjutnya “hak untuk mati”) dari seseorang.
Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati, adalah hak asasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of selfdetermination –TROS), sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Euthanasia dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang menyangkut kepada suatu tindakan untuk penghentian kehidupan seseorang, walaupun dengan kerelaan dan atas permintaan orang itu sendiri, maka perbuatan ini bisa dimasukan sebagai jarimah pembunuhan. Karena pembunuhan adalah peniadaan atau perampasan nyawa seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh anggota badan disebabkan ketiadaan roh sebagai unsur utama menggerakan tubuh.
Dalam Islam masalah kematian manusia merupakan hak prerogatif Allah SWT. Jadi perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan untuk menghentikan hidup seseorang itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendakNYA. Allah SWT melarang perbuatan yang mengarah kepada kematian dalam bentuk apapun, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, termasuk di dalamnya euthanasia, karena tindakan pembunuhan secara euthanasia ini merupakan pembunuhan tanpa hak, Allah berfirman dalam al-Qur’an:
لا تقتلوا أنفسكم ان الله كان بكم رحيما0
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق ذالكم وصاكم به لعلكم تعقلون0
من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الارض فكانما قتل الناس جميعا0
وهو الذي أحياكم ثم يميتكم ثم يحييكم ان الانسان لكفور
Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:
1. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.
2. Janda (yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi (dengan mata kepala sendiri).
3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah Islam.
Jika dibandingkan dengan ketiga faktor di atas maka terjadinya tindakan euthanasia tidak ada satupun karena alasan bil haq.
Jadi tindakan euthanasia merupakan tindakan pembunuhan dengan unsur kesengajaan dan direncanakan, walaupun ada unsur kerelaan dari pasien. Dalam unsur euthanasia terdapat tiga hal yaitu dokter sebagai pelaku euthanasia, keluarga sebagai pihak pemberi izin dan sisakit sebagai korban euthanasia. Tindakan euthanasia dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dengan adanya unsur perencanaan. Jadi dalam masalah euthanasia ini merupakan tindakan pembunuhan yang disengaja dan direncanakan
Di dalam hukum Islam, kerelaan korban untuk dibunuh bukan suatu penyebab kebolehan pembunuhan, karena kerelaan korban itu bukan merupakan unsur jarimah pembunuhan, sekalipun ada prinsip lain bahwa korban atau keluarganya berhak memaafkan sanksi qisas atau diyat atau keduanya.
Allah melarang adanya pembunuhan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pada dasarnya Allah memberikan hukuman qisas bagi pembunuhan, yang merupakan hak Tuhan, tetapi pihak keluarga diberikan hak atas tuntutan tindak pidana baik itu pembunuhan maupun pelukaan berupa hukuman diyat atau dimaafkan secara mutlak. Karena hal ini sangat berguna untuk kelangsungan hidup pihak keluarga korban maupun pihak pelaku kejahatannya.
Permasalahan Euthanasia ini sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra baik pada pandangan hukum, etika, agama, budaya dan lain-lain pada umumnya dan juga pada pandangan Islam dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam) khususnya, dalam menentukan hukumnya. Untuk itu penyusun berusaha meneliti masalah Euthanasia ini dalam Prespektif Fiqh Jinayah.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan pokok masalah sebagai berikut:
Apakah euthanasia merupakan tindak pidana dalam tinjauan Fiqh Jinayah?
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan pokok masalah di atas, penyusunan skripsi ini bertujuan untuk:
Menjelaskan bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap masalah euthanasia.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah :
Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran di dalam menambah khasanah pengetahuan tentang hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah.
D. Telaah Pustaka
Kajian tentang Euthanasia dalam prespektif medis, hukum, psikologi, etika dan ham banyak dibicarakan oleh banyak praktisi, seperti ulama, ahli hukum, ahli medis, psikolog.
Ada beberapa buku yang telah membahas tentang masalah euthanasia, diantaranya: dalam buku Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, karya Petrus Yoyo Karyadi. Buku ini meninjau dan menyoroti permasalahan euthanasia dari segi HAM, diantaranya mengemukakan tentang apakah tindakan euthanasia merupakan hak asasi manusia?. Dan juga menjelaskan bahwa dalam hak asasi manusia terdapat hak untuk hidup dan hak untuk mati.
Dalam buku Mengapa Euthanasia ?: Kemajuan Medis dan Konsekuensi Yuridis, karya F.Tengker, buku ini menjelaskan bahwa Euthanasia atau kematian baik adalah demi kepentingan pasien semata-mata bukan untuk kenyamanan orang-orang yang sehari-hari berada di sekelilingnya. Euthanasia harus berlangsung atas dasar suka rela, yaitu atas permintaan pasien itu sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. Dan dari segi yuridis dalam masalah euthanasia ini. Jika dokter melakukan tindakan euthanasia secara non alami maka dokter bisa dituntut pasal 344 karena bersalah menghilangkan nyawa orang atas permintaan, dan pasal 354 karena menolong orang bunuh diri.
Dalam buku Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, karya Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, buku ini menjelaskan kedudukan Euthanasia dengan Hak Asasi Manusia, yang memuat tentang Hak untuk Mati seseorang dan kaitannya dengan hukuman mati. Dan hal ini juga dilihat dari prespektif hukum pidana; bagaimana kedudukan Euthanasia dalam KUHP dan juga bagaimana prospeknya di masa depan dalam KUHP.
Dalam Skripsi yang berjudul “Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Euthanasia yang dipaksa menurut KUHP dan Hukum Islam”, hasil karya Imawan Mukhlas Abadi, yang merupakan study analisis komparatif terhadap KUHP dan hukum Islam tentang pelaku euthanasia yang dipaksa . Dalam karya tulis tersebut menekankan cara dilakukannya euthanasia yang ada unsur paksaannya dan sanksi hukum terhadap pelaku euthanasia yang dipakai, hubungannya dengan HAM, sebagian yang kontra menganggap hak untuk hidup sebagai dasarnya, bagi yang pro menganggap selain punya hak untuk hidup manusia juga mempunyai hak untuk mati.
Dalam skripsi yang berjudul “Euthanasia dalam Prespektif Etika Situasi”, karya Anna Iffah Akmala, yang merupakan pandangan Etika situasi terhadap Euthanasia yang meliputi manusia dalam sudut pandang Etika Situasi, kehidupan dan kematian yang manusiawi serta pandaangan Etika Situasi terhadap Euthanasia. Juga terdapat perkembangan euthanasia di berbagai negara dan ethanasia dalam tinjauan berbagai agama.
Di sekian penelitian yang ada yang membahas euthanasia ini semuanya mengacu pada permasalahan medis sebagai objek penelitian dasarnya, dan penelitian-penelitian di atas merupakan bentuk-bentuk macam penelitian dalam segi medis ditinjau dari berbagai aspek. Yang membedakan antara penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini peneliti meneliti permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah, yang mana tindakan euthanasia yang terdapat suatu unsur tindakan pembunuhan, yang dilakukan secara suka rela atas permintaan sendiri dikarenakan sakit. Dalam Skripsi ini akan dibahas apakah tindakan euthanasia ini termasuk pembunuhan dan dapat dikenai sanksi, sebagaimana tindakan pembunuhan pada umumnya, dalam prespektif Fiqh Jinayah. Sedangkan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian yang meninjau dari segi Hukum Pidana Positif, Komparasi Hukum Islam dengan Hukum Pidana Positif dalam masalah euthanasia yang dipaksa, HAM, Konsekwensi Yuridis dan kajian Etika.
E. Kerangka Teoretik
Euthanasia merupakan istilah untuk pertolongan medis agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal dunia diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Menurut Petrus Yoyo Karyadi, euthanasia adalah dengan sengaja dokter atau bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya atau tenaga ahli lainnya melakukan suatu tindakan medis tertentu untuk mengakhiri hidup pasien atau mempercepat proses kematian pasien atau tidak melakukan tindakan medis untuk memperpanjang hidup pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran sulit untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan dan atau keluarga sendiri, demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Euthanasia pada garis besarnya ada dua, yakni euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Definisi euthanasia aktif ialah sengaja diambil tindakan yang berakibat kematian, sedang euthanasia pasif ialah membiarkan perawatan yang dapat memperpanjang kehidupannya.
Dalam euthanasia aktif, sukarela atau tidak sukarela, kematian merupakan tujuan tindakan seseorang. Tindakan yang diambil, seperti dosis besar obat tidur atau suntikan racun, dimaksudkan untuk mengakhiri kehidupan pasien. Sedangkan euthanasia pasif berusaha untuk memecahkan masalah-masalah moral mengenai perawatan pasien yang tidak ada harapan lagi atau yang sudah mendekati ajalnya dengan menghentikan segala terapi, sehingga bisa berlangsung penyelesaian secara alamiah.
Euthanasia aktif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek hidup pasien atau untuk mengakhiri hidup pasien tersebut.
Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian dibagi menjadi dua golongan, yaitu euthanasia aktif langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan suatu tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien sedemikian rupa sehingga secara logis dapat diperhitungkan bahwa hidup pasien diperpendek atau diakhiri. Euthanasia aktif tidak langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya tanpa maksud untuk memperpendek hidup pasiennya, melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien dengan mengetahui adanya risiko bahwa tindakan medik ini dapat mengakibatkan diperpendek/ diakhiri hidup pasiennya.
Euthanasia aktif adalah proses kematian diringankan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.
Menurut Yusuf Qardawi yang dimaksud euthanasia aktif (taisir maut al-faal) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), sedangkan euthanasia pasif (taisir maut al-munfa’il) tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetepi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Dalam masalah euthanasia ini tidak terlepas dari beberapa pihak, yaitu pasien sebagai yang di euthanasia, dokter sebagai pelaku (pengeksekusi) euthanasia, dan keluarga sebagi pihak penyetuju tindakan euthanasia. Dan yang diteliti dalam masalah euthansia ini adalah euthanasia aktif secara langsung yang dilakukan atas permintaan pasien, yang dibebankan kepada pelaku euthansia yaitu dokter sebagai pihak pengeksekusi euthanasia.
Dalam hal ini permintaan pasien harus mendapat perhatian yang tegas agar tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh, harus dibuktikan dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya, alat-alat bukti lainnya yaitu: kesaksian-kesaksian, surat-surat, pengakuan dan isyarat-isyarat.
Hukum Islam atau Fiqh Islam, telah mengatur perikehidupan manusia secara menyeluruh mencakup segala macam aspeknya, diantaranya adalah masalah-masalah hukum yang berhubungan dengan kepidanaan, seperti macam-macam perbuatan pidana dengan ancaman pidana disebut al-jinayah.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa euthanasia khususnya euthanasia aktif, itu merupakan suatu perbuatan jarimah pembunuhan karena sudah memenuhi unsur-unsur jinayah yakni:
1. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuaatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal” (ar-Rukn asy- Syar’i)
2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukaan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (ar-Rukn al-Maddi)
3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (ar-Rukn al-Adabi)
Dalam konteks di atas jelas bahwa pelaku euthanasia aktif bisa dikenai sanksi pembunuhan sengaja. Berbicara tentang pembunuhan, maka perlu diberikan klasifikasinya agar mudah menempatkan/ memposisikan suatu tindak pidana pembunuhan menurut kadar ukurannya. Pembunuhan adakalanya terjadi karena disengaja oleh pelaku dan adakalanya tidak disengaja. Berkenaan dengan ini, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan. Perbedaan pengklasifikasian tersebut adalah:
1. Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-’amd) dan kekeliruan (qatl al khata’).
2. Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja (syibh al-’amd) dan kekeliruan.
3. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikanya menjadi empat (ruba’i), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata’).
4. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, serupa kekeliruan, dan pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub).
Untuk mengetahui arti dari jenis-jenis pembunuhan ini maka perlu diperjelas artinya yaitu sebagai berikut:
1. pembunuhan sengaja (qatl al-’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya. Jadi, matinya korban merupakan bagian yang dikehendaki si pembunuh.
2. pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-’amd), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian. Perbuatan itu sendiri sengaja dilakukan dalam objek yang dimaksud, namun sama sekali tidak menhendaki kematian si korban.
3. pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’), yaitu kesalahan dalam berbuat sesuatu yang mengakibatkan matinya seseorang. Walaupun disengaja, perbuatan tersebut tidak ditujukan terhadap korban. Jadi matinya korban sama sekali tidak diniati.
4. pembunuhan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata’), pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan suatu aktivitas tertentu, akan tetapi di luar kesadarannya menyebabkan kematian orang lain.
5. pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub), pelaku membuat sarana yang pada awalnya tidak dimaksudkan untuk mencelakakan orang lain, tetapi karena kelalaiannya, pada akhirnya menyebabkan kematian orang lain.
Dari jenis-jenis pembunuhan di atas, bila melihat kepada maknanya euthanasia yaitu suatu perbuatan penghilangan nyawa seseorang atas permintaan orang itu sendiri, berarti hal ini termasuk dalam pembunuhan disengaja, karena telah ada unsur perbuatannya dan unsur tujuannya yaitu agar orang tersebut mati. Tetapi dalam hal ini yang perlu dipertanyakan apakah unsur kerelaan atas si terbunuh termasuk ke dalam unsur pembunuhan disengaja.
Apabila euthanasia aktif itu didukung oleh kerelaan si pasien maka yang demikian disebut tindakan bunuh diri dengan meminjam tangan atau melalui orang lain..
Masalah euthanasia merupakan masalah yang sangat sulit, dan masalah ini biasanya timbul oleh alasan bahwa pasien sudah tidak tahan lagi menanggung derita yang berkepanjangan atau tidak ingin meninggalkan beban ekonomi atau tidak punya harapan untuk sembuh.
Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia , lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi mengatakan, bahwa kehidupan seseorang bukanlah miliknya sendiri, karena dia tidak menciptakan dirinya (jiwanya), anggota tubuhnya, ataupun selnya. Dirinya hanyalah titipan yang dititipkan Allah. Karena itu ia tidak boleh mengabaikannya, apalagi memusuhinya atau memisahkannya dari kehidupan.
Manusia dituntut untuk memelihara jiwanya (hifz an-nafs). Karena memelihara nyawa manusia merupakan salah-satu tujuan utama dari lima tujuan syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Jiwa meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah Swt. Oleh karenanya, seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri.
F. Hipotesis
Euthanasia adalah istilah dalam dunia medis yang merupakan keputusan dokter terhadap keadaan penyakit yang dialami pasien, bahwa penyakit yang diderita pasien tidak dapat disembuhkan lagi dan diberikan jalan pintas yaitu dengan jalan medis juga, biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi syaraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Memutuskan hukum dalam masalah euthanasia ini bukan merupakan hal yang mudah, dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang menyinggung terhadap masalah euthanasia ini secara khusus. Namun karena masalah euthanasia ini berhubungan masalah pembunuhan, walaupun terdapat unsur kerelaan dari pihak siterbunuh maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan jarimah, dan hal ini dilarang oleh Allah dengan ancaman neraka jahannam. Dan sanksi pembunuhan ini adalah hukum Qisas sesuai dengan kadar dan jenis pembunuhannya
Perbuatan euthanasia sama dengan bunuh diri yang dilakukan dengan meminjam tangan orang lain, dan hal ini dianggap sebagai perbuatan yang menentang takdir Tuhan. Maka euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari pencipta-Nya, yaitu Allah SWT.
G. Metode Penelitian
1.Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan ialah kepustakaan (literatur)
2.Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu meneliti permasalahan euthanasia sebagai suatu permasalahan baru, sesuai dengan perkembangan zaman yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, yang mana euthanasia yang terdapat dalam dunia medis diteliti dengan prespektif fiqh jinayah (Hukum Pidana Islam), dan dalam penyelesaiannya dibantu dengan pendapat-pendapat para ahli dan para mujtahid
3.Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, ialah pendekatan normatif. Artinya dalam pembahasannya melakukan pendekatan terhadap permasalahan yang dititikberatkan pada aspek-aspek hukum, dalam hukum Islam lebih khusus dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam).
4.Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data dalam penyusunan skripsi ini, ialah menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Penyusun menelusuri bahan penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti. Dalam rangka pengumpulan data, penyusun menggunakan teknik dokumentasi, yaitu penyusun melakukan observasi terhadap sumber-sumber data yang berupa dokumen baik primer ataupun sekunder, kemudian dikumpulkan dan diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan data yang diperlukan.
5. Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara berfikir deduktif. Deduktif artinya meneliti dan menganalisa macam-macam bentuk euthanasia, kemudian ditentukan, jenis euthanasia yang termasuk kedalam perbuatan jarimah, serta pelaku tindakan euthanasia dan juga sanksi hukum apa yang harus diterapkan bagi perbuatan euthanasia ini.
H. Sistematika Pembahasan
Agar tidak terjadi tumpang tindih dan untuk konsistensi pemikiran, penulis membuat sistematika pembahasan yang terdiri dari bab-bab yang saling berhubungan dan saling menunjang yang satu dengan yang lainnya secara logis.
Pada bab pertama, dimulai dengan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang permasalahan yang akan dicari jawabannya, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, hipotesis, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Setelah bab pertama merupakaan pendahuluan ialah bab kedua, tinjauan umum dan masalah sekitar euthanasia, bab ini membicarakan mengenani pengertian euthanasia serta permasalahannya yang sangat erat hubungannya dengan euthanasia, yakni tentang macam-macam euthanasia, sebab-sebab yang memungkinkan dilakukannya euthanasia, dan juga beberapa tinjauan baik dari segi Medis, HAM dan Hukum Pidana Positif (KUHP).
Pada bab ketiga berisi tentang Prinsip-prinsip Fiqh Jinayah terhadap Euthanasia yang meliputi pengertian Hukum Pidana Islam, jarimah Qisas-diyat, tujuan Fiqh Jinayah serta aspek kemanusiaan dalam Fiqh Jinayah, sebagai acuan dalam meninjau permasalahan pidana khususnya dalam masalah euthanasia.
Pada bab keempat berisi tentang Praktek Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah yang meliputi Euthanasia aktif sebagai jarimah, Serta sanksi hukum bagi pelaku euthanasia.
Bab kelima, pada bab yang terakhir ini, memuat tentang kesimpulan dan saran-saran. Setelah diuraikan secara panjang lebar dan terperinci pada bab-bab sebelumnya, langkah selanjutnya adalah mengambil suatu kesimpulan dari apa yang telah menjadi pokok pembahasan dalam karya ilmiah ini. Sedangkan saran-saran diajukan pula, demi perbaikan dan kesempurnaan dari pengaturan masalaah euthanasia yang telah ada serta pandangan untuk masa-masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA
A. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang).
Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama.
Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari berbagai sudut pandang, namun demikian pandangan medis, etika, agama, sosial dan yuridis masih mengundang berbagai ketidakpuasan, sulit dijawab secara tepat dan objektif.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Agar persoalan euthanasia ini dapat dibahas dengan sewajarnya sebaiknya arti kata-katanya diuraikan dengan lebih seksama lagi. Secara etimologis di zaman kuno berarti kematian tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dewasa ini orang tidak lagi memakai arti asli, melainkan lebih terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan orang sakit atau orang yang berada pada sakarotul maut, bahkan kadang-kadang disertai bahaya mengakhiri kehidupan sebelum waktunya. Akhirnya kata ini dipakai dalam arti yang lebih sempit sehingga makna dan artinya adalah mematikan karena belas kasihan.
Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu:
1. Pemakaian secara sempit
Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian.
2. Pemakaian secara luas
Secara luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.
3. Pemakaian paling luas
Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien.
Beberapa ahli membedakan ketiga cara tersebut, tetapi pada hemat penulis apapun istilahnya ketiga cara tersebut adalah tindakan euthanasia.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi, euthanasia diartikan:
1). Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien
3). Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.
b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti:
1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.
2). Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang.
3). Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut:
1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
3). Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
4). Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
B. Macam-macam Euthanasia
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.
Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. euthanasia aktif
2. euthanasia pasif
3. euthanasia volunter
4. euthanasia involunter
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan:
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan “baik”.
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin “de fakto” dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan pemerintah.
C. Keadaan-keadaan yang Memungkinkan Dilakukannya Euthanasia
Euthanasia mempunyai arti yang berdekatan dengan “membiarkan datangnya kematian” (letting die). Dalam literatur, euthanasia dibedakan antara yang aktif dan yang pasif. Euthanasia aktif diartikan melakukan suatu tindakan tertentu sehingga pasien meninggal, misalnya dengan mengakhiri pemberian nafas buatan melalui respirator atau mencabut ventilator dalam arti penghentian pemberian pernafasan artifisial. Sedang euthanasia pasif diartikan sebagai tidak dimulainya melakukan tindakan untuk memperpanjang hidupnya, tetapi yang tidak begitu bermanfaat lagi, bahkan akan menambah beban penderitaan (not initiating life support treatment). Misalnya tidak memberikan shock terapi dan tidak menyambung pernafasan dengan ventilator sesudah pasien manula penderita jantung kronis yang mendapat serangan jantung untuk kesekian kalinya dan sudah tidak sadarkan diri untuk waktu yang agak lama.
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, kemajuan dalam bidang ilmu dan tekhnologi kedokteran telah menambah beberapa konsep fundamental tentang mati. Kalau dahulu mati didefinisikan sebagai berhentinya denyut jantung dan pernafasan, maka dengan ditemukannya alat bantu pernafasan (respirator) dan alat pacu jantung (pace maker), maka seseorang yang oleh karena suatu hal mengalami henti nafas mendadak (respiratory arrest) atau henti jantung (cardiac arrest), masih ada kemungkinan ditolong dengan menggunakan alat tersebut, artinya pasien belum meninggal.
Persoalan yang kemudian timbul adalah sampai berapa lama orang itu bertahan dengan alat bantu tersebut. Keadaan semacam ini berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa di ketahui kapan akan berakhir, yang jelas kehidupannya tergantung kepada alat, dan kalau alat tersebut dicabut kemungkinan besar ia akan segera mati.
Secara medis sekarang diketahui jika rekaman otak masih menunjukkan fungsi yang baik, maka ada harapan orang tersebut akan siuman kembali, tetapi bila otak sudah tidak berfungsi, maka hampir tidak mungkin dia hidup tanpa bantuan alat tersebut, dengan kata lain dia hanya hidup secara vegetatif, yakni sel-sel tubuh saja yang masih menunjukkan tanda kehidupan. Dengan demikian sekarang dikenal istilah mati otak (brain death), yang menunjukkan bahwa otak sudah tidak berfungsi lagi.
Dalam keadaan seperti ini tidak jarang keluarga pasien meminta dokter untuk segera mengakhiri penderitaan pasien dengan cara melepas semua alat bantu, yang menjadi persoalan adalah: pertama, sampai hatikah seorang dokter dengan sengaja melepas alat bantu yang nota bene akan mengakhiri kehidupan seseorang?. Kedua, apakah dokter mempunyai hak untuk melakukan hal itu tanpa ia dikenai sanksi hukum?. Akan lebih rumit lagi apabila permintaan pasien (keluarganya) adalah dengan alasan sosial ekonomi (biaya) sehingga keluarga memaksa untuk membawa pulang pasien, pada yang terakhir ini jelas yang harus mencabut segala alat bantu adalah dokter (dokter yang bertanggungjawab).
Di Negara Belanda, tepatnya di daerah Rotterdam, seorang dokter tidak di hukum dalam melakukan euthanasia, Pengadilan Negeri Rotterdam mempunyai kriteria bahwa seorang dokter tidak dihukum dalam melakukan euthanasia, sebagai berikut:
1. Harus ada penderitaan fisik atau psikis yang tidak terpikulkan dan dahsyat dialami pasien.
2. Baik penderitaan ini maupun keinginan untuk mengakhiri kehidupan berlangsung tiada henti-hentinya.
3. Pasien memahami betul situasinya sendiri maupun kemungkinan-kemungkinan alternatif yang tersedia dan mampu menimbang-nimbang antara pelbagai kemungkinan yang ada dan sesungguhnya telah pula melakukan pilihannya.
4. Tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi.
5. Dengan kematian ini tidak ada orang lain yang dirugikan atau menderita tanpa alasan.
6. Keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja.
7. Pada keputusan untuk memberikan bantuan harus selalu melibatkan seorang dokter, yang akan mengeluarkan resep mengenai obat atau bahan yang akan dipakai.
8. Pada keputusan untuk memberikan bantuan, demikian pula pada bantuan itu perlu diperhatikan kecermatan dan ketelitian yang semaksimal mungkin sesuai dengan kepatutan yang berlaku (misalnya dengan mengikutsertakan dalam perembukan beberapa teman sejawat dan ahli-ahli lainnya.
D. Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi mausia (HAM) mungkin merupakan kata yang telah ditulis dalam ratusan ribu halaman kertas, buku, artikel atau surat kabar dan siaran televisi maupun radio, juga menarik perhatian sejumlah besar ahli, politikus, jurnalis, lawyer dan sebagainya. Ia seolah-olah menjadi “trademark” peradaban modern saat ini. Sebagai basis dari pemikiran manusia, mengarahkan perbuatan manusia dan mengatur masyarakat.
Hak-hak asasi manusia sebagaimana dikenal dewasa ini dengan nama antara lain “human rights, the Right of man” hal mana pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai “hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan karena itu bersifat suci”. Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Dari pemahaman yang demikian maka sebenarnya perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan tersebut mungkin seumur umat manusia itu sendiri.
Sebagai contoh bahwa Nabi Musa berusaha menyelamatkan umatnya dari penindasan Fir’aun. Nabi Muhammad dengan mu’jizatnya; al-Qur’an, banyak mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa, bijaksana, menerapkan kasih sayang, dan lain sebagainya. Islam mengajarkan belas kasihan sebagai suatu nilai kemanusiaan yang pokok dan satu dari kebajikan yang fundamental bagi orang yang mengaku dirinya muslim.
Hak-hak Asasi manusia secara umum mencakup hak pribadi, politik, perlakuan yang sama dalam hukum, sosial dan kebudayaan, serta untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum. Dalam hak-hak asasi manusia, terdapat bermacam dokumen, diantaranya Declarations des Droits de’l Homme et du Citoyen (1789) di Perancis dan The Four Freedoms of F.D. Roosevelt (1941) di Amerika Serikat, dari kedua dokumen tersebut terdapat semboyan, yaitu:
1. Liberte (kemerdekaan),
2. Egalite (kesamarataan),
3. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan),
4. Freedom of Speech (kebebasan mengutarakan pendapat),
5. Freedom of Religion (kebeasan beragama),
6. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan
7. Freedom from Want (kebeasan dari kekurangan).
Dari kedua dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia mencakup:
a. Hak kemerdekaan atas diri sendiri,
b. Hak kemerdekaan beragama,
c. Hak kemerdekaan berkumpul,
d. Hak menyatakan kebebasan dari rasa takut,
e. Hak kemerdekaan pikiran.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, terutama dalam hak kemerdekaan atas diri sendiri, maka akan terlintas dalam benak pikiran bahwa “hak untuk hidup” atau the right to life, adalah termasuk didalamnya. Dan dalam hak untuk hidup ini juga tercakup pula adanya “hak untuk mati” atau the right to die. “The right to die” ini berkaitan dengan munculnya “revolusi biomedis” dan tentunya berkaitan pula dengan masalah euthanasia.
Mengenai hak untuk hidup, memang telah diakui oleh dunia yaitu dengan dimasukannya dan diakuinya Universal Declaration of Human Right oleh perserikatan bangsa-bangsa tanggal 10 desember 1948. Sedangkan mengenai “hak untuk mati”, karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai bidang dunia, seperti diperagakan dalam “peradilan semu” dalam rangka Konperensi Hukum Se-Dunia di Manila.
Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat masalah “hak untuk mati” sudah diakui, dan bahkan di Negara-negara bagian ada yang mengaturnya secara jelas dalam berbagai undang-undang. Kendatipun telah diakui dalam berbagai undang-undang, namun masih harus diakui pula bahwa “hak untuk mati” itu tidak bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi lagi.
Penderita suatu penyakit yang sudah demikian tersebut diakui dan diperbolehkan menggunakan “hak untuk mati”-nya, dengan jalan meminta pada dokter untuk menghentikan pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya, ataupun dengan jalan meminta agar diberikan obat penenang dengan dosis yang tinggi. Dengan demikian maka penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya tersebut akan segera mati dengan tenang. Dan lagi Negara yang telah mengakui adanya “hak untk mati”, maka perbuatan dokter yang telah memebantu untuk melaksanakan permintaan seorang pasien atau dari keluarganya seperti diuraikan di atas memounyai kekebalan terhadap “criminal liability” maupun terhadap “civil liability”.
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa masalah hak-hak asasi manusia itu bukanlah semata-mata merupakan persoalan yuridis semata, melainkan bersangkut paut dengan masalah nilai-nilai etis, moral yang ada di suatu masyarakat tertentu. Oleh sebab itu masalah “hak untuk mati” yang dihadapkan sebagai suatu kasus hukum, maka pemecahannya haruslah disesuaikan dengan masalah moral, etis, kondisi dan kebiasaan yang ada dalam suatu negara
E. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran
1. Konsep tentang Mati
Untuk dapat memahami lebih jauh timbulnya masalah euthanasia, maka perlu difahami tentang konsep mati yang dianut dari dulu hingga kini. Perubahan pengertian ini berkaitan dengan adanya alat-alat resusitasi, berbagai alat atau mesin-mesin penopang hidup dan kemajuan dalam perawatan intensif. Dahulu, apabila jantung dan paru-paru sudah tidak bekerja lagi, orang sudah dinyatakan mati dan tidak perlu diberi pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah, dalam perawatan intensif (di rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan ahlinya) jantung yang sudah berhenti dapat dipacu untuk bekerja kembali dan paru-paru dapat dipompa agar kembali kembang kempis. Bila demikian, apa yang dimaksud dengan “mati”?.
Penting bagi para dokter untuk memperjelas arti mati, maka dari itu perlu dijelaskan arti “mati”.
Pada umumnya dikenal beberapa konsep tentang mati:
a. Berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dari hal ini dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Karena nafas dan darah bahan yang menandakan kehidupan, maka bila tidak terjadi lagi pernafasan dan peredaran darah, itu berarti bahwa kematian sudah menjadi kenyataan.
b. Pemisahan tubuh dan jiwa
Manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa atau kesatuan materi dan bentuk. Jiwa atau bentuk menjiwai tubuh atau materi, sehingga tersusunlah makhluk yang unik yang disebut manusia. Kematian berlangsung, jika dua unsur ini dipisahkan. Kematian berarti terputusnya kesatuan tubuh dan jiwa.
c. Kematian otak
Kriteria ini adalah: tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi atau rangsangan, tidak ada gerak sepontan atau pernafasan, tidak ada refleks; dan situasi ini diteguhkan oleh elektroensefalogram (EEG).
Dasar untuk menetapkan bahwa otak tidak berfungsi lagi adalah:
1). Pasien tidak berfungsi lagi bereaksi (unreceptive and unresponsive) terhadap stimulus (sentuhan, rangsangan) dari luar, termasuk stimulus yang sangat menyakitkan.
2). Tidak ada tanda-tanda terjadinya pernafasan spontan, paling sedikit selama satu jam.
3). Tidak ada refleks, dan Elektroensefalogram (EEG)-nya datar.
Kematian seluruh otak (batang otak, cortex dan neo cortex) berarti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integrasi biologisnya dan karena itu juga integrasi sosialnya.
2. Hak-Hak Pasien
Berkembangnya etika pelayanan kesehatan sebagai suatu bidang khusus dan pencarian pelbagai hak melalui pengadilan telah membantu untuk menetapkan banyak hak dalam konteks pelayanan kesehatan. Di antaranya adalah penghormatan atas hak pasien. Dalam hal ini penghormatan atas hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberi informasi yang cukup, sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.
“hak pasien”, dua buah kata bagi sebagian negara adalah kata-kata yang mewah, sebab masih banyak negara yang tidak atau belum mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak pasien itu. Berbicara tentang “hak pasien” yang dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga kesehatan, yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.
Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan, pasien mempunyai hak-hak lainnya, sebagai misal antara lain hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya, hak untuk mendapatkan pendapat kedua.
Agar lebih jelas dapat diuraikan hak-hak pasien yaitu sebagai berikut:
a. Hak atas informasi
Agaknya hak yang paling penting adalah hak atas informasi. Jika seseorang tidak tahu, ia tidak bisa memilih, tidak bisa membuat rencana, tidak dapat menguasai situasi. Kemungkinan untuk memperoleh informasi merupakan syarat untuk menjalankan otonomi, dan jika pasien tidak mempunyai kemungkinan itu, ia tetap tinggal korban paternalisme.
b. Hak atas persetujuan
Hak untuk enentukan diri sendiri (the right of self determination) juga terproses sejalan dengan perkembangan dari hak asasi manusia. Dihubungkan dengan tindakan medik, maka hak untuk menentukan diri sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas dasar informasi (informed consent). Adalah hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi.
c. Hak untuk menolak pengobatan
Jika seseorang mempunyai hak untuk memberi persetujuan dengan suatu pengobatan_atas dasar informasi yang diberikan sebelumnya, maka tidak bisa dihindarkan konsekuensi bahwa ia mempunyai hak juga untuk menolak pengobatan. Penolakan seperti ini sebagai perwujudan otonomi pasien dalam hak menentukan dirinya.
d. Hak atas privacy
Konfidensialitas dan perlindungan informasi yang diperoleh tenaga medis dalam hubungan dengan pasiennya adalah sangat penting. Jika konfidensialitas tidak dapat dijamin, maka orang akan enggan mencari bantuan medis, hal ini sebagai dasr bagi relasi antara dokter dan pasien.
e. Hak atas pendapat kedua
Yang dimaksud dengan pendapat kedua ialah adanya kerjasama antara dokter pertama dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas inisiatif dokter yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien.
f. Catatan medis di rumah sakit
Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakandan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Kebutuhan pasien atas catatan medis sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan hak otonominya.
3. Pandangan Kode Etik Kedokteran
Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etika kedokteran , sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan. Keahlian dibidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia. Dan pastinya di setiap Negara mempunyai kode etik kedokteran sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hippocrates. Di antara sumpah Hippocrates adalah sebagai berikut:
Ilmu kedokteran adalah upaya untuk menaggulangi penderitaan si sakit, menyingkirkan penyakit, dan tidak mengobati kasus-kasus yang tidak memerlukan pengobatan.
Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu.
Manusia pada akhirnya akan mati, dokter tidak dapat berharap ia akan dapat menyembuhkan setiap pasiennya. Ada batas ketika penyembuhan tidakberdaya lagi. Dokter harus mengenali dan menerima kedatangan saat-saat maut bagi pasiennya, bahkan sebagai seorang yang berpengetahuan ia harus menunjukannya dengan perbuatan, yaitu jangan berusaha untuk menyembuhkannya, karena ini berarti membohongi diri sendiri dan pasiennya…….
Dari pandanag Hippocrates tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dokter tidak lagi mengobati penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak perlu diobati atau tidak membohongi pasien yang sebenarnya sudah tidak memerlukan obat. Misalnya dengan memberikan resep tetentu atau dengan memberikan medikasi lainnya. Dan berarti hippocrates tidak akan memberikan obat yang memetikan sekalipun pasien telah memeintanya. Dalam situasi apapun keadaan pasien, Hippocrates tetap menolak tindakan euthanasia aktif. Disamping itu dokter tidak harus terus berupaya mengobati penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan kembali. Apabila pengobatan atau perawatan sudah tidak ada gunanya, maka dokterpun sudah tidak berkompeten lagi untuk melakukan medikasi terhadap pasiennya.
Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan dengan masalah euthanasia, adalah pasal 9 yang berbunyi:
“Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”
Dalam penjelasan pasal 9 di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya dokter harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-kadang akan terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masak-masak bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit selain pembedahan, yang selalu mengandung resiko.
Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berfikir dan mengumpulkan pengalamannya. Dengan demikian, membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari bahaya maut adalah merupakan tugas dokter. Ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Hal ini, berarti doktert dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tidak mungkin sembuh.
Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play god). Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers).
Sebetulnya kode etik kedokteran Indonesia sudah lama berorientasi pada pandangan-pandangan Hippocrates yang telah lama menerima euthanasia pasif. Begitu juga dengan kode etik kedokteran Indonesia, berarti ia juga menerima euthanasia dalam bentuk pasif.
Bila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka lebih baik dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri hidupnya, dan juga tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan kehidupannya, karena kematiannya sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi, perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan. Asalkan jangan mengada-ada melakukan tindakan medik (yang sebetulnya tindakan medik itu sudah tidak diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.
Adalah tugas ilmu kedokteran untuk memebantu meringankan penderitaan pasien, atau bahkan berusaha menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut membantu meringankan penderitaanya, walaupun kadang-kadang dari tindakan peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan (euthanasia tidak langsung).
5. Euthanasia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan nterhadap nyawa manusia, yang dapat dijumpai dalam Bab XIX, buku II, dari pasal 338 sampai pasal 350 KUHP.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal yang menyinggung masalah euthanasia ini secara pasti tidak ada, tetapi satu-satunya pasal yang lebih mengena yaitu pasal 344, pada Bab XIX, buku II, yaitu:
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Dalam pasal di atas, kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika tidak maka orang itu dikenakan pembunuhan biasa, dan haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasar pasal 344 KUHP atau tidak. Agar unsur ini tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya.
Masalah euthanasia ini merupakan masalah yang kompleks dari segi sifatnya, maka agar lebih mudah untuk difahami perlu diterangkan dan dibagi secara lebih terperinci.
Ditinjau dari segi yuridis, euthanasia dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri atau memeperpendek (mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia aktif terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Euthanasia aktif atas permintaan pasien
Pasal. 344 KUHP
2) Euthanasia aktif tanpa permintaan pasien
Pasal. 340 KUHP
3) Euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien
Pasal. 340, 338, KUHP
4) Euthanasia tidak langsung
Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya tanpa maksud mengakhiri hidup pasien melakukan tindakan medis untyuk meringankan penderitaan pasien, walaupun dengan mengetahui adanya resiko bahwa dari tindakan medik tersebut dapat mengakibatkan hidup sipasien diperpendek. Seperti halnya dengan euthanasia aktif, euthanasia tidak langsung terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
a). Euthanasia tidak langsung atas permintaan pasien
Pasal. 344, 359
b). Euthanasia tidak langsung tanpa permintaan pasien
Pasal. 340, 359
c). Euthanasia tidak langsung tanpa sikap pasien
Pasal. 304, 359
b. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif terjadi terrjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak memberikan bantuan medik terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya. Untuk dapat memudahkan euthanasia pasif ini juga dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1). Euthanasia pasif atas permintaan pasien
Tidak dihukum
2). Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien
Pasal. 304 jo 306 (2)
3). Euthanasia pasif tanpa sikap pasien
Pasal. 304 jo 306 (2)
Maka agar dapat mengetahui hukuman atas tindakan tersebut perlu disebutkan pasal-pasalnya, pasal-pasal tersebut adalah:
Pasal. 304 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut operjanjian, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal. 306 KUHP:
“Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun.”
Pasal. 338 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukumkan penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal. 344 KUHP:
“Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya denagn nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Pasal. 359 KUHP:
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
BAB III
PRINSIP-PRINSIP FIQH JINAYAH
A. Pengertian Fiqh Jinayah
Salah satu kesempurnaan syariat Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkenaan dengan hukum publik. Islam tidak sekedar mengajarkan ajaran moral saja, melainkan juga menyediakan aturan-aturan yang bersifat imperatif. Baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunah terdapat sanksi-sanksi yang mengikat yang harus ditegakan di dunia, bukan sekedar ancaman di akhirat. Hal ini terlihat, diantaranya dari aturan-aturan yang berkenaan dengan jarimah az-zina (perzinaan), al-qadžaf (tuduhan zina), as-sariqah (pencurian), al-hirabah (perampokan), syurb al-khamr (minum-minuman keras), al-bughat (pemberontakan), ar-riddah (keluar dari Islam atau murtad), al-jarah (penganiayaan atau pelukaan), dan al-qatl (pembunuhan). Aturan-aturan tersebut dikelompokan oleh para ulama dalam bab fiqh dengan nama al-hudud, ad-dima, al-qisas dan al-jarah.
Istilah yang umum bagi aturan tersebut adalah al-jinayat yang sering kali diartikan dengan Hukum Pidana Islam. Kata al-Jinayat memiliki makna sempit dan makna luas. Makna sempit al-Jinayat sejajar dengan makna al-qisas, ad-dima atau al-jarah, yaitu setiap perbuatan yang dilarang (haram) berkenaan dengan penganiayaan terhadap tubuh dan penghilangan jiwa manusia. Sedangkan makna al-jinayat secara luas sejajar dengan al-jarimat, yaitu setiap perbuatan yang dilarang, baik berkenaan dengan tubuh, jiwa, maupun dengan hal-hal lainnya seperti kehormatan, harta, keturunan, akal, dan agama.
Dalam mempelajari Fiqh Jinayah, ada dua istilah penting yang terlebih dahulu harus dipahami, Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi muradif (sinonim) bagi istilah lainnya atau keduanya bermakna tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan dan difahami agar penggunaannya tidak keliru.
Jinayah, pada dasarnya kata jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh syara’ (Hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.
Abdul Qadir Audah dalam kitabnya at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami menjelaskan arti kata jinayah sebagai berikut:
الجناية لغة اسم لما يجنيه المرء من شر ما اكتسب واصطلاحا اسم لفعل محرم شرعا سواء وقع الفعل على نفس او مال او غير ذالك
Kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi pengertian jarimah secara harfiyah sama halnya dengan pengertian jinayah. Adapun pengertian jarimah segala tindakan yang diharamkan syari’at. Allah ta’ala mencegah terjadinya tindak kriminal dengan menjatuhkan hudud (hukum syar’i), atau ta’zir (sanksi disiplin) kepada pelakunya.
Jarimah bisa dipakai sebagai perbuatan dosa –bentuk, macam, atau sifat dari perbuatan dosa tersebut. Misalnya, pencurian, pembunuhan, perkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu disebut dengan istilah jarimah yang kemudian dirangkaikan dengan satuan sifat perbuatan tadi. Seperti jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah perkosaan dan lain-lain.
Adapun dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu ditujukan bagi sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqh yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku tersebut disebut Fiqh jinayah bukan Fiqh jarimah.
Secara umum, ada tiga unsur seseorang dianggap telah melakukan perbuatan jarimah, yaitu unsur formal (ar-rukn asy-syar’i), unsur material (ar-rukn al-madi), dan unsur moral (ar-rukn al-adabi). Unsur formal adalah adanya nas yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu disertai dengan ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan tersebut. Unsur material adalah adanya perbuatan pidana, baik melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Unsur moral adalah orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut terkena taklif atau orang yang telah mukallaf.
Dilihat dari sanksi yang telah ditetapkan atau tidak oleh syara’, jarimah dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, jarimah hudud yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan baik bentuk maupun jumlahnya oleh syara’. Ia menjadi hak Tuhan; hakim tidak mempunyai kewenangan untuk mempertinggi atau memperendah hukuman bila si pelaku telah terbukti melakukan jarimah tersebut. Jarimah yang termasuk jarimah hudud adalah jarimah zina, menuduh zina, minum-minuman keras, mencuri, merampok, keluar dari Islam dan memberontak.
Kedua, jarimah qisas yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan oleh syara’, namun ada perbedaan dengan jarimah hudud dalam hal pengampunan. Pada jarimah qisas, hukuman bisa berpindah kepada ad-diyat (denda) atau bahkan bebas dari hukuman, apabila korban atau wali korban memaafkan pelaku. Perbuatan yang termasuk dalam jarimah qisas adalah pembunuhan dan pelukaan. Pembunuhan terbagi kepada tiga, yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan kekeliruan. Sedangkan pelukaan terbagi menjadi dua, yaitu pelukaan sengaja dan kekeliruan.
Ketiga, jarimah ta’zir yaitu jarimah yang hukumannya tidak ditetapkan baik bentuk maupun jumlahnya oleh syara’, melainkan diberikan kepada negara kewenangannya untuk menetapkannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.
Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya supaya tidak mengulangi kejahatan serupa.
B. Jarimah Qisas-Diyat
1. Qisas
Kata qisas kadang-kadang dalam hadis disebut dengan kata qawad. Maksudnya adalah semisal, seumpama (al-Mumasilah). Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Dalam ungkapan lain adalah pelaku akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang dia lakukan. Dia dibunuh kalau dia membunuh dan dilukai kalau dia melukai atau menghilangkan anggota badan orang lain. Abdul Qadir Audah mendefinisikan qisas sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya.
Qisas diakui keberadaannya dalam al-Qur’an, as-Sunnah, demikian pula akal memandang bahwa disyariatkannya qisas adalah demi keadilan dan kemaslahatan. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an:
و لكم فى القصاص حياة يا اولى الألباب.
Qisas adalah hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek sasaran jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan sengaja. Oleh karena itu, bentuk jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja.
Sanksi pokok dalam pembunuhan sengaja yang telah di-naskan dalam al-Quran dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Bahkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus diqisas (tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua pihak. Ulama Syafi’iyyah menambahkan bahwa disamping qisas pelaku pembunuhan juga wajib membayar kaffarah.
Ulama berbeda pendapat tentang sanksi bagi pembunuhan sengaja yang berupa kaffarah, menurut jumhur ulama bahwa kaffarah dalam pembunuhan sengaja tidak wajib karena kaffarah adalah ketentuan syariah untuk beribadah, maka tempatnya juga terbatas yaitu hanya pada pembunuhan karena kesalahan. Sedangkan pembunuhan sengaja adalah neraka jahannam. Di dalam al-Quran sendiri tidak mewajibkan kaffarah, seandainya bagi pelaku pembunuhan sengaja wajib membayar kaffarah, pasti al-Quran menjelaskan secara detail.
Ada beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakannya qisas yaitu:
a. Syarat-syarat bagi pembunuh
Syarat-syarat bagi pembunuh ada tiga yaitu:
1). Pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal), maka tidaklah qisas apabila pelakunya adalah anak kecil atau orang gila, karena perbuatannya tidak dikenai taklif. Begitu juga dengan orang yang tidur/ayan, karena mereka tidak punya niat/maksud yang sah.
2). Pembunuh menyengaja perbuatannya, dalam al-Hadis disebutkan:
من قتل عمدا فهو قود
3). Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak diqisas, tetapi menurut jumhur tetap diqisas walaupun dipaksa.
b. Syarat-syarat bagi yang terbunuh/korban
Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban) ada tiga, yaitu:
1). Korban adalah orang yang dilindungi darahnya. Adapun yang dipandang tidak dilindungi darahnya adalah kafir harbi, murtad, pezina muhsan, penganut zindiq dan pemberontak; jika orang muslim atau zimmi membunuh mereka, maka hukum qisas tidak berlaku.
2). Korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada hubungan bapak dan anak), tidak diqisas ayah/ibu, kakek/nenek yang membunuh anak/cucunya sampai derajat kebawah berdasarkan pada hadis:
أنت ومالك لأابيك
لا يقاد الوالد بالولد
3). Korban sama derajatnya dengan membunuh dalam Islam dan kemerdekaannya, statemen ini dikemukakan oleh jumhur (selain Hanafiyah). Dengan ketentuan ini maka tidak diqisas seorang Islam yang membunuh orang kafir, orang merdeka yang membunuh budak.
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan persamaan dalam kemerdekaan dan agamanya, tapi cukup persamaan dalam kemanusiaannya, mereka berargumen dengan keumuman ayat qisas yang tidak mendiskriminasikan antara satu dengan yang lainnya. Allah berfirman:
يا أيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
و كتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس
Menurut Hanafiyah, ayat di atas menunjukkan bahwa dalam qisas tidak harus ada kesetaraan. Sebab, kalimat jiwa dibalas dengan jiwa” menunjukan bahwa dasar qisas itu adalah hilangnya jiwa atau nyawa sehingga tidak ada perbedaan antara orang merdeka dengan hamba atau muslim dengan kafir. Adapun hadis nabi yang menyatakan bahwa “muslim tidak diqisas karena membunuh kafir”, kafir yang dimaksud adalah kafir harbi, bukan kafir zimmi atau musta’min. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi pernah melaksanakan qisas terhadap muslim yang membunuh Yahudi, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut:
أن النبي صلي الله عليه وسلم أقاد مسلما قتل يهوديا وقال الرمادي أقاد مسلما بذمي وقال أنا أحق من وفي بذمته
Sedangkan ayat yang dijadikan landasan oleh jumhur yang menyatakan bahwa “orang merdeka dengan orang merdeka”; “hamba dengan hamba”; dan wanita dengan wanita”; tidak menunjukkan adanya kafaah. Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang harus diqisas adalah pembunuhnya, meskipun kedudukannya lebih rendah. Kalimat “orang merdeka dengan orang merdeka”; “hamba dengan hamba”; dan “wanita dengan wanita”; hanya sekedar mencontohkan pelaku dan korbannya dengan tidak menafikan kebalikannya. Sebab ayat tersebut dimaksudkan untuk menjawab kebiasaan jahiliyah yang menerapkan qisas secara berlebihan.
Pada masa jahiliyah, wali korban dari suatu kabilah (terutama kabilah yang kuat) meminta balasan yang lebih dari seharusnya. Misalnya, korban yang terbunuh dari suatu kabilah adalah laki-laki merdeka, sedangkan pembunuhnya (dari kabilah lain) adalah seorang wanita. Wali korban beserta kabilahnya meminta balasannya tidak sekedar wanita yang membunuh tetapi ditambah dengan laki-laki merdeka. Permintaan ini seringkali menimbulkan konflik (bahkan sampai terjadi peperangan) antar kabilah jika tidak dipenuhi.
Adapun berkenaan dengan laki-laki muslim dengan perempuan muslim, para fuqaha sepakat bahwa di antara mereka tidak ada perbedaan. Kedudukan mereka setara dalam hal qisas. Tidak ada perbedaan antara tua dengan muda atau sehat dengan sakit. Hal ini didasarkan atas keumuman ayat yang menyatakan bahwa “jiwa dibalas denga jiwa” dan sabda Nabi saw berikut:
المسلمون تتكافأ دماؤهم
c. Syarat-syarat bagi perbuatannya
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qishas, tindak pidana pembunuhan yang dimaksud harus tindak pidana langsung bukan bukan karena sebab tertentu, jika tidak langsung, maka hanya dikenai membayar diyat.
Sedangkan jumhur tidak mensyaratkan itu, baik pembunuhan itu langsung atau karena sebab, pelakunya wajib dikenai qishas karena keduanya berakibat sama.
d. Syarat-syarat bagi wali korban
Menurut Hanafiyah, wali korban yang berhak untuk mengqisas haruslah orang yang diketahui identitasnya, jika tidak, maka tidak wajib diqisas, karena tujuan dari diwajibkanya qisas adalah pengokohan dari pemenuhan hak. Sedangkan pembunuhan dari orang yang tidak diketahui identitasnya akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaanya.
Berpijak pada keterangan tentang syarat-syarat qishas ada beberapa hal yang menghalangi dilaksanakannya qisas. Ini terjadi karena adanya kemungkinan masuknya unsur syubhat sehingga qisas tidak bisa dilaksanakan, yaitu ada enam hal:
1) Keberadaan pembunuh sebagai orang tua korban
Menurut para Fuqaha Mazhab, keberadaan pembunuh sebagai orang tua si terbunuh menghalangi dilaksanakannya qisas, tetapi Ulama Malikiyah memberi batasan, hal ini selama tidak ada maksud membunuh yang dapat dibuktikan dengan qat’i. Jika ternyata ada maksud membunuh, maka orang tua korban juga harus diqisas. Adapun hubungan suami isteri tidak menjadi halangan dilakukannya qisas.
2) Perbedaan derajat antara pelaku dan korban pembunuhan dalam keIslaman dan kemerdekaannya. Ini menurut jumhur fuqaha kecuali Hanafiyah.
3) Ketidakadilan membunuh sesuai dengan yang telah disepakati, apabila ada kesepakatan untuk melakukan pembunuhan, tetapi ternyata tidak semua yang menyepakati ikut hadir dalam pembunuhan, atau ia hanya memberikan semangat, bantuan, dan tidak melakukan secara langsung, maka menurut jumhur ulama orang yang tidak melakukan langsung itu hanya dita’zir. Berbeda dengan pendapat ulama malikiyah yang menyatakan bahwa orang yang hadir atau membantu walaupun tidak melakukan secara langsung, seperti pengintai atau penjaga pintu, tetap dikenai qisas jika terlibat dalam kesepakatan kejahatan itu. Dan tiga syarat lagi menurut Hanafiyah yaitu:
4) Pembunuhan itu terjadi secara tidak langsung (karena satu sebab tertentu)
5) Wali korban majhul (tidak diketahui identitasnya)
6) Pembunuhannya terjadi di Dar al-kuffar
Qisas wajib dikenakan setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh wali korban. Para ulama madzhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah qisas. Sesuai dengan ayat:
يا أيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر و العبد بالعبد
من قتل عمدا فهو قود
Kedua dalil ini dengan tegas menyatakan bahwa hukum qisas bagi pembunuh adalah tertentu/pasti. Logika dari statement ini adalah: jika wali korban memaafkan secara mutlak (tidak menuntut diyat), maka tidak ada kewajiban bagi pelaku untuk membayar diyat, tetapi pembunuh dengan kesadarannya, hendaknya membayar diyat sebagai kompensasi pemberian maafnya wali. Tetapi tidak berarti wali terbatas dalam menentukan sikapnya.
Mereka boleh mengqisas/memaafkannya secara mutlak atau memaafkan dari qisas dengan membebani diyat sebagai penggantinya.
Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan sengaja tidak hanya qisas, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu: jika mereka menghendaki qisas, maka dilaksanakanlah hukum qisas tetapi jika menginginkan diyat maka wajiblah membayar diyat tanpa menunggu keridlaan pembunuh. Artinya, jika wali korban mengampuni, wajib bagi pelaku membayar diyat.
Dasar hukum yang digunakan adalah hadis rasulullah SAW:
من قتل له قتيل فهو بخير النظرين اما ان يؤدي و اما ان يقاد
Dan firman Allah swt dalam al-Qur’an:
فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعروف واداء اليه باحسان
Dari ayat ini dapat dipahami, jika terjadi pembunuhan hendaklah pelakunya diselidiki. Dan jika ternyata wali korban memaafkan secara mutlak, pelaku tetap berkewajiban membayar diyat. Hal ini karena mereka berpendapat bahwa diyat adalah salah satu dari kerusakan jiwa, bahkan pengganti dari qisas.
Kemudian dari redaksi ayat tersebut berarti Allah mewajibkan al-Itba’ karena adanya pemberian maaf dari wali. Seandainya Allah mewajibkan qisas saja, tentu Allah tidak mewajibkan diyat apabila ada ampunan atau maaf wali secara mutlak.
Tuntutan hukuman qisas merupakan hak para wali (keluarga korban), namun keabsahan keluarga korban untuk melaksanakan ada dibawah wewenang hakim. Artinya tuntutannya ini harus melalui pengadilan. Karena dalam kaidah dasar syara’ yang telah disepakati disebutkan bahwa pelaksanaan sanksi hudud, qisas, maupun ta’zir merupakan hak hakim.
Selanjutnya apabila pelaksanaan qisas akan dilakukan oleh para wali sendiri (bukan oleh hakim dan algojonya), maka menurut Abu Hanifah, Hanabilah dan qaul rajihnya asy-Syafi’i yang berhak mengqisas adalah setiap ahli waris yang berhak mewarisi harta si korban baik zawil furud maupun asabah, laki-laki maupun perempuan, suami atupun isteri.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah yang berhak mengqisas adalah keluarga dari pihak ayah yang laki-laki, semua asabah bin nafsi dengan prioritas, keluarga yang dekat didahulukan dari pada keluarga yang jauh. Perempuan tidak boleh mengqisas karena qisas itu menghilangkan fitnah, maka dikhususkan kepada asabah seperti dalam perwalian pernikahan.
Tetapi Malikiyah memberikan kelonggaran, yaitu perempuan boleh bertindak sebagai pelaksana qisas dengan tiga persyaratan:
a. Perempuan itu merupakan ahli waris terbunuh, seperti anak dan saudara kandung, sehingga bibi dari pihak ayah /ibu tidak boleh.
b. Derajat atau kekuatan ahli waris perempuan tadi lebih kuat dibanding para asib, misalnya anak perempuan kandung bersama dengan adanya paman, itu dapat melaksanakan qishas. Tetapi jika anak perempuan kandung bersama adanya ayah, ia tidak dapat mengqisas.
c. Perempuan itu dalam derajatnya mempunyai laki-laki yang asabah, maka dikecualikan saudara perempuan (tidak dapat mengqisas) karena adanya ibu.
Jika yang mengqisas masih kecil/gila maka ditunggu sampai kesempurnaannya dan diserahkan kepada hakim. Dan menurut Malikiyah, tidak usah menunggu sampai baligh/sadarnya demi kemaslahatan pelaksanaan qisas itu sendiri.
Hukuman qisas menjadi gugur dengan sebab-sebab sebagai berikut:
a. Matinya pelaku kejahatan
Kalau orang yang akan menjalani qisas telah mati terlebih dahulu, maka gugurlah qisas atasnya, karena jiwa pelakulah yang menjadi sasarannya. Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diyat yang diambilkan dari harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali si terbunuh. Pendapat ini menurut Imam Ahmad serta salah satu pendapat Imam Syafii. Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafiyah tidak wajib diyat, sebab hak dari mereka (para wali) adalah jiwa, sedangkan hal tersebut telah tiada. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para wali menuntut diyat dari harta peninggalan si pembunuh yang kini telah menjadi milik para ahli warisnya.
b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz.
c. Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara pembunuh dan wali korban.
d. Adanya penuntutan qisas.
e. Adanya kerelaan/ izin korban.
Dalam hal adanya kerelaan/izin korban, pada dasarnya para fuqaha sepakat bahwa adanya kerelaan korban untuk dibunuh tidak membolehkan seseorang melakukan pembunuhan, seperti kasus euthanasia. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang posisi kerelaan tersebut dengan pemaafan korban atau wali korban yang dapat menggugurkan qisas atau diyat (bila dimaafkan secara mutlak). Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Menurut Hanafiyah:
يسقط القصاص برضا المجني عليه
Gugurnya qisas disebabkan karena adanya kerelaan atau izin korban yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman berpindah kepada diyat. Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hudud.
Pendapat Malikiyah yang rajih dan sebagian Syafi’iyah:
لا يسقط القصاص برضا المجني عليه
Kerelaan korban tidak dapat dipersamakan dengan pemaafan karena kerelaan itu ada sebelum terjadi jarimah pembunuhan, sedangkan pemaafan ada setelah terjadi jarimah. Oleh karena itu, pembunuhan tersebut tetap merupakan pembunuhan sengaja yang harus dihukum dengan qisas.
Pendapat Malikiyah yang arjah (lebih kuat) dan sebagian Syafi’iyah:
يسقط عقوبتى القصاص والدية برضا المجني عليه
Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukum asli (qisas) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.
2. Diyat
Diyat adalah:
العقوبة البدلية الأولى لعقوبة القصاص فإذا امتناع القصاص لسبب من اسباب الامتناع او لسباب السقوط وجبت مالم يعف الجانى عنها أيضا
Dengan definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang.
Adapun dalil disyariatkannya diyat adalah firman Allah SWT:
ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة و دية مسلمة الى اهله الا ان يصد قوا
Walaupun ayat ini dalam konteks pembunuhan bersalah namun para ulama sepakat akan wajibkan diyat dalam pembunuhan sengaja apabila qisas gugur karena suatu sebab.
Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta tetapi jika sulit didapatkan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas, perak, uang, pakaian, dan lain sebagainya, yang kadar nilainya disesuaikan dengan unta.
Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah seratus ekor unta bagi pemilik unta. Dua ratus ekor sapi bagi pemilik sapi, dua ratus ekor domba bagi pemilik domba, seribu dinar untuk pemilik emas, dua belas ribu dirham untuk pemilik perak, dan dua ratus stel pakaian untuk pemilik pakaian.
Diyat ada dua macam, yaitu diyat mugalazah dan diyat mukhafafah. Adapun diyat mugalazah menurut jumhur dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja dan menyerupai sengaja. Sedangkan menurut Malikiyah, dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja apabila waliyuddam menerimanya dan kepada bapak yang membunuh anaknya.
Jumlah diyat mugalazah adalah seratus ekor unta, yang empat puluh di antaranya sedang mengandung. Sebagaimana Nabi SAW pernah bersabda:
الا وإن قتيل الخطأ شبه العمد بالسوط و العصا و الحجر مائة من الابل فيها اربعون شنية الى بازل عمها كلهن خلفة
Jadi seratus ekor unta itu bila diperinci adalah:
a. 30 ekor hiqqah (unta berumur 4 tahun)
b. 30 ekor jad’ah (unta berumur 5 tahun)
c. 40 ekor khilfah (unta yang sedang mengandung)
Adapun diyat mukhafafah itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan kesalahan, hal ini berdasarkan riwayat Ibn Mas’ud, Nabi bersabda:
دية الخطأ اخماس عشرون حقة وعشرون جذعة وعشرون بنات مخاض وعشرون بنات لبون وعشرون بني لبون
Jadi ketentuannya adalah sebagai berikut:
a. 20 ekor bintu ma’khad (unta betina berumur 2 tahun)
b. 20 ekor ibnu ma’khad (unta jantan berumur 2 tahun)
c. 20 ekor binti labun (unta betina berumur 3 tahun)
d. 20 hiqqah, dan
e. 20 jad’ah
Selanjutnya ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pembunuhan tersalah dapat dikenai diyat mugalazah apabila:
a. Pembunuhan itu terjadi di tanah haram Mekkah
b. Pembunuhan itu terjadi di bulan haram; zul Qa’dah, zul Hijjah, Muharram dan Rajab
c. Pembunuhan itu terhadap mahram seperti: ibu dan saudara perempuan.
Jadi diyat pembunuhan sengaja adalah diyat mugalazah yang dikhususkan pembayarannya oleh pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan diyat pembunuhan syibhu amd adalah diyat mugalazah yang pembebanannya tidak hanya pada pelaku, tetapi juga pada ‘aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan dibayar secara berangsur-angsur selama tiga tahun.
Menurut Hanafiyah, baik pembunuhan sengaja, tidak sengaja, maupun kesalahan, pembayaran diyatnya secara berangsur-angsur selama tiga tahun. Hanya bagi ‘amid (pembunuh sengaja) lebih diperberat dengan kewajiban membayar diyat mughaladzah dengan hartanya sendiri.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa diyat pembunuhan sengaja harus dibayar kontan dengan hartanya karena diyat merupakan pengganti qisas, jika qisas dilakukan sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal ‘amid pantas dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya ‘amid membayar diyat dengan hartanya sendiri bukan dari ‘aqilah. Karena keringanan (pemberian tempo) itu hanya berlaku bagi ‘aqilah.
Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada para pembunuh dengan hartanya sendiri. ‘Aqilah tidak menanggungnya karena setiap manusia dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah swt:
كل امرئ بما كسب رهين
Adapun jika pembunuhan disengaja itu dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, Malik dan Syafi’i menyatakan diyatnya anak kecil adalah setengah kecuali pemerintah membebankan pada aqilahnya. Mereka menjelaskan bahwa sengaja atau kesalahannya anak kecil itu sama dengan argumant ada orang gila menerkam seorang laki-laki dengan pisau kemudian memukulnya..
Menurut Syafiiyah bahwa yang jelas perbuatan anak kecil itu dianggap sengaja apabila ia telah mumayyiz, jika belum mumayyiz maka dianggap kesalahan (khata’) secara pasti. Tetapi baik ia sudah mumayyiz atau belum ia tidak dapat di qisas, karena tidak ada baginya taklif secara syara’. Hanya saja ia dibebankan diyat dari hartanya sendiri dan ‘aqilah tidak menanggung jika ia (pada saat berbuat jahat) sudah mumayyiz.
C.Tujuan Fiqh Jinayah
Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariah tanpa tujuan apa-apa. Melainkan di sana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu mengetahui apa tujuan dari ketentuan itu.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari fiqh jinayah yang merupakan tujuan-tujuan yang luas dari syariah sebagai berikut:
Tujuan pertama
Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup. Ini merupakan hal-hal di mana kehidupan manusia sangat tergantung sehingga tidak dapat dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan dan ketidaktertiban di mana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyyat) dalam keputusan hukum Islam disebut dengan istilah al-Maqasid asy-Syari’ah al- Khamsah (tujuan-tujuan syariah), yaitu:
a. Hifz ad-Dĩn (memelihara agama);
b. Hifz an-Nafsi (memelihara jiwa);
c. Hifz al-’Aqli (memelihara akal pikiran);
d. Hifz al-Nasli (memelihara keturunan);
e. Hifz al-Mãl (memelihara harta).
Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap-tiap kebutuhan itu dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial.
Tujuan kedua
Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan-keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyyat. Ini mencakup hal-hal yang penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggungjawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidak tertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup mudah bagi mereka.
Tujuan ketiga
Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuat perbaikan-perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik (keperluan sekunder) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan membuat hidup mudah.
D. Aspek Kemanusiaan dalam Fiqh Jinayah
Salah satu kesempurnaan syari’at Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkenaan dengan hukum publik. Islam tidak sekedar mengajarkan ajaran moral saja, melainkan juga menyediakan aturan-aturan yang bersifat imperatif. Baik dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah, terdapat sanksi-sanksi yang mengikat yang harus ditegakan di dunia, bukan sekedar ancaman di akhirat. Istilah yang umum bagi aturan-aturan tersebut adalah al-Jinayat yang sering kali diartikan dengan Hukum Pidana Islam.
Ketika mendengar kata “Hukum Pidana Islam” (fiqh Jinayah), yang langsung terbayang di benak kebanyakan orang adalah potong tangan, dilempar batu sampai meninggal (dirajam), dipukul dengan menggunakan kayu (dijilid), atau dibunuh (diqisas). Sering kali bayangan tersebut terhenti di situ, sehingga kesan bahwa hukum pidana Islam bersifat kejam dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Padahal apa yang dibayangkan tersebut hanya merupakan salah satu bagian saja dari hukum pidana Islam. Itupun baru dapat ditegakkan setelah seluruh unsur-unsur jarimahnya (tindak pidananya) terpenuhi. Selebihnya terdapat asas-asas serta konsep-konsep lainnya yang luput dari perhatian.
Hukum Pidana Islam (fiqh jinayat) ini mengatur setiap perbuatan manusia yang dilarang yang berkenaan dengan tubuh, jiwa maupun dengan hal-hal lainnya seperti kehormatan, harta, keturunan, akal dan agama, yang semuanya merupakan maqasid asy-Syar’i.
Untuk menyelesaikan problem ini, Allah swt telah menetapkan hukum yang terdiri tiga tingkatan yaitu: qisas (balasan setimpal), denda-damai (diyat), atau permintaan maaf). Dan jika semuanya tidak terpenuhi maka ulil amri sebagai penguasa negara berhak memberikan hukuman atas pertimbangan kemaslahatan umat berupa hukuman ta’zir.
Kejahatan-kejahatan yang oleh syariat telah ditetapkan jenis hukumannya, merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Yakni hal-hal yang berkaitan dengan kehormatan agama, keturunan dan ketenteraman umum. Inilah yang disebut hududullah (batas-batas hukum Allah). Sedangkan kejahatan yang berkaitan dengan kehormatan jiwa manusia, merupakan pelanggaran terhadap hak hamba. Inilah yang mengandung konsekuensi hukum qisas.
Sepintas, hukum qisas nampak kejam. Memang ia hukuman yang kejam, bahkan sangat kejam. Lihatlah, karena ambruknya wibawa dan penegakan hukum, nyawa manusia jadi sangat murah. Mana pri kemanusiaan yang dipunyai manusia?. Bila kejahatan ini terus dibiarkan, eksistensi kehidupan manusia akan terancam. Karena itu Allah memperingatkan dalam al-Qur’an:
و لكم فى القصاص حياة يا اولى الألباب
Kekejaman memang harus dihentikan dengan hukuman yang setimpal agar bisa menjerakan. Dengan qisas, maka pelaku sebelum berbuat jahat akan pikir-pikir dahulu, karena korban atau ahli warisnya (bila korban meninggal) berhak membalas dengan perlakuan setimpal.
Bagi sebagian orang, jenis hukuman dinilai tidak manusiawi, primitif, barbar, atau ketinggalan zaman. Karenanya, orang-orang yang telah menjadi korban penyesatan opini semacam ini, menjadi benci terhadap hukum Islam lalu memilih hukum lain (KUHP). Padahal penyakit sosial yang bernama pembunuhan hanya efektif dicegah dengan obat yang disediakan oleh yang menciptakan nyawa manusia, yaitu dengan qisas.
Sebagai contoh kasus Tomy Suharto sebagai terpidana pembunuhan atas hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat hanya mengganjar Tomy dengan hukuman penjara 15 tahun. Dan tanggapan kedua isterinya sebagai ahli waris korban (waliyuddam) sangat kecewa karena putusan itu tidak sesuai dengan harapan. Apalagi jika dibandingkan dengan penderitaan yang mereka alami sepeninggal sang suami, jelas tidak sepadan. Mereka telah kehilangan suami sekaligus pemimpin rumah tangga dan pencari nafkah bagi keluarganya. Anak-anakpun kehilangan sosok sang ayah yang biasa membimbing mereka sehari-hari. Alhasil putusan hakim itu belum memenuhi rasa keadilan yang mereka tuntut.
Namun kedua isterinya hanya pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa selain trerpaksa menerima keputusan tersebut. Mengingat keduanya tidak berhak dan tidak bisa keputusan Hakim tersebut.
Dari kasus ini dapat dibandingkan bahwa ternyata KUHP kurang sesuai dengan tindakan yang diperbuat, tidak ada rasa keadilan atas tindakan yang dilakukan dan juga bagi keluarga korban tidak punya hak apa-apa untuk menuntut hak mereka. Bila hal ini diselesaikan denga hukum Islam maka yang akan terjadi, jika Tomy meminta maaf, dan keluarga memaafkan maka ia akan terbebas dari hukum qisas dan berganti kepada diyat sebagai ganti rugi atas tuntutan keluarga. Di sinilah aspek keadilan dan kemanusiaan dalam hukum Islam.
Maka dapat ditarik kesimpulan dari keutamaan Hukum Pidana Islam ini sebagi hikmah yang harus disyukuri, yaitu:
1. Untuk menegakkan hukum Allah sebagai bukti ketaatan kaum muslimin kepada hukum Allah.
2. untuk membasmi kejahatan di muka bumi dan kemaksiatan lainnya yang sering dilakukan oleh para penjahat. Minimal dapat mencegah merebaknya kejahatan dan kerusakan di muka bumi.
3. untuk menjaga keamanan dan keselamatan jiwa dan kehidupan manusia di dunia.
4. untuk memberikan pelajaran dan peringatan yang keras bagi orang-orang yang ada niatan berbuat kejahatan agar tidak meneruskan keinginannya.
5. sebagai mekanisme pengamanan bagi semua warga negara yang tinggal di negeri yang memberlakukan hukum Allah sebagai konstitusinya. Sebagaimana pernah terjadi pada era kehidupan Rasulullah dan pemerintahan khalifah penggantinya.
BAB IV
PRAKTEK EUTHANASIA DALAM PRESPEKTIF FIQH JINAYAH
A. Euthanasia Aktif sebagai Jarimah
Masalah menjaga kesehatan dalam Islam sangat diperhatikan. Terlebih-lebih menjaga atau memelihara jiwa atau an-nafs. Artinya, segala upaya diusahakan untuk memberi pelayanan kesehatan agar dapat memperhatikan kehidupan seorang manusia. Oleh karenanya setiap orang diharuskan untuk menjalani segala perbuatan yang dapat membahayakan dirinya atau orang lain. Atau dengan kata lain manusia tidak dibolehkan untuk menghilangkan jiwanya atau jiwa orang lain. Sebab masalah hidup dan mati itu merupakan urusan Allah SWT. Di antara firman Allah menyinggung hal jiwa atau nafs adalah sebagai berikut:
و انا لنحن نحي و نميت و نحن الوارثون
و انه هو امات و احي
Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang mengarah kepada tindakan untuk menghilangkan jiwa manusia akan diancam dengan hukuman qisas-diyat atau ta’zir. Dalam hubungan ini euthanasia, khususnya euthanasia aktif dapat dikategorikan sebagai perbuatan untuk menghilangkan jiwa atau penghentian kehidupan manusia, dan oleh karenanya pula hal tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah swt.
Masalah kematian setiap manusia itu sudah ditentukan batasannya oleh Allah swt, maka apabila telah datang kematiannya tidak seorangpun yang dapat mengundurkan atau memajukan walau sesaatpun. Sebagai mana firman Allah:
و لكل أمة أجل فاذا جاء أجلهم لا يستأخرون ساعة و لا يستقدمون
و لن يؤخر الله نفسا اذا جاء أجلها و الله خبير بما تعملون
Dapat difahami dari ayat di atas bahwa urusan mati sepenuhnya merupakan hak Allah swt. Sehingga kalau sampai terjadi seseorang lain yang mengusahakan kematian untuk orang lain, ini bisa dikategorikan sebagai pembunuhan. Dan bila ada terjadi seseorang berusaha untuk dirinya sendiri untuk mendapatkan kematian, maka perbuatan demikian bisa dikategorikan sebagai bunuh diri dengan meminjam tangan orang lain.
Akibat dari pesatnya perkembangan teknologi kedokteran modern akan dapat memberikan fasilitas dan pelayanan yang lebih baik bagi usaha perpanjangan umur pasien yang menderita sakit parah. Ini mengandung arti bahwa dokter atau tim medis telah dapat menunda beberapa saat waktu kematiannya.
Kemudian apakah dokter dalam memberikan tindakan medis (misal; memasang infus, respirator, EEG dan lain-lain), itu tidak berarti menghalangi hak Allah sebagai penentu kematian manusia ?.
Dalam konteks di atas, tindakan dokter itu tidak berarti melangkahi hak Allah atau takdirnya, sebab tindakan medis itu manifestasi dari ikhtiar untuk menolong pasien. Dan memang seharusnya begitu, seorang dokter berkewajiban untuk mengobati, meringankan penderitaan pasien dengan segala kemampuannya, baik dengan obat-obatan atau memberikan nasihat. Betapapun sudah diduga umur si pasien tidak lama lagi.
Berbicara masalah euthanasia (qatl ar-rahmah atau taisir al-maut), yang definisinya menurut Qardawi ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit. Khususnya lagi euthanasia aktif (taisir al-maut al-fa’al) yang definisinya ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan dokter dengan menggunakan instrumen (alat).
Dalam Islam euthanasia aktif itu secara eksplisit dan tegas belum pernah ditemukan hukumnya. Akan tetapi karena euthanasia aktif merupakan tindakan untuk mempercepat kematian seseorang, maka hal ini bisa diklasifikasikan kedalam jarimah pembunuhan.
Namun demikian apakah bisa begitu saja tindakan euthanasia aktif itu digolongkan sebagai jarimah pembunuhan?. Dalam hal ini tentunya diperlukan beberapa tahapan untuk menjawabnya, yakni sebagai berikut:
1. Dalam fiqh Islam suatu perbuatan barulah dikatakan sebagai jarimah apabila perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur jarimah, yakni:
a. Unsur formal atau unsur syar’i
Yang dimaksud dengan unsur formal atau unsur syar’i adalah adanya ketentuan syara’ atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud.
b. Unsur material atau rukun maddi
Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.
c. Unsur moril atau Rukun Adaby
Unsur ini juga disebut dengan al-mas’uliyyah al-jinayyah atau pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat tindak pidana atau delik haruslah orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat jarimah (tindak pidana, delik) haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima isi beban tersebut. Orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah arang-orang yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khitab (panggilan) pembebanan (taklif).
2. Tindakan euthanasia aktif itu apakah telah memenuhi unsur-unsur jarimah ataukah tidak?. Jika telah memenuhi tentunya ada kesinkronan antara aspek-aspek terjadinya euthanasia aktif dengan unsur-unsur jarimah. Adapun aspek-aspek terjadinya euthanasia aktif ialah sebagai berikut:
a. Bahwa euthanasia aktif itu merupakan tindakan pembunuhan. Sehingga euthanasia aktif dilihat dari aspek definisinya sudah memenuhi unsur jarimah pertama, ialah unsur formil (ar-rukn asy-syar’i), yakni adanya nas yang jelas-jelas melarang pembunuhan baik diri sendiri ataupun orang lain. Seperti tercantum dalam beberapa ayat al-Qur’an sebagai berikut:
لا تقتلوا أنفسكم ان الله كان بكم رحيما0
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق ذالكم وصاكم به لعلكم تعقلون0
b. Adanya tindakan atau perbuatan yang mendukung terjadinya euthanasia aktif, yakni biasanya dengan mencabut selang respirator atau melalui suntikan dengan bahan pelemah saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia), dan sebagainya. Dalam aspek ini juga telah memenuhi unsur jarimah kedua yakni unsur materill (ar-rukn al-maddi).
c. Adanya pelaku euthanasia aktif yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, yaitu dokter atau tim medis lainnya, pasien, dan keluarga pasien. Dari aspek inipun telah memenuhi unsur jarimah ketiga, yakni unsur moril (ar-rukn adabi)
Jadi jelas dalam konteks tersebut dapat disimpulkan bahwa euthanasia aktif itu merupakan jarimah pembunuhan.
Dalam hukum Pidana Islam (fiqh jinayah), tindak pidana pembunuhan ini (al-qatl) disebut juga al-jinayah ‘ala al-insaniyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia). Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan. Perbedaan tersebut adalah:
1) Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-’amd) dan kekeliruan (qatl al-khata’).
2) Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja (syibh al-’amd) dan kekeliruan.
3) Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat (ruba’i), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata’).
4) Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan dan serupa kekeliruan, dan pembunuhan secara tidak langsung (al-qatl bi al-tasabbub).
Dari macam jarimah pembunuhan di atas, tindakan euthanasia aktif bisa digolongkan kedalam pembunuhan sengaja. Hal ini sesuai dengan definisinya, yakni; suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya, atau sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dan memang akibat perbuatan itu dikehendaki pula.
Terjadinya tindakan euthanasia aktif sangat dipengaruhi oleh alasan atau pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a) Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit. Oleh karena penyakit yang dideritanya sangat (accut), dan telah lama dialami, maka ia meminta dokter untuk melakukan euthanasia. Pertimbangan lain bisa juga karena pasien tidak ingin meninggalkan beban ekonomi yang terlalu berat bagi keluarga, akibat biaya pengobatan yang mahal. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah di ambang pintu, paling tidak, harapan sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih “nyaman”, yaitu melalaui euthanasia.
b) Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien. Apabila jika pasien tampaknya tidak tahan menanggung sakitnya, baik karena terlalu lama, ataupun karena amat ganasnya jenis penyakit yang menyerangnya. Bisa juga euthanasia terjadi karena permintaan keluarga yang tidak sanggup lagi memikul biaya pengobatan, sementara harapan untuk sembuh tidak ada lagi.
c) “Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga (tertentu) bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien, karena menginginkan harta/milik pasien dan faktor amoral lainnya.
B. Sanksi Hukum bagi Pelaku Euthanasia
Dalam ajaran agama Islam tidak terdapat ajaran yang mutlak mengenai euthanasia, namun bila ingin mempelajari dan memahami arti euthanasia secara mendalam, maka akan jelas hukumnya dengan berdasarkan al-Qur’an sebagai salah satu sumber hukum Islam. Euthanasia hakikinya adalah membunuh yang dilakukan dalam rumah sakit oleh dokter ahli pada penderita karena penyakit tertentu seperti kanker atau kecelakaan yang merusak tubuhnya hingga berdasarkan ilmu dan teknologi kedokteran tidak mungkin sembuh.
Agar manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak ataupun menghilangkan jiwa orang lain maupun jiwa diri sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah.
Euthanasia merupakan salah satu bentuk pembunuhan dan termasuk dalam kategori jinayat. Dalam terminologi fiqh, jinayat adalah setiap perbuatan yang diharamkan dan tercela yang dilarang oleh Tuhan, perbuatan itu bisa merugikan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Allah melarang melakukan pembunuhan, karena pada dasarnya menghilangkan nyawa seseorang merupakan perbuatan dosa besar sebagai mana tercantum dalam al-Qur’an:
و من يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها و غضب الله عليه و لعنه و اعدَله عذابا عظيما
Secara umum hukum Islam diamalkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturan diberikan secara rinci, khusus yang berkaitan dengan hukum pidana, Islam ditetapkan aturan yang ketat yaitu Qisas (pembunuhan), had dan diyat.
Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi, sebagaimana dikutip oleh Akh. Fauzi Aseri mengaِatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya), organ tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakekatnya adalah barang ciptaan yang diberikan Allah, oleh karenanya ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya. Jadi jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit berkeinginan mempercepat kematiannya, baik dengan bunuh diri maupun dengan minta dibunuh. Bahkan berdo’a meminta dimatikanpun tidak diperbolehkan. Tetapi Allah menyuruh umatnya bila dalam keadaan sakit agar disamping berusaha juga berdoa agar diberi kesembuhan, sebagaimana firman Allah swt:
واذ مرضت فهو يشفين
Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan, bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:
1. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.
2. Janda yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam.
Jika dibandingkan dengan alasan-alasan yang mendorong terjadinya euthanasia seperti disebutkan terdahulu, maka tidak ada satupun yang berkaitan dengan alasan bilhaq di atas. Maka agar dapat ditentukan sanksi hukumnya dalam masalah euthanasia ini, perlu diperjelas secara terperinci karena masalah euthanasia ini merupakan masalah yang kompleks, baik dari segi sebabnya maupun pelaku terjadinya euthanasia.
Karena euthanasia ini merupakan jenis pembunuhan maka kiranya perlu dijelaskan sanksi-sanksinya. Sebelum menginjak kepada sanksi-sanksi pelaku euthanasia perlu disebutkan terlebih dahulu sanksi-sanksi dalam pembunuhan. Dalam pembunuhan, ada beberapa jenis sanksi, yaitu; hukuman pokok, hukuman pengganti dan hukuman tambahan. Hukuman pokok pembunuhan adalah qisas. Bila dimaafkan oleh keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah diyat. Akhirnya jika sanksi qisas atau diyat dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah ta’zir. Menurut sebagian ulama, yakni Imam Syafi’i, ta’zir tadi ditambah kaffarah. Hukuman tambahan sehubungan dengan ini adalah pencabutan atas hak waris dan hak wasiat harta dari orang yang dibunuh, terutama jika antara pembunuh dengan yang dibunuh mempunyai hubungan kekeluargaan.
Dokter sebagai seorang anggota masyarakat, penuh aktif, berinteraksi dan memelihara masyarakat. Tugas dokter tidak hanya melakukan pengobatan penyakit dan mencegah timbulnya penyakit. Tetapi juga sebagai seorang manusia dokter juga dituntut untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan apapun bentuknya.
Dalam masalah euthanasia ini, jika melihat kembali kepada fungsi dokter sebagai penolong untuk mengobati, menolong dan membantu pasien dari penyakitnya supaya sembuh, apakah secara batin dia tega melakukan euthanasia terhadap pasiennya. Pasti dia mempunyai tekanan batin dan juga menghadapi konsekuensi hukum.
Dalam hal ini, jika dokter melakukan euthanasia berarti dokter telah melakukan pembunuhan, karena pembunuhan berarti menghilangkan nyawa seseorang, sepeti dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaili:
“Pembunuhan adalah suatu perbuatan mematikan; atau perbuatan seseorang yang dapat menghilangkan nyawa; artinya pembunuhan itu dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan.”
Allah telah memberikan hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan qisas. Hal ini tercantum dalam al-Qur’an:
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
و كتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس
Jadi berdasarkan ayat di atas dokter sebagai pelaku pembunuhan harus dihukum qisas, hal ini sebagai konsekuensi pertama yang dihadapi oleh dokter sebagai pihak pembunuh. Pada dasarnya Allah melarang pembunuhan apapun jenisnya, dan Allah memberikan hukuman berupa qisas yang merupakan hak Allah atas manusia, karena Allah sebagai sang khaliq menyuruh umatnya agar senantiasa memelihara jiwa, sebagai unsur utama kehidupan manusia, tetapi Allah juga memberikan hak kepada keluarga si terbunuh dengan tuntutan, tuntutan itu bisa berupa qisas (sebagai balasan), diyat (bila pembunuh dimaafkan) dan bisa juga dimaafkan secara mutlak. Hal ini tergantung tuntutan apa yang akan dilakukan pihak keluarga atau ahli warisnya. Dalam hal ini dokter mempunyai suatu dispensasi dari pihak pasien (si terbunuh) berupa (kerelaan atau izin), dan persetujuan dari pihak keluarga.
Dalam hal ini si pasien sebagai pemilik jiwa telah merelakan atau memberi izin kepada dokter. Masalah yang timbul adalah, apakah pelaku (dokter) terkena hukuman atau tidak dalam kasus euthanasia yang mana si korban sebagai pemilik jiwa, atau keluarga sebagai wali ad-dam telah merelakan bahkan menganjurkannya. Dalam hal ini Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang disuruh sendiri oleh si korban dengan disetujui walinya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa perintah korban dapat menggugurkan qisas terhadap pelaku.
Menurut Hanafiyah:
يسقط القصاص برضا المجني عليه
Gugurnya qisas disebabkan oleh adanya kerelaan atau izin korban yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman berpindah kepada diyat. Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hudud. Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hanifah, Abu yusuf dan Muhammad mereka sama-sama memberikan sanksinya berupa diyat, karena adanya pemberian izin, dan pemberian izin itu menimbulkan syubhat (kesamaran).
Pendapat ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah, yakni:
ادرؤوا الحدود بالشبهات
Pendapat Malikiyah yang arjah (lebih kuat) dan sebagian Syafi’iyah:
يسقط عقوبتى القصاص و الدية برضا المجني عليه
Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukuman asli (qisas) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam kasus euthanasia ini tidak ada sanksi qisas dan diyat, meskipun tidak berarti menghapuskan hukuman ta’zir. Karena si pasien telah memaafkan dari sanksi dan rela untuk dibunuh itu sama dengan memberi maaf.
Dari pendapat-pendapat di atas, semuanya tidak ada yang menetapkan sanksi hukum atas kerelaan atau izin ini dengan sanksi qisas (hukuman asli), walaupun Abu Hanifah (beserta pengikutnya) Abu Yusuf dan Muhammad menetapkan hukum atas adanya unsur kerelaan ini dengan diyat (hukuman pengganti).
Diyat ada dua macam yaitu diyat mugalazah dan diyat mukhafafah. Menurut Malikiyah pada pembunuhan disengaja dikenakan diyat mugalazah apabila waliyuddam menerimanya. Dan jumlah dari pembayaran diyat mugalazah adalah seratus ekor unta yang empat puluh di antaranya sedang bunting.
Dari hal ini, jika melihat hal di atas berarti dokter yang mengeuthanasia mendapat hukuman berupa diyat mughaladzhah karena telah dimaafkan oleh pihak keluarga, tetapi dalam hal ini apakah dokter sebagai orang lain bagi pasien dan keluarga yang sudah melaksanakan euthanasia atas permintaan pasien dan persetujuan keluarga sehingga mendapat hukuman diyat, mau menerima hukuman tersebut, jika dia sudah tahu akan konsekuensinya. Sedangkan jumlah yang harus dikeluarkan dari ketentuan diyat sendiri tidak sedikit, yaitu berupa seratus ekor unta yang empat puluh diantaranya sedang bunting, atau harta (uang atau barang ) yang senilai dengannya. Otomatis dokter tidak akan mau jika harus membayar diyat, karena berarti dokter sebagai pihak yang membantu malah mendapatkan kerugian. Jadi dari hal ini dokter terbebas dari hukuman qisas (sebagai hukuman asli) juga diyat (sebagai hukuman pengganti). Karena fungsi diyat adalah untuk kemaslahatan keluarga si pasien (si terbunuh). Sedangkan tindakan dokter telah disetujui pihak keluarga pasien. Dan pihak keluarga atau ahli warisnya juga telah memaafkan secara mutlak maka tidak ada hukuman diyat baginya.
Pada dasarnya hukuman qisas tidak dapat diganti dengan hukuman yang dibuat oleh manusia, namun pihak korban atau ahli warisnya diberi hak tuntutan, oleh karena itu hak Allah yang berupa qisas dapat diganti dengan hukuman diyat yang merupakan hak manusia. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعروف و اداء اليه باحسان
Adanya hukuman pengganti pada jarimah qisas ini disebabkan adanya pemaafan dari sikorban atau wali atau ahli warisnya. Hal itu dimungkinkan, sebab jarimah qisas merupakan hak adami hak perseorangan. Oleh karena itu, kalau sikorban (masih hidup) atau ahli waris (jika korban mati) memaafkan pembuat jarimah, hukuman qisaspun menjadi gugur digantikan dengan hukuman diyat. Apabila korban atau keluarganya memaafkan diyat ini, dapat dihapus dan sebagai penggantinya hakim akan menjatuhkan hukuman ta’zir. Singkatnya, sanksi ta’zir dapat dijatuhkan terhadap pembunuh, maka sanksi qisas tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi syarat.
Dalam tindak pidana pembunuhan. hukum Islam memberikan kedudukan kepada keluarga korban secara bijaksana untuk turut ambil bagian di dalam menentukan kebijaksanaan hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan memberikan kesempatan kepada pelakunya apakah harus diqisas atau diyat, atau juga memberi maaf secara mutlak. Keterlibatan keluarga pihak korban, ini sangat berarti bagi pelaku tindak pidana maupun bagi keluarga si korban. karena korban (si pasien) atau walinya mempunyai hak untuk membebaskan pembunuh dari sanksi hukuman qisas dan diyat, baik kedua-duanya atau diganti dengan sanksi lain. Dengan melihat bahwa izin (persetujuan) dapat menghapuskan hukuman, maka izin tersebut merupakan pemaafan yang didahulukan.
Hukuman ta’zir yang diberikan kepada pembunuh sengaja yang dimaafkan dari qisas dan diyat adalah aturan yang baik dan membawa kemaslahatan. Karena pembunuhan itu tidak hanya berurusan dengan hak perseorangan, melainkan juga hak jamaah. Maka ta’zir itulah sebagai sanksi hak masyarakat. Dan ta’zir itu tergantung kepada kemaslahatan:
التعزير يدور مع المصلحة
Adanya kaidah ini merupakan wujud dinamisasi hukum pidana Islam dalam menjawab bentuk-bentuk kejahatan baru yang belum ada aturannya sehingga setiap bentuk kejahatan baru yang dianggap telah merusak ketenangan dan ketertiban umum dapat dituntut dan dihukum.
EUTHANASIA
DALAM PRESPEKTIF FIQH JINAYAH
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:
MUKHLISIN
9937 3425
PEMBIMBING
DRS. OMAN FATHUROHMAN SW, M. Ag
DRS. SLAMET KHILMI
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Qur’an Karim, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1404. H
Hadis
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Bukhari, Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ja’fi al-, Sahih al-Bukhari, 8 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Daruquthni, Ali bin ‘Amr Abu al-Husyain al-, Sunan al-Daruqutni, 3 jilid, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1996.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulug al-Maram, Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.
Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, 2 jilid, Beirut: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyah, t.t.
Maraghi, Musthafa al-, Tafsir al-Maraghi, 30 jilid, Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1971.
Nasai’, Abd ar-Rahman Ahmad ibn Suaib ibn Ali ibn Bahr an-, Sunan an-Nasai’, 8 jilid, Mesir: al-Bab al-Halabi wa al-Audah, 1994.
San’ani, Muhammad ibn Ismail ibn Salah al-Amir al-Kahlani al-, Subul as-Salam Syarah Bulug al-Maram, Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.
Fiqh dan Usul Fiqih
Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wad’i, 2 jilid, Beirut: Muassasat ar-Risalat, 1992.
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (upaya menaggulangi kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Anwar Harjono, Hukum Islam (keluasan dan keadilannya), Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
Charis, Zubir A., Etika Rekayasa menurut konsep Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam menurut ajaran ahlus sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Ibnu Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t.
Jaih mubarok, dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Madjrie, Abdurrahman dan Fauzan al-Anshari, Qisas pembalasan yang hak, Jakarta: Khairul Bayan, 2003.
Mawardi, Imam al-, al-Ahkam as-Sultaniyah, (Prinsip-prinsip penyelenggaraan Negara Islam), alih bahasa: Fadhli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2000.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV Haji Masagung, 1994.
Mukti, Ali Ghufron dan Adi Heru Sutomo, Abortus, bayi tabung, Euthanasia, transplantasi ginjal, dan operasi kelamin, dalam tinjauan medis, hukum, dan agama Islam, Yogyakarta: Aditya media,1993.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Qardhawi, Yusuf al-, Fatwa-fatwa kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
…., Halal dan Haram dalam Islam, terj. Oleh Drs. Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: Robbani Press, 2000.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa A. Ali, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1997.
Supriadi, Wila Chandrawila, hukum kedokteran, Bandung: Mandar Maju, 2001.
Syairazi, Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-, al-Muhazzab, Surabaya: Maktabah Ahmad bin Said bin Nabhan, t.t.
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy-Syamil Press, 2001.
Yanggo, Chuzaimah T. dan A. Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer edisi ke-4 edisi revisi, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002.
Zuhaili, Wahbah az-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 8 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Buku lain-lain
Abdul Jamali, dkk, Tanggung jawab Hukum Seorang Dokter dalam menangani Pasien, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990.
Adji, Oemar Seno, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Jakarta: Erlangga, 1991.
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997.
Djoko Prakoso, dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
F.Tengker, Mengapa Euthanasia? Kemampuan Medis & Konsekuensi Yuridis, Bandung: Nova, t.t.
R. Soesilo, Kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP) serta komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor: Politeia, 1996.
Ali Akbar, Etika Kedokteran Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1988.
Carm, Piet Go O, Euthanasia Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik, Malang: Analekta Keuskupan Malang, 1989.
Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1987), Vol.2 : 978, Artikel Euthanasia
Guwandi J, Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
Imron Halimi, Euthanasia cara mati terhormat orang modern, Solo: CV. Ramadhani, 1990.
Kartono Mohamad, Teknologi Modern Dan Tantangannya Terhadap Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Karyadi, Petrus Yoyo, Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001.
Sudibyo Soepardi, Kode Etik Kedokteran Islam (Islamic code of medical ethics), Jakarta: Akademika Pressindo, 2001.
Samil, Ratna Suprapti, ed, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: Metro Kencana, 1980.
Shannon, Thomas A,Pengantar Bioetika, alih bahasa. K Bartens, Jakarta: Gramedia, 1995.
Sudarmo, H.R. Siswo, Euthanasia Bagaimana Sikap Seorang Dokter, Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis. Yogyakarta: FKMPY, 1990.
Widyana, J. Chr Purwa, “Euthanasia” beberapa soal moral berhubungan dengan quantum, Antropologi Teologis II, 1974.
#Skripsi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam abad XX ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi semakin pesat, karena muncul berbagai penemuan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Khususnya di bidang kedokteran telah banyak penemuan obat-obatan, alat-alat mekanik, serta cara-cara perlindungan terhadap penyakit.
Hampir semua aspek kehidupan manusia tersentuh oleh teknologi, harus disadari bahwa teknologi telah membawa banyak manfaat untuk umat manusia. Di antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut, diagnose mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan peralatan kedokteran yang modern itu,rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu jangka waktu tertentu, dengan memasang sebuah “ respirator “. Bahkan perhitungan saat kematian penderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Yang menjadi persoalan ialah jenis kematian yang ketiga, yaitu kematian dalam kategori euthanasia atau biasa disebut juga mercy killing. Euthanasia biasa didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan tenang. Hal ini dapat terjadi karena dengan pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya, karena penderitaan yang sangat hebat dan tiada akhir, atau tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pertolongan pengobatan seperlunya.
Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan dalam pengakhiran hidupnya, bagi banyak negara masih menjadi perdebatan yang sengit. Sampai sekarang ini, kaidah non hukum yang manapun (agama, moral, kesopanan), menentukan: membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh adalah perbuatan yuang tidak baik.
Pada dasarnya masalah euthanasia ini timbul dari adanya suatu dilema, apakah seorang dokter mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau dari keluarganya, dengan dalih untuk menghilangkan atau mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik bathin, dimana sebagai manusia biasa sang dokter tidak sampai hati menolak permintaan dari pasien dan keluarganya itu. Apalagi keadaan si pasien yang sekarat berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang diberikan itu maka dokter telah melanggar hukum, disamping itu juga telah pula melanggar sumpah dokter yang telah diucapkannya sebelum menjalankan profesi sebagai seorang dokter.
Dalam memecahkan masalah ini, ada cara yang cukup unik yaitu bila keadaan antara hidup dan mati (maribundity), maka proses dan usaha medis jika tiada berpotensi lagi, penyembuhan harus dihentikan. Dengan perkataan lain, bahwa dalam keadaan demikian maka pembunuhan karena kasihan/karena terpaksa yang diijinkan oleh dokter diperbolehkan. Dalam hubungan itu, bahkan ada dokter yang berpendapat bahwa dokter itu boleh mengeluarkan atau mencabut alat yang diperjuangkan untuk memperpanjang hidup dari seorang pasien yang dalam keadaan expiration of the soul, yaitu apabila proses kematian sudah mulai nampak.
Menurut dr. Kartono Muhammad (Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia), seperti dikutip Akh Fauzi Aseri. Ia mengatakan seseorang dianggap mati apabila batang otak yang menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi. Tegasnya, batang otak merupakan pedoman untuk mengetahui masih hidup atau matinya seseorang yang sudah tidak sadar. Dari sini mesin-mesin pembantu seperti pemacu jantung dapat dicabut tanpa dituduh melakukan euthanasia terhadap penderita.
Lahir dan mati adalah takdir, demikianlah pendapat dari sebagian besar masyarakat Indonesia, dan tidak ada seorangpun yang dapat menghindari/menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Kematian dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, karena uzur, penyakit, kecelakaan, bunuh diri, bahkan dibunuh oleh orang lain, semua menurut sebagian besar masyarakat Indonesia adalah takdir.
Pada umumnya, kelahiran selalu membawa kebahagiaan, dan kematian selalu membawa kesedihan. Kematian secara alamiah, dapat selalu diterima sebagai sesuatu hal yang wajar, sebab manusia pada saatnya akan mati, tetapi mati tidak secara alamiah adalah mati yang tidak diharapkan.
Pada mati tidak secara alamiah, apakah itu pengakhiran hidup dengan bunuh diri (zelfmoord) atau minta “dibunuh” (diakhiri hidupnya – selanjutnya euthanasia), akan ada hubungannya dengan hak seseorang untuk mati secara tidak alamiah (selanjutnya “hak untuk mati”) dari seseorang.
Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati, adalah hak asasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of selfdetermination –TROS), sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Euthanasia dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang menyangkut kepada suatu tindakan untuk penghentian kehidupan seseorang, walaupun dengan kerelaan dan atas permintaan orang itu sendiri, maka perbuatan ini bisa dimasukan sebagai jarimah pembunuhan. Karena pembunuhan adalah peniadaan atau perampasan nyawa seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh anggota badan disebabkan ketiadaan roh sebagai unsur utama menggerakan tubuh.
Dalam Islam masalah kematian manusia merupakan hak prerogatif Allah SWT. Jadi perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan untuk menghentikan hidup seseorang itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendakNYA. Allah SWT melarang perbuatan yang mengarah kepada kematian dalam bentuk apapun, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, termasuk di dalamnya euthanasia, karena tindakan pembunuhan secara euthanasia ini merupakan pembunuhan tanpa hak, Allah berfirman dalam al-Qur’an:
لا تقتلوا أنفسكم ان الله كان بكم رحيما0
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق ذالكم وصاكم به لعلكم تعقلون0
من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الارض فكانما قتل الناس جميعا0
وهو الذي أحياكم ثم يميتكم ثم يحييكم ان الانسان لكفور
Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:
1. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.
2. Janda (yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi (dengan mata kepala sendiri).
3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah Islam.
Jika dibandingkan dengan ketiga faktor di atas maka terjadinya tindakan euthanasia tidak ada satupun karena alasan bil haq.
Jadi tindakan euthanasia merupakan tindakan pembunuhan dengan unsur kesengajaan dan direncanakan, walaupun ada unsur kerelaan dari pasien. Dalam unsur euthanasia terdapat tiga hal yaitu dokter sebagai pelaku euthanasia, keluarga sebagai pihak pemberi izin dan sisakit sebagai korban euthanasia. Tindakan euthanasia dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dengan adanya unsur perencanaan. Jadi dalam masalah euthanasia ini merupakan tindakan pembunuhan yang disengaja dan direncanakan
Di dalam hukum Islam, kerelaan korban untuk dibunuh bukan suatu penyebab kebolehan pembunuhan, karena kerelaan korban itu bukan merupakan unsur jarimah pembunuhan, sekalipun ada prinsip lain bahwa korban atau keluarganya berhak memaafkan sanksi qisas atau diyat atau keduanya.
Allah melarang adanya pembunuhan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pada dasarnya Allah memberikan hukuman qisas bagi pembunuhan, yang merupakan hak Tuhan, tetapi pihak keluarga diberikan hak atas tuntutan tindak pidana baik itu pembunuhan maupun pelukaan berupa hukuman diyat atau dimaafkan secara mutlak. Karena hal ini sangat berguna untuk kelangsungan hidup pihak keluarga korban maupun pihak pelaku kejahatannya.
Permasalahan Euthanasia ini sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra baik pada pandangan hukum, etika, agama, budaya dan lain-lain pada umumnya dan juga pada pandangan Islam dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam) khususnya, dalam menentukan hukumnya. Untuk itu penyusun berusaha meneliti masalah Euthanasia ini dalam Prespektif Fiqh Jinayah.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan pokok masalah sebagai berikut:
Apakah euthanasia merupakan tindak pidana dalam tinjauan Fiqh Jinayah?
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan pokok masalah di atas, penyusunan skripsi ini bertujuan untuk:
Menjelaskan bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap masalah euthanasia.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah :
Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran di dalam menambah khasanah pengetahuan tentang hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah.
D. Telaah Pustaka
Kajian tentang Euthanasia dalam prespektif medis, hukum, psikologi, etika dan ham banyak dibicarakan oleh banyak praktisi, seperti ulama, ahli hukum, ahli medis, psikolog.
Ada beberapa buku yang telah membahas tentang masalah euthanasia, diantaranya: dalam buku Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, karya Petrus Yoyo Karyadi. Buku ini meninjau dan menyoroti permasalahan euthanasia dari segi HAM, diantaranya mengemukakan tentang apakah tindakan euthanasia merupakan hak asasi manusia?. Dan juga menjelaskan bahwa dalam hak asasi manusia terdapat hak untuk hidup dan hak untuk mati.
Dalam buku Mengapa Euthanasia ?: Kemajuan Medis dan Konsekuensi Yuridis, karya F.Tengker, buku ini menjelaskan bahwa Euthanasia atau kematian baik adalah demi kepentingan pasien semata-mata bukan untuk kenyamanan orang-orang yang sehari-hari berada di sekelilingnya. Euthanasia harus berlangsung atas dasar suka rela, yaitu atas permintaan pasien itu sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. Dan dari segi yuridis dalam masalah euthanasia ini. Jika dokter melakukan tindakan euthanasia secara non alami maka dokter bisa dituntut pasal 344 karena bersalah menghilangkan nyawa orang atas permintaan, dan pasal 354 karena menolong orang bunuh diri.
Dalam buku Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, karya Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, buku ini menjelaskan kedudukan Euthanasia dengan Hak Asasi Manusia, yang memuat tentang Hak untuk Mati seseorang dan kaitannya dengan hukuman mati. Dan hal ini juga dilihat dari prespektif hukum pidana; bagaimana kedudukan Euthanasia dalam KUHP dan juga bagaimana prospeknya di masa depan dalam KUHP.
Dalam Skripsi yang berjudul “Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Euthanasia yang dipaksa menurut KUHP dan Hukum Islam”, hasil karya Imawan Mukhlas Abadi, yang merupakan study analisis komparatif terhadap KUHP dan hukum Islam tentang pelaku euthanasia yang dipaksa . Dalam karya tulis tersebut menekankan cara dilakukannya euthanasia yang ada unsur paksaannya dan sanksi hukum terhadap pelaku euthanasia yang dipakai, hubungannya dengan HAM, sebagian yang kontra menganggap hak untuk hidup sebagai dasarnya, bagi yang pro menganggap selain punya hak untuk hidup manusia juga mempunyai hak untuk mati.
Dalam skripsi yang berjudul “Euthanasia dalam Prespektif Etika Situasi”, karya Anna Iffah Akmala, yang merupakan pandangan Etika situasi terhadap Euthanasia yang meliputi manusia dalam sudut pandang Etika Situasi, kehidupan dan kematian yang manusiawi serta pandaangan Etika Situasi terhadap Euthanasia. Juga terdapat perkembangan euthanasia di berbagai negara dan ethanasia dalam tinjauan berbagai agama.
Di sekian penelitian yang ada yang membahas euthanasia ini semuanya mengacu pada permasalahan medis sebagai objek penelitian dasarnya, dan penelitian-penelitian di atas merupakan bentuk-bentuk macam penelitian dalam segi medis ditinjau dari berbagai aspek. Yang membedakan antara penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini peneliti meneliti permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah, yang mana tindakan euthanasia yang terdapat suatu unsur tindakan pembunuhan, yang dilakukan secara suka rela atas permintaan sendiri dikarenakan sakit. Dalam Skripsi ini akan dibahas apakah tindakan euthanasia ini termasuk pembunuhan dan dapat dikenai sanksi, sebagaimana tindakan pembunuhan pada umumnya, dalam prespektif Fiqh Jinayah. Sedangkan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian yang meninjau dari segi Hukum Pidana Positif, Komparasi Hukum Islam dengan Hukum Pidana Positif dalam masalah euthanasia yang dipaksa, HAM, Konsekwensi Yuridis dan kajian Etika.
E. Kerangka Teoretik
Euthanasia merupakan istilah untuk pertolongan medis agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal dunia diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Menurut Petrus Yoyo Karyadi, euthanasia adalah dengan sengaja dokter atau bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya atau tenaga ahli lainnya melakukan suatu tindakan medis tertentu untuk mengakhiri hidup pasien atau mempercepat proses kematian pasien atau tidak melakukan tindakan medis untuk memperpanjang hidup pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran sulit untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan dan atau keluarga sendiri, demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Euthanasia pada garis besarnya ada dua, yakni euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Definisi euthanasia aktif ialah sengaja diambil tindakan yang berakibat kematian, sedang euthanasia pasif ialah membiarkan perawatan yang dapat memperpanjang kehidupannya.
Dalam euthanasia aktif, sukarela atau tidak sukarela, kematian merupakan tujuan tindakan seseorang. Tindakan yang diambil, seperti dosis besar obat tidur atau suntikan racun, dimaksudkan untuk mengakhiri kehidupan pasien. Sedangkan euthanasia pasif berusaha untuk memecahkan masalah-masalah moral mengenai perawatan pasien yang tidak ada harapan lagi atau yang sudah mendekati ajalnya dengan menghentikan segala terapi, sehingga bisa berlangsung penyelesaian secara alamiah.
Euthanasia aktif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek hidup pasien atau untuk mengakhiri hidup pasien tersebut.
Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian dibagi menjadi dua golongan, yaitu euthanasia aktif langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan suatu tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien sedemikian rupa sehingga secara logis dapat diperhitungkan bahwa hidup pasien diperpendek atau diakhiri. Euthanasia aktif tidak langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya tanpa maksud untuk memperpendek hidup pasiennya, melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien dengan mengetahui adanya risiko bahwa tindakan medik ini dapat mengakibatkan diperpendek/ diakhiri hidup pasiennya.
Euthanasia aktif adalah proses kematian diringankan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.
Menurut Yusuf Qardawi yang dimaksud euthanasia aktif (taisir maut al-faal) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), sedangkan euthanasia pasif (taisir maut al-munfa’il) tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetepi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Dalam masalah euthanasia ini tidak terlepas dari beberapa pihak, yaitu pasien sebagai yang di euthanasia, dokter sebagai pelaku (pengeksekusi) euthanasia, dan keluarga sebagi pihak penyetuju tindakan euthanasia. Dan yang diteliti dalam masalah euthansia ini adalah euthanasia aktif secara langsung yang dilakukan atas permintaan pasien, yang dibebankan kepada pelaku euthansia yaitu dokter sebagai pihak pengeksekusi euthanasia.
Dalam hal ini permintaan pasien harus mendapat perhatian yang tegas agar tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh, harus dibuktikan dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya, alat-alat bukti lainnya yaitu: kesaksian-kesaksian, surat-surat, pengakuan dan isyarat-isyarat.
Hukum Islam atau Fiqh Islam, telah mengatur perikehidupan manusia secara menyeluruh mencakup segala macam aspeknya, diantaranya adalah masalah-masalah hukum yang berhubungan dengan kepidanaan, seperti macam-macam perbuatan pidana dengan ancaman pidana disebut al-jinayah.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa euthanasia khususnya euthanasia aktif, itu merupakan suatu perbuatan jarimah pembunuhan karena sudah memenuhi unsur-unsur jinayah yakni:
1. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuaatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal” (ar-Rukn asy- Syar’i)
2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukaan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (ar-Rukn al-Maddi)
3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (ar-Rukn al-Adabi)
Dalam konteks di atas jelas bahwa pelaku euthanasia aktif bisa dikenai sanksi pembunuhan sengaja. Berbicara tentang pembunuhan, maka perlu diberikan klasifikasinya agar mudah menempatkan/ memposisikan suatu tindak pidana pembunuhan menurut kadar ukurannya. Pembunuhan adakalanya terjadi karena disengaja oleh pelaku dan adakalanya tidak disengaja. Berkenaan dengan ini, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan. Perbedaan pengklasifikasian tersebut adalah:
1. Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-’amd) dan kekeliruan (qatl al khata’).
2. Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja (syibh al-’amd) dan kekeliruan.
3. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikanya menjadi empat (ruba’i), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata’).
4. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, serupa kekeliruan, dan pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub).
Untuk mengetahui arti dari jenis-jenis pembunuhan ini maka perlu diperjelas artinya yaitu sebagai berikut:
1. pembunuhan sengaja (qatl al-’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya. Jadi, matinya korban merupakan bagian yang dikehendaki si pembunuh.
2. pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-’amd), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian. Perbuatan itu sendiri sengaja dilakukan dalam objek yang dimaksud, namun sama sekali tidak menhendaki kematian si korban.
3. pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’), yaitu kesalahan dalam berbuat sesuatu yang mengakibatkan matinya seseorang. Walaupun disengaja, perbuatan tersebut tidak ditujukan terhadap korban. Jadi matinya korban sama sekali tidak diniati.
4. pembunuhan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata’), pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan suatu aktivitas tertentu, akan tetapi di luar kesadarannya menyebabkan kematian orang lain.
5. pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub), pelaku membuat sarana yang pada awalnya tidak dimaksudkan untuk mencelakakan orang lain, tetapi karena kelalaiannya, pada akhirnya menyebabkan kematian orang lain.
Dari jenis-jenis pembunuhan di atas, bila melihat kepada maknanya euthanasia yaitu suatu perbuatan penghilangan nyawa seseorang atas permintaan orang itu sendiri, berarti hal ini termasuk dalam pembunuhan disengaja, karena telah ada unsur perbuatannya dan unsur tujuannya yaitu agar orang tersebut mati. Tetapi dalam hal ini yang perlu dipertanyakan apakah unsur kerelaan atas si terbunuh termasuk ke dalam unsur pembunuhan disengaja.
Apabila euthanasia aktif itu didukung oleh kerelaan si pasien maka yang demikian disebut tindakan bunuh diri dengan meminjam tangan atau melalui orang lain..
Masalah euthanasia merupakan masalah yang sangat sulit, dan masalah ini biasanya timbul oleh alasan bahwa pasien sudah tidak tahan lagi menanggung derita yang berkepanjangan atau tidak ingin meninggalkan beban ekonomi atau tidak punya harapan untuk sembuh.
Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia , lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi mengatakan, bahwa kehidupan seseorang bukanlah miliknya sendiri, karena dia tidak menciptakan dirinya (jiwanya), anggota tubuhnya, ataupun selnya. Dirinya hanyalah titipan yang dititipkan Allah. Karena itu ia tidak boleh mengabaikannya, apalagi memusuhinya atau memisahkannya dari kehidupan.
Manusia dituntut untuk memelihara jiwanya (hifz an-nafs). Karena memelihara nyawa manusia merupakan salah-satu tujuan utama dari lima tujuan syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Jiwa meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah Swt. Oleh karenanya, seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri.
F. Hipotesis
Euthanasia adalah istilah dalam dunia medis yang merupakan keputusan dokter terhadap keadaan penyakit yang dialami pasien, bahwa penyakit yang diderita pasien tidak dapat disembuhkan lagi dan diberikan jalan pintas yaitu dengan jalan medis juga, biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi syaraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Memutuskan hukum dalam masalah euthanasia ini bukan merupakan hal yang mudah, dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang menyinggung terhadap masalah euthanasia ini secara khusus. Namun karena masalah euthanasia ini berhubungan masalah pembunuhan, walaupun terdapat unsur kerelaan dari pihak siterbunuh maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan jarimah, dan hal ini dilarang oleh Allah dengan ancaman neraka jahannam. Dan sanksi pembunuhan ini adalah hukum Qisas sesuai dengan kadar dan jenis pembunuhannya
Perbuatan euthanasia sama dengan bunuh diri yang dilakukan dengan meminjam tangan orang lain, dan hal ini dianggap sebagai perbuatan yang menentang takdir Tuhan. Maka euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari pencipta-Nya, yaitu Allah SWT.
G. Metode Penelitian
1.Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan ialah kepustakaan (literatur)
2.Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu meneliti permasalahan euthanasia sebagai suatu permasalahan baru, sesuai dengan perkembangan zaman yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, yang mana euthanasia yang terdapat dalam dunia medis diteliti dengan prespektif fiqh jinayah (Hukum Pidana Islam), dan dalam penyelesaiannya dibantu dengan pendapat-pendapat para ahli dan para mujtahid
3.Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, ialah pendekatan normatif. Artinya dalam pembahasannya melakukan pendekatan terhadap permasalahan yang dititikberatkan pada aspek-aspek hukum, dalam hukum Islam lebih khusus dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam).
4.Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data dalam penyusunan skripsi ini, ialah menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Penyusun menelusuri bahan penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti. Dalam rangka pengumpulan data, penyusun menggunakan teknik dokumentasi, yaitu penyusun melakukan observasi terhadap sumber-sumber data yang berupa dokumen baik primer ataupun sekunder, kemudian dikumpulkan dan diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan data yang diperlukan.
5. Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara berfikir deduktif. Deduktif artinya meneliti dan menganalisa macam-macam bentuk euthanasia, kemudian ditentukan, jenis euthanasia yang termasuk kedalam perbuatan jarimah, serta pelaku tindakan euthanasia dan juga sanksi hukum apa yang harus diterapkan bagi perbuatan euthanasia ini.
H. Sistematika Pembahasan
Agar tidak terjadi tumpang tindih dan untuk konsistensi pemikiran, penulis membuat sistematika pembahasan yang terdiri dari bab-bab yang saling berhubungan dan saling menunjang yang satu dengan yang lainnya secara logis.
Pada bab pertama, dimulai dengan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang permasalahan yang akan dicari jawabannya, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, hipotesis, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Setelah bab pertama merupakaan pendahuluan ialah bab kedua, tinjauan umum dan masalah sekitar euthanasia, bab ini membicarakan mengenani pengertian euthanasia serta permasalahannya yang sangat erat hubungannya dengan euthanasia, yakni tentang macam-macam euthanasia, sebab-sebab yang memungkinkan dilakukannya euthanasia, dan juga beberapa tinjauan baik dari segi Medis, HAM dan Hukum Pidana Positif (KUHP).
Pada bab ketiga berisi tentang Prinsip-prinsip Fiqh Jinayah terhadap Euthanasia yang meliputi pengertian Hukum Pidana Islam, jarimah Qisas-diyat, tujuan Fiqh Jinayah serta aspek kemanusiaan dalam Fiqh Jinayah, sebagai acuan dalam meninjau permasalahan pidana khususnya dalam masalah euthanasia.
Pada bab keempat berisi tentang Praktek Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah yang meliputi Euthanasia aktif sebagai jarimah, Serta sanksi hukum bagi pelaku euthanasia.
Bab kelima, pada bab yang terakhir ini, memuat tentang kesimpulan dan saran-saran. Setelah diuraikan secara panjang lebar dan terperinci pada bab-bab sebelumnya, langkah selanjutnya adalah mengambil suatu kesimpulan dari apa yang telah menjadi pokok pembahasan dalam karya ilmiah ini. Sedangkan saran-saran diajukan pula, demi perbaikan dan kesempurnaan dari pengaturan masalaah euthanasia yang telah ada serta pandangan untuk masa-masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA
A. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang).
Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama.
Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari berbagai sudut pandang, namun demikian pandangan medis, etika, agama, sosial dan yuridis masih mengundang berbagai ketidakpuasan, sulit dijawab secara tepat dan objektif.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Agar persoalan euthanasia ini dapat dibahas dengan sewajarnya sebaiknya arti kata-katanya diuraikan dengan lebih seksama lagi. Secara etimologis di zaman kuno berarti kematian tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dewasa ini orang tidak lagi memakai arti asli, melainkan lebih terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan orang sakit atau orang yang berada pada sakarotul maut, bahkan kadang-kadang disertai bahaya mengakhiri kehidupan sebelum waktunya. Akhirnya kata ini dipakai dalam arti yang lebih sempit sehingga makna dan artinya adalah mematikan karena belas kasihan.
Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu:
1. Pemakaian secara sempit
Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian.
2. Pemakaian secara luas
Secara luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.
3. Pemakaian paling luas
Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien.
Beberapa ahli membedakan ketiga cara tersebut, tetapi pada hemat penulis apapun istilahnya ketiga cara tersebut adalah tindakan euthanasia.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi, euthanasia diartikan:
1). Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien
3). Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.
b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti:
1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.
2). Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang.
3). Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut:
1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
3). Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
4). Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
B. Macam-macam Euthanasia
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.
Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. euthanasia aktif
2. euthanasia pasif
3. euthanasia volunter
4. euthanasia involunter
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan:
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan “baik”.
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin “de fakto” dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan pemerintah.
C. Keadaan-keadaan yang Memungkinkan Dilakukannya Euthanasia
Euthanasia mempunyai arti yang berdekatan dengan “membiarkan datangnya kematian” (letting die). Dalam literatur, euthanasia dibedakan antara yang aktif dan yang pasif. Euthanasia aktif diartikan melakukan suatu tindakan tertentu sehingga pasien meninggal, misalnya dengan mengakhiri pemberian nafas buatan melalui respirator atau mencabut ventilator dalam arti penghentian pemberian pernafasan artifisial. Sedang euthanasia pasif diartikan sebagai tidak dimulainya melakukan tindakan untuk memperpanjang hidupnya, tetapi yang tidak begitu bermanfaat lagi, bahkan akan menambah beban penderitaan (not initiating life support treatment). Misalnya tidak memberikan shock terapi dan tidak menyambung pernafasan dengan ventilator sesudah pasien manula penderita jantung kronis yang mendapat serangan jantung untuk kesekian kalinya dan sudah tidak sadarkan diri untuk waktu yang agak lama.
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, kemajuan dalam bidang ilmu dan tekhnologi kedokteran telah menambah beberapa konsep fundamental tentang mati. Kalau dahulu mati didefinisikan sebagai berhentinya denyut jantung dan pernafasan, maka dengan ditemukannya alat bantu pernafasan (respirator) dan alat pacu jantung (pace maker), maka seseorang yang oleh karena suatu hal mengalami henti nafas mendadak (respiratory arrest) atau henti jantung (cardiac arrest), masih ada kemungkinan ditolong dengan menggunakan alat tersebut, artinya pasien belum meninggal.
Persoalan yang kemudian timbul adalah sampai berapa lama orang itu bertahan dengan alat bantu tersebut. Keadaan semacam ini berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa di ketahui kapan akan berakhir, yang jelas kehidupannya tergantung kepada alat, dan kalau alat tersebut dicabut kemungkinan besar ia akan segera mati.
Secara medis sekarang diketahui jika rekaman otak masih menunjukkan fungsi yang baik, maka ada harapan orang tersebut akan siuman kembali, tetapi bila otak sudah tidak berfungsi, maka hampir tidak mungkin dia hidup tanpa bantuan alat tersebut, dengan kata lain dia hanya hidup secara vegetatif, yakni sel-sel tubuh saja yang masih menunjukkan tanda kehidupan. Dengan demikian sekarang dikenal istilah mati otak (brain death), yang menunjukkan bahwa otak sudah tidak berfungsi lagi.
Dalam keadaan seperti ini tidak jarang keluarga pasien meminta dokter untuk segera mengakhiri penderitaan pasien dengan cara melepas semua alat bantu, yang menjadi persoalan adalah: pertama, sampai hatikah seorang dokter dengan sengaja melepas alat bantu yang nota bene akan mengakhiri kehidupan seseorang?. Kedua, apakah dokter mempunyai hak untuk melakukan hal itu tanpa ia dikenai sanksi hukum?. Akan lebih rumit lagi apabila permintaan pasien (keluarganya) adalah dengan alasan sosial ekonomi (biaya) sehingga keluarga memaksa untuk membawa pulang pasien, pada yang terakhir ini jelas yang harus mencabut segala alat bantu adalah dokter (dokter yang bertanggungjawab).
Di Negara Belanda, tepatnya di daerah Rotterdam, seorang dokter tidak di hukum dalam melakukan euthanasia, Pengadilan Negeri Rotterdam mempunyai kriteria bahwa seorang dokter tidak dihukum dalam melakukan euthanasia, sebagai berikut:
1. Harus ada penderitaan fisik atau psikis yang tidak terpikulkan dan dahsyat dialami pasien.
2. Baik penderitaan ini maupun keinginan untuk mengakhiri kehidupan berlangsung tiada henti-hentinya.
3. Pasien memahami betul situasinya sendiri maupun kemungkinan-kemungkinan alternatif yang tersedia dan mampu menimbang-nimbang antara pelbagai kemungkinan yang ada dan sesungguhnya telah pula melakukan pilihannya.
4. Tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi.
5. Dengan kematian ini tidak ada orang lain yang dirugikan atau menderita tanpa alasan.
6. Keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja.
7. Pada keputusan untuk memberikan bantuan harus selalu melibatkan seorang dokter, yang akan mengeluarkan resep mengenai obat atau bahan yang akan dipakai.
8. Pada keputusan untuk memberikan bantuan, demikian pula pada bantuan itu perlu diperhatikan kecermatan dan ketelitian yang semaksimal mungkin sesuai dengan kepatutan yang berlaku (misalnya dengan mengikutsertakan dalam perembukan beberapa teman sejawat dan ahli-ahli lainnya.
D. Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi mausia (HAM) mungkin merupakan kata yang telah ditulis dalam ratusan ribu halaman kertas, buku, artikel atau surat kabar dan siaran televisi maupun radio, juga menarik perhatian sejumlah besar ahli, politikus, jurnalis, lawyer dan sebagainya. Ia seolah-olah menjadi “trademark” peradaban modern saat ini. Sebagai basis dari pemikiran manusia, mengarahkan perbuatan manusia dan mengatur masyarakat.
Hak-hak asasi manusia sebagaimana dikenal dewasa ini dengan nama antara lain “human rights, the Right of man” hal mana pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai “hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan karena itu bersifat suci”. Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Dari pemahaman yang demikian maka sebenarnya perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan tersebut mungkin seumur umat manusia itu sendiri.
Sebagai contoh bahwa Nabi Musa berusaha menyelamatkan umatnya dari penindasan Fir’aun. Nabi Muhammad dengan mu’jizatnya; al-Qur’an, banyak mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa, bijaksana, menerapkan kasih sayang, dan lain sebagainya. Islam mengajarkan belas kasihan sebagai suatu nilai kemanusiaan yang pokok dan satu dari kebajikan yang fundamental bagi orang yang mengaku dirinya muslim.
Hak-hak Asasi manusia secara umum mencakup hak pribadi, politik, perlakuan yang sama dalam hukum, sosial dan kebudayaan, serta untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum. Dalam hak-hak asasi manusia, terdapat bermacam dokumen, diantaranya Declarations des Droits de’l Homme et du Citoyen (1789) di Perancis dan The Four Freedoms of F.D. Roosevelt (1941) di Amerika Serikat, dari kedua dokumen tersebut terdapat semboyan, yaitu:
1. Liberte (kemerdekaan),
2. Egalite (kesamarataan),
3. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan),
4. Freedom of Speech (kebebasan mengutarakan pendapat),
5. Freedom of Religion (kebeasan beragama),
6. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan
7. Freedom from Want (kebeasan dari kekurangan).
Dari kedua dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia mencakup:
a. Hak kemerdekaan atas diri sendiri,
b. Hak kemerdekaan beragama,
c. Hak kemerdekaan berkumpul,
d. Hak menyatakan kebebasan dari rasa takut,
e. Hak kemerdekaan pikiran.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, terutama dalam hak kemerdekaan atas diri sendiri, maka akan terlintas dalam benak pikiran bahwa “hak untuk hidup” atau the right to life, adalah termasuk didalamnya. Dan dalam hak untuk hidup ini juga tercakup pula adanya “hak untuk mati” atau the right to die. “The right to die” ini berkaitan dengan munculnya “revolusi biomedis” dan tentunya berkaitan pula dengan masalah euthanasia.
Mengenai hak untuk hidup, memang telah diakui oleh dunia yaitu dengan dimasukannya dan diakuinya Universal Declaration of Human Right oleh perserikatan bangsa-bangsa tanggal 10 desember 1948. Sedangkan mengenai “hak untuk mati”, karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai bidang dunia, seperti diperagakan dalam “peradilan semu” dalam rangka Konperensi Hukum Se-Dunia di Manila.
Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat masalah “hak untuk mati” sudah diakui, dan bahkan di Negara-negara bagian ada yang mengaturnya secara jelas dalam berbagai undang-undang. Kendatipun telah diakui dalam berbagai undang-undang, namun masih harus diakui pula bahwa “hak untuk mati” itu tidak bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi lagi.
Penderita suatu penyakit yang sudah demikian tersebut diakui dan diperbolehkan menggunakan “hak untuk mati”-nya, dengan jalan meminta pada dokter untuk menghentikan pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya, ataupun dengan jalan meminta agar diberikan obat penenang dengan dosis yang tinggi. Dengan demikian maka penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya tersebut akan segera mati dengan tenang. Dan lagi Negara yang telah mengakui adanya “hak untk mati”, maka perbuatan dokter yang telah memebantu untuk melaksanakan permintaan seorang pasien atau dari keluarganya seperti diuraikan di atas memounyai kekebalan terhadap “criminal liability” maupun terhadap “civil liability”.
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa masalah hak-hak asasi manusia itu bukanlah semata-mata merupakan persoalan yuridis semata, melainkan bersangkut paut dengan masalah nilai-nilai etis, moral yang ada di suatu masyarakat tertentu. Oleh sebab itu masalah “hak untuk mati” yang dihadapkan sebagai suatu kasus hukum, maka pemecahannya haruslah disesuaikan dengan masalah moral, etis, kondisi dan kebiasaan yang ada dalam suatu negara
E. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran
1. Konsep tentang Mati
Untuk dapat memahami lebih jauh timbulnya masalah euthanasia, maka perlu difahami tentang konsep mati yang dianut dari dulu hingga kini. Perubahan pengertian ini berkaitan dengan adanya alat-alat resusitasi, berbagai alat atau mesin-mesin penopang hidup dan kemajuan dalam perawatan intensif. Dahulu, apabila jantung dan paru-paru sudah tidak bekerja lagi, orang sudah dinyatakan mati dan tidak perlu diberi pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah, dalam perawatan intensif (di rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan ahlinya) jantung yang sudah berhenti dapat dipacu untuk bekerja kembali dan paru-paru dapat dipompa agar kembali kembang kempis. Bila demikian, apa yang dimaksud dengan “mati”?.
Penting bagi para dokter untuk memperjelas arti mati, maka dari itu perlu dijelaskan arti “mati”.
Pada umumnya dikenal beberapa konsep tentang mati:
a. Berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dari hal ini dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Karena nafas dan darah bahan yang menandakan kehidupan, maka bila tidak terjadi lagi pernafasan dan peredaran darah, itu berarti bahwa kematian sudah menjadi kenyataan.
b. Pemisahan tubuh dan jiwa
Manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa atau kesatuan materi dan bentuk. Jiwa atau bentuk menjiwai tubuh atau materi, sehingga tersusunlah makhluk yang unik yang disebut manusia. Kematian berlangsung, jika dua unsur ini dipisahkan. Kematian berarti terputusnya kesatuan tubuh dan jiwa.
c. Kematian otak
Kriteria ini adalah: tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi atau rangsangan, tidak ada gerak sepontan atau pernafasan, tidak ada refleks; dan situasi ini diteguhkan oleh elektroensefalogram (EEG).
Dasar untuk menetapkan bahwa otak tidak berfungsi lagi adalah:
1). Pasien tidak berfungsi lagi bereaksi (unreceptive and unresponsive) terhadap stimulus (sentuhan, rangsangan) dari luar, termasuk stimulus yang sangat menyakitkan.
2). Tidak ada tanda-tanda terjadinya pernafasan spontan, paling sedikit selama satu jam.
3). Tidak ada refleks, dan Elektroensefalogram (EEG)-nya datar.
Kematian seluruh otak (batang otak, cortex dan neo cortex) berarti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integrasi biologisnya dan karena itu juga integrasi sosialnya.
2. Hak-Hak Pasien
Berkembangnya etika pelayanan kesehatan sebagai suatu bidang khusus dan pencarian pelbagai hak melalui pengadilan telah membantu untuk menetapkan banyak hak dalam konteks pelayanan kesehatan. Di antaranya adalah penghormatan atas hak pasien. Dalam hal ini penghormatan atas hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberi informasi yang cukup, sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.
“hak pasien”, dua buah kata bagi sebagian negara adalah kata-kata yang mewah, sebab masih banyak negara yang tidak atau belum mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak pasien itu. Berbicara tentang “hak pasien” yang dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga kesehatan, yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.
Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan, pasien mempunyai hak-hak lainnya, sebagai misal antara lain hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya, hak untuk mendapatkan pendapat kedua.
Agar lebih jelas dapat diuraikan hak-hak pasien yaitu sebagai berikut:
a. Hak atas informasi
Agaknya hak yang paling penting adalah hak atas informasi. Jika seseorang tidak tahu, ia tidak bisa memilih, tidak bisa membuat rencana, tidak dapat menguasai situasi. Kemungkinan untuk memperoleh informasi merupakan syarat untuk menjalankan otonomi, dan jika pasien tidak mempunyai kemungkinan itu, ia tetap tinggal korban paternalisme.
b. Hak atas persetujuan
Hak untuk enentukan diri sendiri (the right of self determination) juga terproses sejalan dengan perkembangan dari hak asasi manusia. Dihubungkan dengan tindakan medik, maka hak untuk menentukan diri sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas dasar informasi (informed consent). Adalah hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi.
c. Hak untuk menolak pengobatan
Jika seseorang mempunyai hak untuk memberi persetujuan dengan suatu pengobatan_atas dasar informasi yang diberikan sebelumnya, maka tidak bisa dihindarkan konsekuensi bahwa ia mempunyai hak juga untuk menolak pengobatan. Penolakan seperti ini sebagai perwujudan otonomi pasien dalam hak menentukan dirinya.
d. Hak atas privacy
Konfidensialitas dan perlindungan informasi yang diperoleh tenaga medis dalam hubungan dengan pasiennya adalah sangat penting. Jika konfidensialitas tidak dapat dijamin, maka orang akan enggan mencari bantuan medis, hal ini sebagai dasr bagi relasi antara dokter dan pasien.
e. Hak atas pendapat kedua
Yang dimaksud dengan pendapat kedua ialah adanya kerjasama antara dokter pertama dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas inisiatif dokter yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien.
f. Catatan medis di rumah sakit
Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakandan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Kebutuhan pasien atas catatan medis sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan hak otonominya.
3. Pandangan Kode Etik Kedokteran
Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etika kedokteran , sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan. Keahlian dibidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia. Dan pastinya di setiap Negara mempunyai kode etik kedokteran sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hippocrates. Di antara sumpah Hippocrates adalah sebagai berikut:
Ilmu kedokteran adalah upaya untuk menaggulangi penderitaan si sakit, menyingkirkan penyakit, dan tidak mengobati kasus-kasus yang tidak memerlukan pengobatan.
Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu.
Manusia pada akhirnya akan mati, dokter tidak dapat berharap ia akan dapat menyembuhkan setiap pasiennya. Ada batas ketika penyembuhan tidakberdaya lagi. Dokter harus mengenali dan menerima kedatangan saat-saat maut bagi pasiennya, bahkan sebagai seorang yang berpengetahuan ia harus menunjukannya dengan perbuatan, yaitu jangan berusaha untuk menyembuhkannya, karena ini berarti membohongi diri sendiri dan pasiennya…….
Dari pandanag Hippocrates tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dokter tidak lagi mengobati penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak perlu diobati atau tidak membohongi pasien yang sebenarnya sudah tidak memerlukan obat. Misalnya dengan memberikan resep tetentu atau dengan memberikan medikasi lainnya. Dan berarti hippocrates tidak akan memberikan obat yang memetikan sekalipun pasien telah memeintanya. Dalam situasi apapun keadaan pasien, Hippocrates tetap menolak tindakan euthanasia aktif. Disamping itu dokter tidak harus terus berupaya mengobati penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan kembali. Apabila pengobatan atau perawatan sudah tidak ada gunanya, maka dokterpun sudah tidak berkompeten lagi untuk melakukan medikasi terhadap pasiennya.
Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan dengan masalah euthanasia, adalah pasal 9 yang berbunyi:
“Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”
Dalam penjelasan pasal 9 di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya dokter harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-kadang akan terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masak-masak bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit selain pembedahan, yang selalu mengandung resiko.
Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berfikir dan mengumpulkan pengalamannya. Dengan demikian, membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari bahaya maut adalah merupakan tugas dokter. Ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Hal ini, berarti doktert dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tidak mungkin sembuh.
Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play god). Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers).
Sebetulnya kode etik kedokteran Indonesia sudah lama berorientasi pada pandangan-pandangan Hippocrates yang telah lama menerima euthanasia pasif. Begitu juga dengan kode etik kedokteran Indonesia, berarti ia juga menerima euthanasia dalam bentuk pasif.
Bila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka lebih baik dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri hidupnya, dan juga tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan kehidupannya, karena kematiannya sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi, perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan. Asalkan jangan mengada-ada melakukan tindakan medik (yang sebetulnya tindakan medik itu sudah tidak diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.
Adalah tugas ilmu kedokteran untuk memebantu meringankan penderitaan pasien, atau bahkan berusaha menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut membantu meringankan penderitaanya, walaupun kadang-kadang dari tindakan peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan (euthanasia tidak langsung).
5. Euthanasia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan nterhadap nyawa manusia, yang dapat dijumpai dalam Bab XIX, buku II, dari pasal 338 sampai pasal 350 KUHP.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal yang menyinggung masalah euthanasia ini secara pasti tidak ada, tetapi satu-satunya pasal yang lebih mengena yaitu pasal 344, pada Bab XIX, buku II, yaitu:
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Dalam pasal di atas, kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika tidak maka orang itu dikenakan pembunuhan biasa, dan haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasar pasal 344 KUHP atau tidak. Agar unsur ini tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya.
Masalah euthanasia ini merupakan masalah yang kompleks dari segi sifatnya, maka agar lebih mudah untuk difahami perlu diterangkan dan dibagi secara lebih terperinci.
Ditinjau dari segi yuridis, euthanasia dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri atau memeperpendek (mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia aktif terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Euthanasia aktif atas permintaan pasien
Pasal. 344 KUHP
2) Euthanasia aktif tanpa permintaan pasien
Pasal. 340 KUHP
3) Euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien
Pasal. 340, 338, KUHP
4) Euthanasia tidak langsung
Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya tanpa maksud mengakhiri hidup pasien melakukan tindakan medis untyuk meringankan penderitaan pasien, walaupun dengan mengetahui adanya resiko bahwa dari tindakan medik tersebut dapat mengakibatkan hidup sipasien diperpendek. Seperti halnya dengan euthanasia aktif, euthanasia tidak langsung terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
a). Euthanasia tidak langsung atas permintaan pasien
Pasal. 344, 359
b). Euthanasia tidak langsung tanpa permintaan pasien
Pasal. 340, 359
c). Euthanasia tidak langsung tanpa sikap pasien
Pasal. 304, 359
b. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif terjadi terrjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak memberikan bantuan medik terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya. Untuk dapat memudahkan euthanasia pasif ini juga dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1). Euthanasia pasif atas permintaan pasien
Tidak dihukum
2). Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien
Pasal. 304 jo 306 (2)
3). Euthanasia pasif tanpa sikap pasien
Pasal. 304 jo 306 (2)
Maka agar dapat mengetahui hukuman atas tindakan tersebut perlu disebutkan pasal-pasalnya, pasal-pasal tersebut adalah:
Pasal. 304 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut operjanjian, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal. 306 KUHP:
“Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun.”
Pasal. 338 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukumkan penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal. 344 KUHP:
“Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya denagn nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Pasal. 359 KUHP:
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
BAB III
PRINSIP-PRINSIP FIQH JINAYAH
A. Pengertian Fiqh Jinayah
Salah satu kesempurnaan syariat Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkenaan dengan hukum publik. Islam tidak sekedar mengajarkan ajaran moral saja, melainkan juga menyediakan aturan-aturan yang bersifat imperatif. Baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunah terdapat sanksi-sanksi yang mengikat yang harus ditegakan di dunia, bukan sekedar ancaman di akhirat. Hal ini terlihat, diantaranya dari aturan-aturan yang berkenaan dengan jarimah az-zina (perzinaan), al-qadžaf (tuduhan zina), as-sariqah (pencurian), al-hirabah (perampokan), syurb al-khamr (minum-minuman keras), al-bughat (pemberontakan), ar-riddah (keluar dari Islam atau murtad), al-jarah (penganiayaan atau pelukaan), dan al-qatl (pembunuhan). Aturan-aturan tersebut dikelompokan oleh para ulama dalam bab fiqh dengan nama al-hudud, ad-dima, al-qisas dan al-jarah.
Istilah yang umum bagi aturan tersebut adalah al-jinayat yang sering kali diartikan dengan Hukum Pidana Islam. Kata al-Jinayat memiliki makna sempit dan makna luas. Makna sempit al-Jinayat sejajar dengan makna al-qisas, ad-dima atau al-jarah, yaitu setiap perbuatan yang dilarang (haram) berkenaan dengan penganiayaan terhadap tubuh dan penghilangan jiwa manusia. Sedangkan makna al-jinayat secara luas sejajar dengan al-jarimat, yaitu setiap perbuatan yang dilarang, baik berkenaan dengan tubuh, jiwa, maupun dengan hal-hal lainnya seperti kehormatan, harta, keturunan, akal, dan agama.
Dalam mempelajari Fiqh Jinayah, ada dua istilah penting yang terlebih dahulu harus dipahami, Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi muradif (sinonim) bagi istilah lainnya atau keduanya bermakna tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan dan difahami agar penggunaannya tidak keliru.
Jinayah, pada dasarnya kata jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh syara’ (Hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.
Abdul Qadir Audah dalam kitabnya at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami menjelaskan arti kata jinayah sebagai berikut:
الجناية لغة اسم لما يجنيه المرء من شر ما اكتسب واصطلاحا اسم لفعل محرم شرعا سواء وقع الفعل على نفس او مال او غير ذالك
Kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi pengertian jarimah secara harfiyah sama halnya dengan pengertian jinayah. Adapun pengertian jarimah segala tindakan yang diharamkan syari’at. Allah ta’ala mencegah terjadinya tindak kriminal dengan menjatuhkan hudud (hukum syar’i), atau ta’zir (sanksi disiplin) kepada pelakunya.
Jarimah bisa dipakai sebagai perbuatan dosa –bentuk, macam, atau sifat dari perbuatan dosa tersebut. Misalnya, pencurian, pembunuhan, perkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu disebut dengan istilah jarimah yang kemudian dirangkaikan dengan satuan sifat perbuatan tadi. Seperti jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah perkosaan dan lain-lain.
Adapun dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu ditujukan bagi sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqh yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku tersebut disebut Fiqh jinayah bukan Fiqh jarimah.
Secara umum, ada tiga unsur seseorang dianggap telah melakukan perbuatan jarimah, yaitu unsur formal (ar-rukn asy-syar’i), unsur material (ar-rukn al-madi), dan unsur moral (ar-rukn al-adabi). Unsur formal adalah adanya nas yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu disertai dengan ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan tersebut. Unsur material adalah adanya perbuatan pidana, baik melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Unsur moral adalah orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut terkena taklif atau orang yang telah mukallaf.
Dilihat dari sanksi yang telah ditetapkan atau tidak oleh syara’, jarimah dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, jarimah hudud yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan baik bentuk maupun jumlahnya oleh syara’. Ia menjadi hak Tuhan; hakim tidak mempunyai kewenangan untuk mempertinggi atau memperendah hukuman bila si pelaku telah terbukti melakukan jarimah tersebut. Jarimah yang termasuk jarimah hudud adalah jarimah zina, menuduh zina, minum-minuman keras, mencuri, merampok, keluar dari Islam dan memberontak.
Kedua, jarimah qisas yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan oleh syara’, namun ada perbedaan dengan jarimah hudud dalam hal pengampunan. Pada jarimah qisas, hukuman bisa berpindah kepada ad-diyat (denda) atau bahkan bebas dari hukuman, apabila korban atau wali korban memaafkan pelaku. Perbuatan yang termasuk dalam jarimah qisas adalah pembunuhan dan pelukaan. Pembunuhan terbagi kepada tiga, yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan kekeliruan. Sedangkan pelukaan terbagi menjadi dua, yaitu pelukaan sengaja dan kekeliruan.
Ketiga, jarimah ta’zir yaitu jarimah yang hukumannya tidak ditetapkan baik bentuk maupun jumlahnya oleh syara’, melainkan diberikan kepada negara kewenangannya untuk menetapkannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.
Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya supaya tidak mengulangi kejahatan serupa.
B. Jarimah Qisas-Diyat
1. Qisas
Kata qisas kadang-kadang dalam hadis disebut dengan kata qawad. Maksudnya adalah semisal, seumpama (al-Mumasilah). Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Dalam ungkapan lain adalah pelaku akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang dia lakukan. Dia dibunuh kalau dia membunuh dan dilukai kalau dia melukai atau menghilangkan anggota badan orang lain. Abdul Qadir Audah mendefinisikan qisas sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya.
Qisas diakui keberadaannya dalam al-Qur’an, as-Sunnah, demikian pula akal memandang bahwa disyariatkannya qisas adalah demi keadilan dan kemaslahatan. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an:
و لكم فى القصاص حياة يا اولى الألباب.
Qisas adalah hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek sasaran jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan sengaja. Oleh karena itu, bentuk jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja.
Sanksi pokok dalam pembunuhan sengaja yang telah di-naskan dalam al-Quran dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Bahkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus diqisas (tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua pihak. Ulama Syafi’iyyah menambahkan bahwa disamping qisas pelaku pembunuhan juga wajib membayar kaffarah.
Ulama berbeda pendapat tentang sanksi bagi pembunuhan sengaja yang berupa kaffarah, menurut jumhur ulama bahwa kaffarah dalam pembunuhan sengaja tidak wajib karena kaffarah adalah ketentuan syariah untuk beribadah, maka tempatnya juga terbatas yaitu hanya pada pembunuhan karena kesalahan. Sedangkan pembunuhan sengaja adalah neraka jahannam. Di dalam al-Quran sendiri tidak mewajibkan kaffarah, seandainya bagi pelaku pembunuhan sengaja wajib membayar kaffarah, pasti al-Quran menjelaskan secara detail.
Ada beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakannya qisas yaitu:
a. Syarat-syarat bagi pembunuh
Syarat-syarat bagi pembunuh ada tiga yaitu:
1). Pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal), maka tidaklah qisas apabila pelakunya adalah anak kecil atau orang gila, karena perbuatannya tidak dikenai taklif. Begitu juga dengan orang yang tidur/ayan, karena mereka tidak punya niat/maksud yang sah.
2). Pembunuh menyengaja perbuatannya, dalam al-Hadis disebutkan:
من قتل عمدا فهو قود
3). Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak diqisas, tetapi menurut jumhur tetap diqisas walaupun dipaksa.
b. Syarat-syarat bagi yang terbunuh/korban
Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban) ada tiga, yaitu:
1). Korban adalah orang yang dilindungi darahnya. Adapun yang dipandang tidak dilindungi darahnya adalah kafir harbi, murtad, pezina muhsan, penganut zindiq dan pemberontak; jika orang muslim atau zimmi membunuh mereka, maka hukum qisas tidak berlaku.
2). Korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada hubungan bapak dan anak), tidak diqisas ayah/ibu, kakek/nenek yang membunuh anak/cucunya sampai derajat kebawah berdasarkan pada hadis:
أنت ومالك لأابيك
لا يقاد الوالد بالولد
3). Korban sama derajatnya dengan membunuh dalam Islam dan kemerdekaannya, statemen ini dikemukakan oleh jumhur (selain Hanafiyah). Dengan ketentuan ini maka tidak diqisas seorang Islam yang membunuh orang kafir, orang merdeka yang membunuh budak.
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan persamaan dalam kemerdekaan dan agamanya, tapi cukup persamaan dalam kemanusiaannya, mereka berargumen dengan keumuman ayat qisas yang tidak mendiskriminasikan antara satu dengan yang lainnya. Allah berfirman:
يا أيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
و كتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس
Menurut Hanafiyah, ayat di atas menunjukkan bahwa dalam qisas tidak harus ada kesetaraan. Sebab, kalimat jiwa dibalas dengan jiwa” menunjukan bahwa dasar qisas itu adalah hilangnya jiwa atau nyawa sehingga tidak ada perbedaan antara orang merdeka dengan hamba atau muslim dengan kafir. Adapun hadis nabi yang menyatakan bahwa “muslim tidak diqisas karena membunuh kafir”, kafir yang dimaksud adalah kafir harbi, bukan kafir zimmi atau musta’min. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi pernah melaksanakan qisas terhadap muslim yang membunuh Yahudi, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut:
أن النبي صلي الله عليه وسلم أقاد مسلما قتل يهوديا وقال الرمادي أقاد مسلما بذمي وقال أنا أحق من وفي بذمته
Sedangkan ayat yang dijadikan landasan oleh jumhur yang menyatakan bahwa “orang merdeka dengan orang merdeka”; “hamba dengan hamba”; dan wanita dengan wanita”; tidak menunjukkan adanya kafaah. Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang harus diqisas adalah pembunuhnya, meskipun kedudukannya lebih rendah. Kalimat “orang merdeka dengan orang merdeka”; “hamba dengan hamba”; dan “wanita dengan wanita”; hanya sekedar mencontohkan pelaku dan korbannya dengan tidak menafikan kebalikannya. Sebab ayat tersebut dimaksudkan untuk menjawab kebiasaan jahiliyah yang menerapkan qisas secara berlebihan.
Pada masa jahiliyah, wali korban dari suatu kabilah (terutama kabilah yang kuat) meminta balasan yang lebih dari seharusnya. Misalnya, korban yang terbunuh dari suatu kabilah adalah laki-laki merdeka, sedangkan pembunuhnya (dari kabilah lain) adalah seorang wanita. Wali korban beserta kabilahnya meminta balasannya tidak sekedar wanita yang membunuh tetapi ditambah dengan laki-laki merdeka. Permintaan ini seringkali menimbulkan konflik (bahkan sampai terjadi peperangan) antar kabilah jika tidak dipenuhi.
Adapun berkenaan dengan laki-laki muslim dengan perempuan muslim, para fuqaha sepakat bahwa di antara mereka tidak ada perbedaan. Kedudukan mereka setara dalam hal qisas. Tidak ada perbedaan antara tua dengan muda atau sehat dengan sakit. Hal ini didasarkan atas keumuman ayat yang menyatakan bahwa “jiwa dibalas denga jiwa” dan sabda Nabi saw berikut:
المسلمون تتكافأ دماؤهم
c. Syarat-syarat bagi perbuatannya
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qishas, tindak pidana pembunuhan yang dimaksud harus tindak pidana langsung bukan bukan karena sebab tertentu, jika tidak langsung, maka hanya dikenai membayar diyat.
Sedangkan jumhur tidak mensyaratkan itu, baik pembunuhan itu langsung atau karena sebab, pelakunya wajib dikenai qishas karena keduanya berakibat sama.
d. Syarat-syarat bagi wali korban
Menurut Hanafiyah, wali korban yang berhak untuk mengqisas haruslah orang yang diketahui identitasnya, jika tidak, maka tidak wajib diqisas, karena tujuan dari diwajibkanya qisas adalah pengokohan dari pemenuhan hak. Sedangkan pembunuhan dari orang yang tidak diketahui identitasnya akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaanya.
Berpijak pada keterangan tentang syarat-syarat qishas ada beberapa hal yang menghalangi dilaksanakannya qisas. Ini terjadi karena adanya kemungkinan masuknya unsur syubhat sehingga qisas tidak bisa dilaksanakan, yaitu ada enam hal:
1) Keberadaan pembunuh sebagai orang tua korban
Menurut para Fuqaha Mazhab, keberadaan pembunuh sebagai orang tua si terbunuh menghalangi dilaksanakannya qisas, tetapi Ulama Malikiyah memberi batasan, hal ini selama tidak ada maksud membunuh yang dapat dibuktikan dengan qat’i. Jika ternyata ada maksud membunuh, maka orang tua korban juga harus diqisas. Adapun hubungan suami isteri tidak menjadi halangan dilakukannya qisas.
2) Perbedaan derajat antara pelaku dan korban pembunuhan dalam keIslaman dan kemerdekaannya. Ini menurut jumhur fuqaha kecuali Hanafiyah.
3) Ketidakadilan membunuh sesuai dengan yang telah disepakati, apabila ada kesepakatan untuk melakukan pembunuhan, tetapi ternyata tidak semua yang menyepakati ikut hadir dalam pembunuhan, atau ia hanya memberikan semangat, bantuan, dan tidak melakukan secara langsung, maka menurut jumhur ulama orang yang tidak melakukan langsung itu hanya dita’zir. Berbeda dengan pendapat ulama malikiyah yang menyatakan bahwa orang yang hadir atau membantu walaupun tidak melakukan secara langsung, seperti pengintai atau penjaga pintu, tetap dikenai qisas jika terlibat dalam kesepakatan kejahatan itu. Dan tiga syarat lagi menurut Hanafiyah yaitu:
4) Pembunuhan itu terjadi secara tidak langsung (karena satu sebab tertentu)
5) Wali korban majhul (tidak diketahui identitasnya)
6) Pembunuhannya terjadi di Dar al-kuffar
Qisas wajib dikenakan setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh wali korban. Para ulama madzhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah qisas. Sesuai dengan ayat:
يا أيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر و العبد بالعبد
من قتل عمدا فهو قود
Kedua dalil ini dengan tegas menyatakan bahwa hukum qisas bagi pembunuh adalah tertentu/pasti. Logika dari statement ini adalah: jika wali korban memaafkan secara mutlak (tidak menuntut diyat), maka tidak ada kewajiban bagi pelaku untuk membayar diyat, tetapi pembunuh dengan kesadarannya, hendaknya membayar diyat sebagai kompensasi pemberian maafnya wali. Tetapi tidak berarti wali terbatas dalam menentukan sikapnya.
Mereka boleh mengqisas/memaafkannya secara mutlak atau memaafkan dari qisas dengan membebani diyat sebagai penggantinya.
Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan sengaja tidak hanya qisas, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu: jika mereka menghendaki qisas, maka dilaksanakanlah hukum qisas tetapi jika menginginkan diyat maka wajiblah membayar diyat tanpa menunggu keridlaan pembunuh. Artinya, jika wali korban mengampuni, wajib bagi pelaku membayar diyat.
Dasar hukum yang digunakan adalah hadis rasulullah SAW:
من قتل له قتيل فهو بخير النظرين اما ان يؤدي و اما ان يقاد
Dan firman Allah swt dalam al-Qur’an:
فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعروف واداء اليه باحسان
Dari ayat ini dapat dipahami, jika terjadi pembunuhan hendaklah pelakunya diselidiki. Dan jika ternyata wali korban memaafkan secara mutlak, pelaku tetap berkewajiban membayar diyat. Hal ini karena mereka berpendapat bahwa diyat adalah salah satu dari kerusakan jiwa, bahkan pengganti dari qisas.
Kemudian dari redaksi ayat tersebut berarti Allah mewajibkan al-Itba’ karena adanya pemberian maaf dari wali. Seandainya Allah mewajibkan qisas saja, tentu Allah tidak mewajibkan diyat apabila ada ampunan atau maaf wali secara mutlak.
Tuntutan hukuman qisas merupakan hak para wali (keluarga korban), namun keabsahan keluarga korban untuk melaksanakan ada dibawah wewenang hakim. Artinya tuntutannya ini harus melalui pengadilan. Karena dalam kaidah dasar syara’ yang telah disepakati disebutkan bahwa pelaksanaan sanksi hudud, qisas, maupun ta’zir merupakan hak hakim.
Selanjutnya apabila pelaksanaan qisas akan dilakukan oleh para wali sendiri (bukan oleh hakim dan algojonya), maka menurut Abu Hanifah, Hanabilah dan qaul rajihnya asy-Syafi’i yang berhak mengqisas adalah setiap ahli waris yang berhak mewarisi harta si korban baik zawil furud maupun asabah, laki-laki maupun perempuan, suami atupun isteri.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah yang berhak mengqisas adalah keluarga dari pihak ayah yang laki-laki, semua asabah bin nafsi dengan prioritas, keluarga yang dekat didahulukan dari pada keluarga yang jauh. Perempuan tidak boleh mengqisas karena qisas itu menghilangkan fitnah, maka dikhususkan kepada asabah seperti dalam perwalian pernikahan.
Tetapi Malikiyah memberikan kelonggaran, yaitu perempuan boleh bertindak sebagai pelaksana qisas dengan tiga persyaratan:
a. Perempuan itu merupakan ahli waris terbunuh, seperti anak dan saudara kandung, sehingga bibi dari pihak ayah /ibu tidak boleh.
b. Derajat atau kekuatan ahli waris perempuan tadi lebih kuat dibanding para asib, misalnya anak perempuan kandung bersama dengan adanya paman, itu dapat melaksanakan qishas. Tetapi jika anak perempuan kandung bersama adanya ayah, ia tidak dapat mengqisas.
c. Perempuan itu dalam derajatnya mempunyai laki-laki yang asabah, maka dikecualikan saudara perempuan (tidak dapat mengqisas) karena adanya ibu.
Jika yang mengqisas masih kecil/gila maka ditunggu sampai kesempurnaannya dan diserahkan kepada hakim. Dan menurut Malikiyah, tidak usah menunggu sampai baligh/sadarnya demi kemaslahatan pelaksanaan qisas itu sendiri.
Hukuman qisas menjadi gugur dengan sebab-sebab sebagai berikut:
a. Matinya pelaku kejahatan
Kalau orang yang akan menjalani qisas telah mati terlebih dahulu, maka gugurlah qisas atasnya, karena jiwa pelakulah yang menjadi sasarannya. Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diyat yang diambilkan dari harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali si terbunuh. Pendapat ini menurut Imam Ahmad serta salah satu pendapat Imam Syafii. Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafiyah tidak wajib diyat, sebab hak dari mereka (para wali) adalah jiwa, sedangkan hal tersebut telah tiada. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para wali menuntut diyat dari harta peninggalan si pembunuh yang kini telah menjadi milik para ahli warisnya.
b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz.
c. Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara pembunuh dan wali korban.
d. Adanya penuntutan qisas.
e. Adanya kerelaan/ izin korban.
Dalam hal adanya kerelaan/izin korban, pada dasarnya para fuqaha sepakat bahwa adanya kerelaan korban untuk dibunuh tidak membolehkan seseorang melakukan pembunuhan, seperti kasus euthanasia. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang posisi kerelaan tersebut dengan pemaafan korban atau wali korban yang dapat menggugurkan qisas atau diyat (bila dimaafkan secara mutlak). Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Menurut Hanafiyah:
يسقط القصاص برضا المجني عليه
Gugurnya qisas disebabkan karena adanya kerelaan atau izin korban yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman berpindah kepada diyat. Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hudud.
Pendapat Malikiyah yang rajih dan sebagian Syafi’iyah:
لا يسقط القصاص برضا المجني عليه
Kerelaan korban tidak dapat dipersamakan dengan pemaafan karena kerelaan itu ada sebelum terjadi jarimah pembunuhan, sedangkan pemaafan ada setelah terjadi jarimah. Oleh karena itu, pembunuhan tersebut tetap merupakan pembunuhan sengaja yang harus dihukum dengan qisas.
Pendapat Malikiyah yang arjah (lebih kuat) dan sebagian Syafi’iyah:
يسقط عقوبتى القصاص والدية برضا المجني عليه
Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukum asli (qisas) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.
2. Diyat
Diyat adalah:
العقوبة البدلية الأولى لعقوبة القصاص فإذا امتناع القصاص لسبب من اسباب الامتناع او لسباب السقوط وجبت مالم يعف الجانى عنها أيضا
Dengan definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang.
Adapun dalil disyariatkannya diyat adalah firman Allah SWT:
ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة و دية مسلمة الى اهله الا ان يصد قوا
Walaupun ayat ini dalam konteks pembunuhan bersalah namun para ulama sepakat akan wajibkan diyat dalam pembunuhan sengaja apabila qisas gugur karena suatu sebab.
Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta tetapi jika sulit didapatkan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas, perak, uang, pakaian, dan lain sebagainya, yang kadar nilainya disesuaikan dengan unta.
Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah seratus ekor unta bagi pemilik unta. Dua ratus ekor sapi bagi pemilik sapi, dua ratus ekor domba bagi pemilik domba, seribu dinar untuk pemilik emas, dua belas ribu dirham untuk pemilik perak, dan dua ratus stel pakaian untuk pemilik pakaian.
Diyat ada dua macam, yaitu diyat mugalazah dan diyat mukhafafah. Adapun diyat mugalazah menurut jumhur dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja dan menyerupai sengaja. Sedangkan menurut Malikiyah, dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja apabila waliyuddam menerimanya dan kepada bapak yang membunuh anaknya.
Jumlah diyat mugalazah adalah seratus ekor unta, yang empat puluh di antaranya sedang mengandung. Sebagaimana Nabi SAW pernah bersabda:
الا وإن قتيل الخطأ شبه العمد بالسوط و العصا و الحجر مائة من الابل فيها اربعون شنية الى بازل عمها كلهن خلفة
Jadi seratus ekor unta itu bila diperinci adalah:
a. 30 ekor hiqqah (unta berumur 4 tahun)
b. 30 ekor jad’ah (unta berumur 5 tahun)
c. 40 ekor khilfah (unta yang sedang mengandung)
Adapun diyat mukhafafah itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan kesalahan, hal ini berdasarkan riwayat Ibn Mas’ud, Nabi bersabda:
دية الخطأ اخماس عشرون حقة وعشرون جذعة وعشرون بنات مخاض وعشرون بنات لبون وعشرون بني لبون
Jadi ketentuannya adalah sebagai berikut:
a. 20 ekor bintu ma’khad (unta betina berumur 2 tahun)
b. 20 ekor ibnu ma’khad (unta jantan berumur 2 tahun)
c. 20 ekor binti labun (unta betina berumur 3 tahun)
d. 20 hiqqah, dan
e. 20 jad’ah
Selanjutnya ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pembunuhan tersalah dapat dikenai diyat mugalazah apabila:
a. Pembunuhan itu terjadi di tanah haram Mekkah
b. Pembunuhan itu terjadi di bulan haram; zul Qa’dah, zul Hijjah, Muharram dan Rajab
c. Pembunuhan itu terhadap mahram seperti: ibu dan saudara perempuan.
Jadi diyat pembunuhan sengaja adalah diyat mugalazah yang dikhususkan pembayarannya oleh pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan diyat pembunuhan syibhu amd adalah diyat mugalazah yang pembebanannya tidak hanya pada pelaku, tetapi juga pada ‘aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan dibayar secara berangsur-angsur selama tiga tahun.
Menurut Hanafiyah, baik pembunuhan sengaja, tidak sengaja, maupun kesalahan, pembayaran diyatnya secara berangsur-angsur selama tiga tahun. Hanya bagi ‘amid (pembunuh sengaja) lebih diperberat dengan kewajiban membayar diyat mughaladzah dengan hartanya sendiri.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa diyat pembunuhan sengaja harus dibayar kontan dengan hartanya karena diyat merupakan pengganti qisas, jika qisas dilakukan sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal ‘amid pantas dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya ‘amid membayar diyat dengan hartanya sendiri bukan dari ‘aqilah. Karena keringanan (pemberian tempo) itu hanya berlaku bagi ‘aqilah.
Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada para pembunuh dengan hartanya sendiri. ‘Aqilah tidak menanggungnya karena setiap manusia dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah swt:
كل امرئ بما كسب رهين
Adapun jika pembunuhan disengaja itu dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, Malik dan Syafi’i menyatakan diyatnya anak kecil adalah setengah kecuali pemerintah membebankan pada aqilahnya. Mereka menjelaskan bahwa sengaja atau kesalahannya anak kecil itu sama dengan argumant ada orang gila menerkam seorang laki-laki dengan pisau kemudian memukulnya..
Menurut Syafiiyah bahwa yang jelas perbuatan anak kecil itu dianggap sengaja apabila ia telah mumayyiz, jika belum mumayyiz maka dianggap kesalahan (khata’) secara pasti. Tetapi baik ia sudah mumayyiz atau belum ia tidak dapat di qisas, karena tidak ada baginya taklif secara syara’. Hanya saja ia dibebankan diyat dari hartanya sendiri dan ‘aqilah tidak menanggung jika ia (pada saat berbuat jahat) sudah mumayyiz.
C.Tujuan Fiqh Jinayah
Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariah tanpa tujuan apa-apa. Melainkan di sana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu mengetahui apa tujuan dari ketentuan itu.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari fiqh jinayah yang merupakan tujuan-tujuan yang luas dari syariah sebagai berikut:
Tujuan pertama
Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup. Ini merupakan hal-hal di mana kehidupan manusia sangat tergantung sehingga tidak dapat dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan dan ketidaktertiban di mana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyyat) dalam keputusan hukum Islam disebut dengan istilah al-Maqasid asy-Syari’ah al- Khamsah (tujuan-tujuan syariah), yaitu:
a. Hifz ad-Dĩn (memelihara agama);
b. Hifz an-Nafsi (memelihara jiwa);
c. Hifz al-’Aqli (memelihara akal pikiran);
d. Hifz al-Nasli (memelihara keturunan);
e. Hifz al-Mãl (memelihara harta).
Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap-tiap kebutuhan itu dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial.
Tujuan kedua
Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan-keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyyat. Ini mencakup hal-hal yang penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggungjawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidak tertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup mudah bagi mereka.
Tujuan ketiga
Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuat perbaikan-perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik (keperluan sekunder) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan membuat hidup mudah.
D. Aspek Kemanusiaan dalam Fiqh Jinayah
Salah satu kesempurnaan syari’at Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkenaan dengan hukum publik. Islam tidak sekedar mengajarkan ajaran moral saja, melainkan juga menyediakan aturan-aturan yang bersifat imperatif. Baik dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah, terdapat sanksi-sanksi yang mengikat yang harus ditegakan di dunia, bukan sekedar ancaman di akhirat. Istilah yang umum bagi aturan-aturan tersebut adalah al-Jinayat yang sering kali diartikan dengan Hukum Pidana Islam.
Ketika mendengar kata “Hukum Pidana Islam” (fiqh Jinayah), yang langsung terbayang di benak kebanyakan orang adalah potong tangan, dilempar batu sampai meninggal (dirajam), dipukul dengan menggunakan kayu (dijilid), atau dibunuh (diqisas). Sering kali bayangan tersebut terhenti di situ, sehingga kesan bahwa hukum pidana Islam bersifat kejam dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Padahal apa yang dibayangkan tersebut hanya merupakan salah satu bagian saja dari hukum pidana Islam. Itupun baru dapat ditegakkan setelah seluruh unsur-unsur jarimahnya (tindak pidananya) terpenuhi. Selebihnya terdapat asas-asas serta konsep-konsep lainnya yang luput dari perhatian.
Hukum Pidana Islam (fiqh jinayat) ini mengatur setiap perbuatan manusia yang dilarang yang berkenaan dengan tubuh, jiwa maupun dengan hal-hal lainnya seperti kehormatan, harta, keturunan, akal dan agama, yang semuanya merupakan maqasid asy-Syar’i.
Untuk menyelesaikan problem ini, Allah swt telah menetapkan hukum yang terdiri tiga tingkatan yaitu: qisas (balasan setimpal), denda-damai (diyat), atau permintaan maaf). Dan jika semuanya tidak terpenuhi maka ulil amri sebagai penguasa negara berhak memberikan hukuman atas pertimbangan kemaslahatan umat berupa hukuman ta’zir.
Kejahatan-kejahatan yang oleh syariat telah ditetapkan jenis hukumannya, merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Yakni hal-hal yang berkaitan dengan kehormatan agama, keturunan dan ketenteraman umum. Inilah yang disebut hududullah (batas-batas hukum Allah). Sedangkan kejahatan yang berkaitan dengan kehormatan jiwa manusia, merupakan pelanggaran terhadap hak hamba. Inilah yang mengandung konsekuensi hukum qisas.
Sepintas, hukum qisas nampak kejam. Memang ia hukuman yang kejam, bahkan sangat kejam. Lihatlah, karena ambruknya wibawa dan penegakan hukum, nyawa manusia jadi sangat murah. Mana pri kemanusiaan yang dipunyai manusia?. Bila kejahatan ini terus dibiarkan, eksistensi kehidupan manusia akan terancam. Karena itu Allah memperingatkan dalam al-Qur’an:
و لكم فى القصاص حياة يا اولى الألباب
Kekejaman memang harus dihentikan dengan hukuman yang setimpal agar bisa menjerakan. Dengan qisas, maka pelaku sebelum berbuat jahat akan pikir-pikir dahulu, karena korban atau ahli warisnya (bila korban meninggal) berhak membalas dengan perlakuan setimpal.
Bagi sebagian orang, jenis hukuman dinilai tidak manusiawi, primitif, barbar, atau ketinggalan zaman. Karenanya, orang-orang yang telah menjadi korban penyesatan opini semacam ini, menjadi benci terhadap hukum Islam lalu memilih hukum lain (KUHP). Padahal penyakit sosial yang bernama pembunuhan hanya efektif dicegah dengan obat yang disediakan oleh yang menciptakan nyawa manusia, yaitu dengan qisas.
Sebagai contoh kasus Tomy Suharto sebagai terpidana pembunuhan atas hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat hanya mengganjar Tomy dengan hukuman penjara 15 tahun. Dan tanggapan kedua isterinya sebagai ahli waris korban (waliyuddam) sangat kecewa karena putusan itu tidak sesuai dengan harapan. Apalagi jika dibandingkan dengan penderitaan yang mereka alami sepeninggal sang suami, jelas tidak sepadan. Mereka telah kehilangan suami sekaligus pemimpin rumah tangga dan pencari nafkah bagi keluarganya. Anak-anakpun kehilangan sosok sang ayah yang biasa membimbing mereka sehari-hari. Alhasil putusan hakim itu belum memenuhi rasa keadilan yang mereka tuntut.
Namun kedua isterinya hanya pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa selain trerpaksa menerima keputusan tersebut. Mengingat keduanya tidak berhak dan tidak bisa keputusan Hakim tersebut.
Dari kasus ini dapat dibandingkan bahwa ternyata KUHP kurang sesuai dengan tindakan yang diperbuat, tidak ada rasa keadilan atas tindakan yang dilakukan dan juga bagi keluarga korban tidak punya hak apa-apa untuk menuntut hak mereka. Bila hal ini diselesaikan denga hukum Islam maka yang akan terjadi, jika Tomy meminta maaf, dan keluarga memaafkan maka ia akan terbebas dari hukum qisas dan berganti kepada diyat sebagai ganti rugi atas tuntutan keluarga. Di sinilah aspek keadilan dan kemanusiaan dalam hukum Islam.
Maka dapat ditarik kesimpulan dari keutamaan Hukum Pidana Islam ini sebagi hikmah yang harus disyukuri, yaitu:
1. Untuk menegakkan hukum Allah sebagai bukti ketaatan kaum muslimin kepada hukum Allah.
2. untuk membasmi kejahatan di muka bumi dan kemaksiatan lainnya yang sering dilakukan oleh para penjahat. Minimal dapat mencegah merebaknya kejahatan dan kerusakan di muka bumi.
3. untuk menjaga keamanan dan keselamatan jiwa dan kehidupan manusia di dunia.
4. untuk memberikan pelajaran dan peringatan yang keras bagi orang-orang yang ada niatan berbuat kejahatan agar tidak meneruskan keinginannya.
5. sebagai mekanisme pengamanan bagi semua warga negara yang tinggal di negeri yang memberlakukan hukum Allah sebagai konstitusinya. Sebagaimana pernah terjadi pada era kehidupan Rasulullah dan pemerintahan khalifah penggantinya.
BAB IV
PRAKTEK EUTHANASIA DALAM PRESPEKTIF FIQH JINAYAH
A. Euthanasia Aktif sebagai Jarimah
Masalah menjaga kesehatan dalam Islam sangat diperhatikan. Terlebih-lebih menjaga atau memelihara jiwa atau an-nafs. Artinya, segala upaya diusahakan untuk memberi pelayanan kesehatan agar dapat memperhatikan kehidupan seorang manusia. Oleh karenanya setiap orang diharuskan untuk menjalani segala perbuatan yang dapat membahayakan dirinya atau orang lain. Atau dengan kata lain manusia tidak dibolehkan untuk menghilangkan jiwanya atau jiwa orang lain. Sebab masalah hidup dan mati itu merupakan urusan Allah SWT. Di antara firman Allah menyinggung hal jiwa atau nafs adalah sebagai berikut:
و انا لنحن نحي و نميت و نحن الوارثون
و انه هو امات و احي
Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang mengarah kepada tindakan untuk menghilangkan jiwa manusia akan diancam dengan hukuman qisas-diyat atau ta’zir. Dalam hubungan ini euthanasia, khususnya euthanasia aktif dapat dikategorikan sebagai perbuatan untuk menghilangkan jiwa atau penghentian kehidupan manusia, dan oleh karenanya pula hal tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah swt.
Masalah kematian setiap manusia itu sudah ditentukan batasannya oleh Allah swt, maka apabila telah datang kematiannya tidak seorangpun yang dapat mengundurkan atau memajukan walau sesaatpun. Sebagai mana firman Allah:
و لكل أمة أجل فاذا جاء أجلهم لا يستأخرون ساعة و لا يستقدمون
و لن يؤخر الله نفسا اذا جاء أجلها و الله خبير بما تعملون
Dapat difahami dari ayat di atas bahwa urusan mati sepenuhnya merupakan hak Allah swt. Sehingga kalau sampai terjadi seseorang lain yang mengusahakan kematian untuk orang lain, ini bisa dikategorikan sebagai pembunuhan. Dan bila ada terjadi seseorang berusaha untuk dirinya sendiri untuk mendapatkan kematian, maka perbuatan demikian bisa dikategorikan sebagai bunuh diri dengan meminjam tangan orang lain.
Akibat dari pesatnya perkembangan teknologi kedokteran modern akan dapat memberikan fasilitas dan pelayanan yang lebih baik bagi usaha perpanjangan umur pasien yang menderita sakit parah. Ini mengandung arti bahwa dokter atau tim medis telah dapat menunda beberapa saat waktu kematiannya.
Kemudian apakah dokter dalam memberikan tindakan medis (misal; memasang infus, respirator, EEG dan lain-lain), itu tidak berarti menghalangi hak Allah sebagai penentu kematian manusia ?.
Dalam konteks di atas, tindakan dokter itu tidak berarti melangkahi hak Allah atau takdirnya, sebab tindakan medis itu manifestasi dari ikhtiar untuk menolong pasien. Dan memang seharusnya begitu, seorang dokter berkewajiban untuk mengobati, meringankan penderitaan pasien dengan segala kemampuannya, baik dengan obat-obatan atau memberikan nasihat. Betapapun sudah diduga umur si pasien tidak lama lagi.
Berbicara masalah euthanasia (qatl ar-rahmah atau taisir al-maut), yang definisinya menurut Qardawi ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit. Khususnya lagi euthanasia aktif (taisir al-maut al-fa’al) yang definisinya ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan dokter dengan menggunakan instrumen (alat).
Dalam Islam euthanasia aktif itu secara eksplisit dan tegas belum pernah ditemukan hukumnya. Akan tetapi karena euthanasia aktif merupakan tindakan untuk mempercepat kematian seseorang, maka hal ini bisa diklasifikasikan kedalam jarimah pembunuhan.
Namun demikian apakah bisa begitu saja tindakan euthanasia aktif itu digolongkan sebagai jarimah pembunuhan?. Dalam hal ini tentunya diperlukan beberapa tahapan untuk menjawabnya, yakni sebagai berikut:
1. Dalam fiqh Islam suatu perbuatan barulah dikatakan sebagai jarimah apabila perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur jarimah, yakni:
a. Unsur formal atau unsur syar’i
Yang dimaksud dengan unsur formal atau unsur syar’i adalah adanya ketentuan syara’ atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud.
b. Unsur material atau rukun maddi
Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.
c. Unsur moril atau Rukun Adaby
Unsur ini juga disebut dengan al-mas’uliyyah al-jinayyah atau pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat tindak pidana atau delik haruslah orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat jarimah (tindak pidana, delik) haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima isi beban tersebut. Orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah arang-orang yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khitab (panggilan) pembebanan (taklif).
2. Tindakan euthanasia aktif itu apakah telah memenuhi unsur-unsur jarimah ataukah tidak?. Jika telah memenuhi tentunya ada kesinkronan antara aspek-aspek terjadinya euthanasia aktif dengan unsur-unsur jarimah. Adapun aspek-aspek terjadinya euthanasia aktif ialah sebagai berikut:
a. Bahwa euthanasia aktif itu merupakan tindakan pembunuhan. Sehingga euthanasia aktif dilihat dari aspek definisinya sudah memenuhi unsur jarimah pertama, ialah unsur formil (ar-rukn asy-syar’i), yakni adanya nas yang jelas-jelas melarang pembunuhan baik diri sendiri ataupun orang lain. Seperti tercantum dalam beberapa ayat al-Qur’an sebagai berikut:
لا تقتلوا أنفسكم ان الله كان بكم رحيما0
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق ذالكم وصاكم به لعلكم تعقلون0
b. Adanya tindakan atau perbuatan yang mendukung terjadinya euthanasia aktif, yakni biasanya dengan mencabut selang respirator atau melalui suntikan dengan bahan pelemah saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia), dan sebagainya. Dalam aspek ini juga telah memenuhi unsur jarimah kedua yakni unsur materill (ar-rukn al-maddi).
c. Adanya pelaku euthanasia aktif yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, yaitu dokter atau tim medis lainnya, pasien, dan keluarga pasien. Dari aspek inipun telah memenuhi unsur jarimah ketiga, yakni unsur moril (ar-rukn adabi)
Jadi jelas dalam konteks tersebut dapat disimpulkan bahwa euthanasia aktif itu merupakan jarimah pembunuhan.
Dalam hukum Pidana Islam (fiqh jinayah), tindak pidana pembunuhan ini (al-qatl) disebut juga al-jinayah ‘ala al-insaniyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia). Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan. Perbedaan tersebut adalah:
1) Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-’amd) dan kekeliruan (qatl al-khata’).
2) Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja (syibh al-’amd) dan kekeliruan.
3) Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat (ruba’i), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata’).
4) Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan dan serupa kekeliruan, dan pembunuhan secara tidak langsung (al-qatl bi al-tasabbub).
Dari macam jarimah pembunuhan di atas, tindakan euthanasia aktif bisa digolongkan kedalam pembunuhan sengaja. Hal ini sesuai dengan definisinya, yakni; suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya, atau sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dan memang akibat perbuatan itu dikehendaki pula.
Terjadinya tindakan euthanasia aktif sangat dipengaruhi oleh alasan atau pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a) Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit. Oleh karena penyakit yang dideritanya sangat (accut), dan telah lama dialami, maka ia meminta dokter untuk melakukan euthanasia. Pertimbangan lain bisa juga karena pasien tidak ingin meninggalkan beban ekonomi yang terlalu berat bagi keluarga, akibat biaya pengobatan yang mahal. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah di ambang pintu, paling tidak, harapan sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih “nyaman”, yaitu melalaui euthanasia.
b) Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien. Apabila jika pasien tampaknya tidak tahan menanggung sakitnya, baik karena terlalu lama, ataupun karena amat ganasnya jenis penyakit yang menyerangnya. Bisa juga euthanasia terjadi karena permintaan keluarga yang tidak sanggup lagi memikul biaya pengobatan, sementara harapan untuk sembuh tidak ada lagi.
c) “Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga (tertentu) bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien, karena menginginkan harta/milik pasien dan faktor amoral lainnya.
B. Sanksi Hukum bagi Pelaku Euthanasia
Dalam ajaran agama Islam tidak terdapat ajaran yang mutlak mengenai euthanasia, namun bila ingin mempelajari dan memahami arti euthanasia secara mendalam, maka akan jelas hukumnya dengan berdasarkan al-Qur’an sebagai salah satu sumber hukum Islam. Euthanasia hakikinya adalah membunuh yang dilakukan dalam rumah sakit oleh dokter ahli pada penderita karena penyakit tertentu seperti kanker atau kecelakaan yang merusak tubuhnya hingga berdasarkan ilmu dan teknologi kedokteran tidak mungkin sembuh.
Agar manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak ataupun menghilangkan jiwa orang lain maupun jiwa diri sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah.
Euthanasia merupakan salah satu bentuk pembunuhan dan termasuk dalam kategori jinayat. Dalam terminologi fiqh, jinayat adalah setiap perbuatan yang diharamkan dan tercela yang dilarang oleh Tuhan, perbuatan itu bisa merugikan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Allah melarang melakukan pembunuhan, karena pada dasarnya menghilangkan nyawa seseorang merupakan perbuatan dosa besar sebagai mana tercantum dalam al-Qur’an:
و من يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها و غضب الله عليه و لعنه و اعدَله عذابا عظيما
Secara umum hukum Islam diamalkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturan diberikan secara rinci, khusus yang berkaitan dengan hukum pidana, Islam ditetapkan aturan yang ketat yaitu Qisas (pembunuhan), had dan diyat.
Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi, sebagaimana dikutip oleh Akh. Fauzi Aseri mengaِatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya), organ tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakekatnya adalah barang ciptaan yang diberikan Allah, oleh karenanya ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya. Jadi jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit berkeinginan mempercepat kematiannya, baik dengan bunuh diri maupun dengan minta dibunuh. Bahkan berdo’a meminta dimatikanpun tidak diperbolehkan. Tetapi Allah menyuruh umatnya bila dalam keadaan sakit agar disamping berusaha juga berdoa agar diberi kesembuhan, sebagaimana firman Allah swt:
واذ مرضت فهو يشفين
Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan, bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:
1. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.
2. Janda yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam.
Jika dibandingkan dengan alasan-alasan yang mendorong terjadinya euthanasia seperti disebutkan terdahulu, maka tidak ada satupun yang berkaitan dengan alasan bilhaq di atas. Maka agar dapat ditentukan sanksi hukumnya dalam masalah euthanasia ini, perlu diperjelas secara terperinci karena masalah euthanasia ini merupakan masalah yang kompleks, baik dari segi sebabnya maupun pelaku terjadinya euthanasia.
Karena euthanasia ini merupakan jenis pembunuhan maka kiranya perlu dijelaskan sanksi-sanksinya. Sebelum menginjak kepada sanksi-sanksi pelaku euthanasia perlu disebutkan terlebih dahulu sanksi-sanksi dalam pembunuhan. Dalam pembunuhan, ada beberapa jenis sanksi, yaitu; hukuman pokok, hukuman pengganti dan hukuman tambahan. Hukuman pokok pembunuhan adalah qisas. Bila dimaafkan oleh keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah diyat. Akhirnya jika sanksi qisas atau diyat dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah ta’zir. Menurut sebagian ulama, yakni Imam Syafi’i, ta’zir tadi ditambah kaffarah. Hukuman tambahan sehubungan dengan ini adalah pencabutan atas hak waris dan hak wasiat harta dari orang yang dibunuh, terutama jika antara pembunuh dengan yang dibunuh mempunyai hubungan kekeluargaan.
Dokter sebagai seorang anggota masyarakat, penuh aktif, berinteraksi dan memelihara masyarakat. Tugas dokter tidak hanya melakukan pengobatan penyakit dan mencegah timbulnya penyakit. Tetapi juga sebagai seorang manusia dokter juga dituntut untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan apapun bentuknya.
Dalam masalah euthanasia ini, jika melihat kembali kepada fungsi dokter sebagai penolong untuk mengobati, menolong dan membantu pasien dari penyakitnya supaya sembuh, apakah secara batin dia tega melakukan euthanasia terhadap pasiennya. Pasti dia mempunyai tekanan batin dan juga menghadapi konsekuensi hukum.
Dalam hal ini, jika dokter melakukan euthanasia berarti dokter telah melakukan pembunuhan, karena pembunuhan berarti menghilangkan nyawa seseorang, sepeti dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaili:
“Pembunuhan adalah suatu perbuatan mematikan; atau perbuatan seseorang yang dapat menghilangkan nyawa; artinya pembunuhan itu dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan.”
Allah telah memberikan hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan qisas. Hal ini tercantum dalam al-Qur’an:
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
و كتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس
Jadi berdasarkan ayat di atas dokter sebagai pelaku pembunuhan harus dihukum qisas, hal ini sebagai konsekuensi pertama yang dihadapi oleh dokter sebagai pihak pembunuh. Pada dasarnya Allah melarang pembunuhan apapun jenisnya, dan Allah memberikan hukuman berupa qisas yang merupakan hak Allah atas manusia, karena Allah sebagai sang khaliq menyuruh umatnya agar senantiasa memelihara jiwa, sebagai unsur utama kehidupan manusia, tetapi Allah juga memberikan hak kepada keluarga si terbunuh dengan tuntutan, tuntutan itu bisa berupa qisas (sebagai balasan), diyat (bila pembunuh dimaafkan) dan bisa juga dimaafkan secara mutlak. Hal ini tergantung tuntutan apa yang akan dilakukan pihak keluarga atau ahli warisnya. Dalam hal ini dokter mempunyai suatu dispensasi dari pihak pasien (si terbunuh) berupa (kerelaan atau izin), dan persetujuan dari pihak keluarga.
Dalam hal ini si pasien sebagai pemilik jiwa telah merelakan atau memberi izin kepada dokter. Masalah yang timbul adalah, apakah pelaku (dokter) terkena hukuman atau tidak dalam kasus euthanasia yang mana si korban sebagai pemilik jiwa, atau keluarga sebagai wali ad-dam telah merelakan bahkan menganjurkannya. Dalam hal ini Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang disuruh sendiri oleh si korban dengan disetujui walinya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa perintah korban dapat menggugurkan qisas terhadap pelaku.
Menurut Hanafiyah:
يسقط القصاص برضا المجني عليه
Gugurnya qisas disebabkan oleh adanya kerelaan atau izin korban yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman berpindah kepada diyat. Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hudud. Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hanifah, Abu yusuf dan Muhammad mereka sama-sama memberikan sanksinya berupa diyat, karena adanya pemberian izin, dan pemberian izin itu menimbulkan syubhat (kesamaran).
Pendapat ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah, yakni:
ادرؤوا الحدود بالشبهات
Pendapat Malikiyah yang arjah (lebih kuat) dan sebagian Syafi’iyah:
يسقط عقوبتى القصاص و الدية برضا المجني عليه
Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukuman asli (qisas) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam kasus euthanasia ini tidak ada sanksi qisas dan diyat, meskipun tidak berarti menghapuskan hukuman ta’zir. Karena si pasien telah memaafkan dari sanksi dan rela untuk dibunuh itu sama dengan memberi maaf.
Dari pendapat-pendapat di atas, semuanya tidak ada yang menetapkan sanksi hukum atas kerelaan atau izin ini dengan sanksi qisas (hukuman asli), walaupun Abu Hanifah (beserta pengikutnya) Abu Yusuf dan Muhammad menetapkan hukum atas adanya unsur kerelaan ini dengan diyat (hukuman pengganti).
Diyat ada dua macam yaitu diyat mugalazah dan diyat mukhafafah. Menurut Malikiyah pada pembunuhan disengaja dikenakan diyat mugalazah apabila waliyuddam menerimanya. Dan jumlah dari pembayaran diyat mugalazah adalah seratus ekor unta yang empat puluh di antaranya sedang bunting.
Dari hal ini, jika melihat hal di atas berarti dokter yang mengeuthanasia mendapat hukuman berupa diyat mughaladzhah karena telah dimaafkan oleh pihak keluarga, tetapi dalam hal ini apakah dokter sebagai orang lain bagi pasien dan keluarga yang sudah melaksanakan euthanasia atas permintaan pasien dan persetujuan keluarga sehingga mendapat hukuman diyat, mau menerima hukuman tersebut, jika dia sudah tahu akan konsekuensinya. Sedangkan jumlah yang harus dikeluarkan dari ketentuan diyat sendiri tidak sedikit, yaitu berupa seratus ekor unta yang empat puluh diantaranya sedang bunting, atau harta (uang atau barang ) yang senilai dengannya. Otomatis dokter tidak akan mau jika harus membayar diyat, karena berarti dokter sebagai pihak yang membantu malah mendapatkan kerugian. Jadi dari hal ini dokter terbebas dari hukuman qisas (sebagai hukuman asli) juga diyat (sebagai hukuman pengganti). Karena fungsi diyat adalah untuk kemaslahatan keluarga si pasien (si terbunuh). Sedangkan tindakan dokter telah disetujui pihak keluarga pasien. Dan pihak keluarga atau ahli warisnya juga telah memaafkan secara mutlak maka tidak ada hukuman diyat baginya.
Pada dasarnya hukuman qisas tidak dapat diganti dengan hukuman yang dibuat oleh manusia, namun pihak korban atau ahli warisnya diberi hak tuntutan, oleh karena itu hak Allah yang berupa qisas dapat diganti dengan hukuman diyat yang merupakan hak manusia. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعروف و اداء اليه باحسان
Adanya hukuman pengganti pada jarimah qisas ini disebabkan adanya pemaafan dari sikorban atau wali atau ahli warisnya. Hal itu dimungkinkan, sebab jarimah qisas merupakan hak adami hak perseorangan. Oleh karena itu, kalau sikorban (masih hidup) atau ahli waris (jika korban mati) memaafkan pembuat jarimah, hukuman qisaspun menjadi gugur digantikan dengan hukuman diyat. Apabila korban atau keluarganya memaafkan diyat ini, dapat dihapus dan sebagai penggantinya hakim akan menjatuhkan hukuman ta’zir. Singkatnya, sanksi ta’zir dapat dijatuhkan terhadap pembunuh, maka sanksi qisas tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi syarat.
Dalam tindak pidana pembunuhan. hukum Islam memberikan kedudukan kepada keluarga korban secara bijaksana untuk turut ambil bagian di dalam menentukan kebijaksanaan hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan memberikan kesempatan kepada pelakunya apakah harus diqisas atau diyat, atau juga memberi maaf secara mutlak. Keterlibatan keluarga pihak korban, ini sangat berarti bagi pelaku tindak pidana maupun bagi keluarga si korban. karena korban (si pasien) atau walinya mempunyai hak untuk membebaskan pembunuh dari sanksi hukuman qisas dan diyat, baik kedua-duanya atau diganti dengan sanksi lain. Dengan melihat bahwa izin (persetujuan) dapat menghapuskan hukuman, maka izin tersebut merupakan pemaafan yang didahulukan.
Hukuman ta’zir yang diberikan kepada pembunuh sengaja yang dimaafkan dari qisas dan diyat adalah aturan yang baik dan membawa kemaslahatan. Karena pembunuhan itu tidak hanya berurusan dengan hak perseorangan, melainkan juga hak jamaah. Maka ta’zir itulah sebagai sanksi hak masyarakat. Dan ta’zir itu tergantung kepada kemaslahatan:
التعزير يدور مع المصلحة
Adanya kaidah ini merupakan wujud dinamisasi hukum pidana Islam dalam menjawab bentuk-bentuk kejahatan baru yang belum ada aturannya sehingga setiap bentuk kejahatan baru yang dianggap telah merusak ketenangan dan ketertiban umum dapat dituntut dan dihukum.
EUTHANASIA
DALAM PRESPEKTIF FIQH JINAYAH
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:
MUKHLISIN
9937 3425
PEMBIMBING
DRS. OMAN FATHUROHMAN SW, M. Ag
DRS. SLAMET KHILMI
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Qur’an Karim, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1404. H
Hadis
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Bukhari, Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ja’fi al-, Sahih al-Bukhari, 8 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Daruquthni, Ali bin ‘Amr Abu al-Husyain al-, Sunan al-Daruqutni, 3 jilid, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1996.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulug al-Maram, Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.
Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, 2 jilid, Beirut: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyah, t.t.
Maraghi, Musthafa al-, Tafsir al-Maraghi, 30 jilid, Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1971.
Nasai’, Abd ar-Rahman Ahmad ibn Suaib ibn Ali ibn Bahr an-, Sunan an-Nasai’, 8 jilid, Mesir: al-Bab al-Halabi wa al-Audah, 1994.
San’ani, Muhammad ibn Ismail ibn Salah al-Amir al-Kahlani al-, Subul as-Salam Syarah Bulug al-Maram, Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.
Fiqh dan Usul Fiqih
Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wad’i, 2 jilid, Beirut: Muassasat ar-Risalat, 1992.
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (upaya menaggulangi kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Anwar Harjono, Hukum Islam (keluasan dan keadilannya), Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
Charis, Zubir A., Etika Rekayasa menurut konsep Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam menurut ajaran ahlus sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Ibnu Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t.
Jaih mubarok, dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Madjrie, Abdurrahman dan Fauzan al-Anshari, Qisas pembalasan yang hak, Jakarta: Khairul Bayan, 2003.
Mawardi, Imam al-, al-Ahkam as-Sultaniyah, (Prinsip-prinsip penyelenggaraan Negara Islam), alih bahasa: Fadhli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2000.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV Haji Masagung, 1994.
Mukti, Ali Ghufron dan Adi Heru Sutomo, Abortus, bayi tabung, Euthanasia, transplantasi ginjal, dan operasi kelamin, dalam tinjauan medis, hukum, dan agama Islam, Yogyakarta: Aditya media,1993.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Qardhawi, Yusuf al-, Fatwa-fatwa kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
…., Halal dan Haram dalam Islam, terj. Oleh Drs. Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: Robbani Press, 2000.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa A. Ali, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1997.
Supriadi, Wila Chandrawila, hukum kedokteran, Bandung: Mandar Maju, 2001.
Syairazi, Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-, al-Muhazzab, Surabaya: Maktabah Ahmad bin Said bin Nabhan, t.t.
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy-Syamil Press, 2001.
Yanggo, Chuzaimah T. dan A. Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer edisi ke-4 edisi revisi, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002.
Zuhaili, Wahbah az-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 8 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Buku lain-lain
Abdul Jamali, dkk, Tanggung jawab Hukum Seorang Dokter dalam menangani Pasien, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990.
Adji, Oemar Seno, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Jakarta: Erlangga, 1991.
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997.
Djoko Prakoso, dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
F.Tengker, Mengapa Euthanasia? Kemampuan Medis & Konsekuensi Yuridis, Bandung: Nova, t.t.
R. Soesilo, Kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP) serta komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor: Politeia, 1996.
Ali Akbar, Etika Kedokteran Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1988.
Carm, Piet Go O, Euthanasia Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik, Malang: Analekta Keuskupan Malang, 1989.
Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1987), Vol.2 : 978, Artikel Euthanasia
Guwandi J, Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
Imron Halimi, Euthanasia cara mati terhormat orang modern, Solo: CV. Ramadhani, 1990.
Kartono Mohamad, Teknologi Modern Dan Tantangannya Terhadap Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Karyadi, Petrus Yoyo, Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001.
Sudibyo Soepardi, Kode Etik Kedokteran Islam (Islamic code of medical ethics), Jakarta: Akademika Pressindo, 2001.
Samil, Ratna Suprapti, ed, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: Metro Kencana, 1980.
Shannon, Thomas A,Pengantar Bioetika, alih bahasa. K Bartens, Jakarta: Gramedia, 1995.
Sudarmo, H.R. Siswo, Euthanasia Bagaimana Sikap Seorang Dokter, Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis. Yogyakarta: FKMPY, 1990.
Widyana, J. Chr Purwa, “Euthanasia” beberapa soal moral berhubungan dengan quantum, Antropologi Teologis II, 1974.
0 Comment