Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara
A. Latar Belakang Masalah.
Gagasan tentang hubungan Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami wacana yang fluktuatif dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu bertahan pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan sensasi ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis, maupun Islam.
Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian dari keseluruhan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam. Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai politik merupakan salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan,
Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perkumpulan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai kebanyakan ideologi. Sebenarnya alasannya adalah hubungan Islam dan negara, khususnya mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler?
Penelitian ini mengambil judul “Diskursus Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara),” penyusun lebih memfokuskan pada dua tokoh ini yang tentunya telah banyak mewarnai wacana reintegrasi Islam dan Negara sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat ini.
Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran mengarungi tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan dipisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.
Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis, dalam hal ini penyusun lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus Dur sebagai tokoh neo- modernis (meminjam istilah Greg Barton), ini karena pemikirannya yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu politik, budaya dan agama) dengan tetap setia pada posisi penghancuran-tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur'an tidak perlu diganggu gugat.
Kedua tokoh ini menarik untuk ditinjau. Pertama, secara umum keduanya masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda pendapat mengenai hubungan Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi kelompok (latar belakang) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan dan prilaku tokoh politik tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan kaum tradisionalis, yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata mampu mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq, sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti al-Maududi yang sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negara karena menurut M.
Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia apalagi ketika mendekati pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak mempengaruhi wacana luasnya Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya kedua alasan inilah yang menyebabkan penelitian ini dilakukan.
Dalam memandang hubungan Islam dan negara, masalah ketatanegaraan merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, faktor sebab inilah yang kemudian seringkali memunculkan kekhawatiran antara kelompok muslim idealis dan realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah SAW dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, sebenarnya Islam telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.
M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. oleh karena itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia berazaskan ideologi Islam. “Negara Demokrasi Berdasarkan Islam”. Keinginannya ini Bukan semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-nilai dasar Islam. Karena baginya Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna. Ini menarik untuk dicermati satu sisi M. Natsir terbuka untuk memakai sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi lain dia bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.
Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal. Hal yang senada dengan penolakan Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.
Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>'ah pemerintahan dinilai dari segi fungsionalnya bukan pada formalitas bentuknya, apakah negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus Dur Islam tidak mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay'ah, dan ahl al-H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.
Atas pemikiran dasar inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap mematuhi etika sosial.
Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti penyelesaian pemerintahan terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja karena bagi Islam sendiri tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut penyusun “posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat demokrasiasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia tampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme.”
Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia selama ini.
B. Pokok Masalah.
Dari uraian di atas dipaparkan bahwa ada persamaan dan perbedaan pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai hubungan Islam dan negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai demokrasi tetapi berbeda dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini bisa disebabkan latar belakang sosiohistoris yang berbeda. oleh karena itu perlu penyusun tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu:
1. Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai hubungan Islam dan negara?
Tiga pokok masalah diatas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.
2.Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?
3. Apa yang tersirat tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Perbandingan Madzhab Dan Hukum di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga ada tujuan yang lain yaitu:
1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang lebih tajam tentang karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai wacana Islam dan negara, khususnya azas negara Indonesia.
3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi kedua gagasan tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.
1. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas negara (Pancasila).
2. Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neomodernis.
2. Memicu asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut dalam perspektif perbandingan, baik itu latar belakang sosial, pendidikan dan politik.
Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau kegunaan, di antaranya:
3. Sebagai prediksi, sejauh mana yang diungkapkan kedua pemikiran itu dalam perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini.
M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh pemikir dan sekaligus seorang politikus yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, meskipun keduanya hidup pada masa yang berlainan, namun gagasannya selalu aktual bahkan sering dijadikan rujukan dalam diskusi dan aksi politik.
D. Telaah Pustaka.
Penelitian ini mempunyai dua variabel. Pertama, mengenai diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua, pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang Relasi Islam dan Negara di Indonesia. Banyak buku atau karya ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus Dur, baik itu biografi, prilaku politik maupun gagasannya. Akan tetapi pembahasannya sering kali tidak dilakukan secara bersamaan hanya terfokus pada satu tokoh saja kalau memang ada yang mengkaji perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir dan Gus Dur sekaligus. Karena penulisan ini mencakup dua variabel di atas, maka penyusun merasa perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan variabel tersebut.
Dalam tesisnya A. Syafi'i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Karya ini mengulas tentang hubungan Islam dan politik yang kemudian menggambarkan prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan politik Soekarno saat itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya. Di sini penyusun sempat membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena lebih fokus pada gerakan partai politiknya.
Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama'at Islami (Pakistan) karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang terlibat seperti M. Natsir dan Maududi sebagai representasi dari modernisme dan fundamentalisme akan tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus kajiannya karena lebih pada partai tempat tokoh ini berpolitik.
Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) yang menjelaskan hubungan Islam dan negara di Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa buku ini hanya menyaring keterwakilan kaum muslimin secara proporsional dalam lembaga-lembaga negara dan mempertahankan komitmennya bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis juga sedikit tersinggung polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai azas negara.
Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.
Sementara itu, Buku Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan demokrasi, khususnya mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya dengan persoalan dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini merupakan hasil penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal untuk melihat pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji pancasila sebagai asas negara.
Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi. Karya Umaruddin Masdar, berusaha menelusuri pola pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mempertemukan Islam dan perdamaian. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada konsep demokrasi dengan menggunakan teori politik sunni sebagai rujukan utama untuk mengkaji gagasan kedua tokoh tersebut.
Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais yang disunting oleh Arief Affandi merupakan buku yang lebih membahas tentang strategi perjuangan kedua tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan demokrasiasi di Indonesia.
Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara karya Ma'mun Murod al-Brebesy, tesis ini telah dibukukan dengan fokus kajian membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai hubungan Islam dan negara, masyarakat sipil dan representasiasi.
Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya asli dari kedua tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan artikel media.
E.menunjang Teoretis.
Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berpikir serius dalam meletakan dasar filosofis negara, terlepas dari itu perjuangan atau kepentingan golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudlaratan .
Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar'iyyah. Menurut Abdul Wahab Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar'iyyah ialah berwenang seorang penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan. Dengan demikian siapapun yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada Mas}lah}ah al-Mursalah (kepentingan umum).
Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah satu dari epistimologi syari'ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadah (transeden). 2) kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar Syari'ah (Al-qur'an dan Sunnah). 3) kemaslahatan umum itu wajib merupakan kepentingan esensial yang sangat diperlukan.
Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan merumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.
Objek kajian fiqih siyasah atau Siya>syah as-Syari'yyah menurut Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan peraturan-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan mereka. Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-Siya>syah ada tiga aspek utama di antaranya: 1) Peraturan dan Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasanaan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan kemaslahatan. 3) menghargai hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.
Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam terbagi menjadi dua yaitu hukum yang bersifat Qat}'i (Syari'ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih), karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka menyusun memasukkanya ke dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah mempunyai dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan stabilitas.
Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam mengkaji diskursus hubungan Islam dan negara, lebih khusus lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur'an dan Sunnah tetap berjalan (tidak kontradiktif), sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, menyusun istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern terhadap hubungan Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini. Pertama, aliran mengarungi tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh aliran ini adalah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Ketiga, aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada dibalik dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.
Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman. Tokoh-tokoh ini mengkaji guna membidik kerangka pemikiran teoritis M. Natsir dan Gus Dur.
Jamaluddin al-Afghani, Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan mengajukan pembentukan Jam'iyah Islam>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme, ikatan ini berbasis pada akidah Islam yang bertujuan 1) pertarungan sistem pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang -wenang) dan diganti dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang mengajarkan Islam, 2) pelanggaran kolonialisme atas dominasi barat.
Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner, seperti pembentukan pemerintahan dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain itu ia juga mengusulkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah. Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara yang ia kunjungi. Oleh karena itu Afghani lebih cocok mencerminkan sebagai tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.
Ali Abdul Raziq, menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah). Dia sama seperti nabi-nabi sebelumnya bukan nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar yang kuat untuk mendirikan khilafah. al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator, republik atau totaliter.
Meskipun ia mengakui Ijma' sebagai H{ujjah Syar'iyyah akan tetapi dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma' yang shahih, alasannya sejak sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak yang menentang yang tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya, setelah Abu Bakar, Umar dan Usman.
Fazlur Rahman, pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman berdasarkan pada konsepsi al-Qur'an. Dalam al-Qur'an, menurut Rahman, umat merupakan suatu “penengah” sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain. “Tugas umat adalah menciptakan rasa nyaman di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan sosiopolitik yang harus ditegakkan di atas dasar etika yang sah dan layak. Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur'an.
لنع خير أمـﺔ أخرجت للنـاس λأمرون بالمعرaru,ف وتـنهون المنك ا orang orang ال ا orang ال ا orang ال ا orang ال ا orang ال ا orang ال ا orang.
الذين أخرجوامن ديارهم بغـيرحق إلاان يقولواربنـاالله ولودفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجديذكرفيهااسم الله كثيـراولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى عزيز (الحج:٤٠)
Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar al-Qur'an dapat dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal institusional proses dan bentuk demokrasi 'ala Barat itu tetap sejalan dengan orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.
Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun modernisme memberikan kontribusi positif pada era kebangkitan Islam tetapi tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.
Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena pada kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.
Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran Natsir akan tampak maududian tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.
F. Metode Penelitian.
Dalam sub bab ini perlu penyusun paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannyadan analisa data.
1. Jenis penelitian.
Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini mempelajari tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut. Pertama, riset pikiran dan keyakinan kedua tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak awal sampai akhir pemikiran politiknya.
2. Sifat Penelitian.
Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif-analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau sastra. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini adalah karakter dari kedua tokoh tersebut dan fenomena yang mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni mengkaji akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih memfokuskan pada dua aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang menyusun anggapan sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.
Sedangkan komparatif berarti membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut dalam proses penelitiannya, supaya mendapatkan letak persamaan dan perbedaan yang tepat.
3. Tehnik Pengumpulan Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu: data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari kedua tokoh tersebut baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan kedua tokoh tersebut dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.
4. Pendekatan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosiohistoris. Yang dimaksud pendekatan normatif adalah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.
Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu politik sosial dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam masalah ini.
5. Analisa Data
Setelah data terkumpul akan menganalisa dengan metode analisis kualitatif deduksi dan perbandingan. Deduksi yaitu metode yang berawal dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus. Dalam hal ini analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan negara di Indonesia, khususnya mengenai asas negara akan dipersempit dalam paradigma modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi tidak bisa membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah terdapat persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara keduanya.
G. Sistematika Pembahasan.
Dalam pembahasan ini penyusun membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan yang terakhir pembahasan sistematika.
Bab kedua menelusuri asal-usul dan tipologi hubungan agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Selain itu karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua perspektif, yaitu modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh yang dikaji.
Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan Gus Dur. Penelahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik kedua tokoh tersebut dalam menggagas hubungan Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara yang mereka perjuangkan sebagai representasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan Islam, demokrasi dan dasar negara.
Bab keempat menganalisis pemikiran kedua tokoh tersebut tentang hubungan Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi pancasila, yaitu dengan membandingkan gagasan kedua tokoh di atas, apakah dalam penelitian ini terdapat persamaan dan perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik generasi Islam saat ini.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Bermakna untuk mengungkapkan tempat yang signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.
BAB II
ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.
Wacana tentang makna, temuan dan fungsi pancasila telah menjadi gambaran sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, cita-cita ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Terdorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). ). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan hubungan Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari'at Islam dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.
Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di
penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan
peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa
ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam
politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini. Dalam
skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu
mengenai hubungan Islam dan negara.
Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam
merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi
empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap
kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai
sekarang. Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul
lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan
Indonesia secara global.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya
persiapan kemerdekaan yang diharapkan, dan telah disetujui oleh
pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana
Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang
menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam “waktu dekat”.
Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara
Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum
Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang,
namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di
Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang
diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti
Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu
kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an. Saat itu
Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu
Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen
Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di
bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan
kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai
kemerdekaan.
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak
ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga
dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual
diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya
dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang
akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’)
posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka
yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka
yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling
emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam
dijadikan dasar negara.
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama,
dari 29 Mei – 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini
Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan
kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila. Sedangkan pada sidang
kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan
dibentuk. Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan
keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang
diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan
kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral
terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan
dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah
ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural.
Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus
semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk
panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang
yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni
Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa,
untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini
maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota
BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam
yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari
kelompok nasionalis-sekuler. Statistik ini menunjukkan betapa tidak
seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul
Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim,
Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A.
Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis,
antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof.
Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo
dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh
Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis.
Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah
dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas
perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI
yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan
Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar
Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad
Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan
Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak
berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok
Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok
nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam
badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang
membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan
sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban
menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”, kesepakatan
ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat
itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945
yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan
Piagam Jakarta tersebut. Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang
pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak
dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam
yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang
sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam
mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat
Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas
kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat
debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua,
tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu
bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama
yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh
kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk
agama lain. Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik
Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus
1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan.
Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul
Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati
dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam,
yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.
Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak
melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih
presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan
wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno
mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang
saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki
Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta.
Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus
yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang
memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil
melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat
pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.
Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat
itu, yaitu Nasionalis dan Islam. Golongan nasionalis adalah kelompok
yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus
dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi
agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan
akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan
masalah politik yang berurusan dengan duniawi. Sementara itu golongan
Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat
dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak
hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga
hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an
dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis
Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan
peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti
Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh
Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan
lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang.
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam
pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut
mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab
munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi
dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari
persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab
itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan
negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.
Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam
dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di
Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang
diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga
teori. Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus
dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif
dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab
itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada
Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi (1903-1979) dari
Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb (1906-1966)
dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin dari Mesir. Baik Jam‘iyah
al-Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan
Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat
dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara)
tidak bisa dipisahkan. Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash
al-Qur’an :
ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين. (البقرة :٢٠٨)
Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan
agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri
urusan politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini
tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh
konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat
dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti konstitusi
negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus
menjadi ruh kehidupan masyarakat bernegara,
Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan
karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia
dalam menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat
kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan
1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959)
para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara.
Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik
nasionalis-muslim Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk
ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak
pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan
yang dikirim oleh Tuhan semata.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara
kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak
menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya, pada
tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang
mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan
umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari
persoalan agama.
Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka
sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama
dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama
lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan
keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai
dengan cita-cita negara kesatuan yang diharapkan bersama.
Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara
terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat
Islam Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni
pengakuan Islam secara legal formal di negara ini. Dengan mengingat
kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945, Soekarno
mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia
memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian
Barat juga tidak ikut menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh
Islami ini.
Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler
mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan
pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah “negara”
dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu
wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
rakyat. Kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan
yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya.
Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam
kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan
yang seringkali dikonotasikan dengan istilah negara. Di samping itu
teori-teori tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik
Islam di Indonesia.
a. Daulah.
Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar
dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically).
menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa”
yang berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan
didukung oleh keluarganya atau clanya. Jadi dalam konteks sekarang
istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat
dengan paham Da>r al-Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan
tertinggi terletak di tangan seorang penguasa muslim yang memberlakukan
Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam wilayahnya.
Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam
ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan
abad delapan. Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu
terdapat pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani
Abbas (Daulah Abbasiyyah).
b. Khilafah.
Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan
atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan
pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian
legitimasi (Bay‘ah). Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam
pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit
politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution
sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan,
karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi
yang bersifat turun-temurun.
Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah
Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato
inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah
dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan
misi-misinya. Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul
pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti
Islam di Arabia.
c. Imamah.
Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering
digunakan sebagai teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi,
imam bisa dimaknai khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dengan
demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi memberikan ruang bagi agama
suatu jabatan politik yaitu kepala negara. Sementara menurut Taqiyuddin
an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama
maknanya, karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara
umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum
syari’at dan mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah
daripada aliran sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua
rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).
d. Kesultanan.
Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab
al-Qur’an, menurut Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd
Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan
istilah sultan untuk pemerintah.
Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki
beberapa sinonim di antaranya Daulah, Khila>fah, Ima>mah dan
S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan hal yang lazim kalau wacana
Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena secara de facto
ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan
konsep negara, sedangkan secara konseptual atau de jure Islam memang
tidak mengenal konsep negara yang detail. Namun demikian patut diteliti
apakah teori-teori tersebut untuk konteks modern saat ini bisa
dikategorikan sebuah konsep negara.
Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan
panjang dalam sejarah didirikannya negara ini, sejak pra-kemerdekaan
sampai sekarang. Patut dicari apa sebenarnya yang membuat tokoh muslim
berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar negara Indonesia?
Salah satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka bertujuan
menerapkan Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M.
Natsir salah satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno
mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita
Islam oleh sebab itu pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian
integral dari perjuangan Islam untuk menerapkan Syari‘at.
Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat Islam
Indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran yang sangat besar
dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk mendukung opini ini
bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah tanah
air ini, seperti Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari
Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Diponegoro 1825-1830,
Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937), Teuku Umar, Tjut Nya’Dien
dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun 1872-1912). Di
samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh Hayim
Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.
Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam
Jakarta” bisa juga dipahami melalui berbagai organisasi kultural dan
ekonomis Islam yang telah didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka,
apalagi organisasi tersebut banyak memberi konstribusi dalam kemerdekaan
ini, misalnya Sarekat Islam (didirikan tahun 1912), gerakan Modernis
Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi
Tradisionalis NU (didirikan 1926). Menurut hemat penyusun organisasi
ini merupakan alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.
Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa ini
dan organisasi Islam memainkan peran penting pada masa kemerdekaan,
menurut Fred von den Mehden “Indonesia sebagai satu bangsa Islam tidak
seluruhnya sepakat dengan apa yang harus dilakukan sebagai pemeluk
Islam”. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran
dan praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford
Geertz bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau
trikotomi, yaitu Priyayi, Santri dan Abangan.
Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim tampak jelas dalam
wacana pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan
demikian suatu dinamika “Islam versus Pancasila” telah mempengaruhi
sebagian besar perdebatan dan wacana pemikiran politik Indonesia
sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an. Sebagaimana yang akan dibahas
dalam bab-bab berikut, dinamika ini memiliki implikasi-implikasi penting
bagi perpolitikan nasional.
Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara
sangat tampak dalam pemberontakkan Darul Islam melawan Pemerintahan
Pusat antara tahun 1948-1962. Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk
konkret ancaman “ekstrem kanan” (istilah yang secara resmi dipakai
untuk menunjuk fundamentalisme Islam di era Orde Baru) semakin jelas.
Djohan Effendi menambahkan bahwa Darul Islam mempertinggi kecurigaan
militer bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara partai-partai Islam
dengan pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan, menurut pihak
militer adalah bahwa yang pertama memperjuangkan negara Islam dengan
jalan legal, sedangkan yang kedua dengan kekuatan illegal.
Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya
cita-cita partai Islam ini dilakukan secara demokratis. Jadi tentu
berbeda dengan gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo,
gerakan ini menggunakan kekerasan dan mementingkan simbol-simbol,
seperti nama Darul Islam, istilah Imam untuk Kepala negara dan lain
sebagainya, Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam
kasus ini gerakan Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan
pemikiran substansi tujuannya karena terburu menggunakan kekerasan.
Peristiwa ini sedikit banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian
kalangan bangsa kita dalam merespon hubungan Islam dan negara, yang
kemudian berdampak negatif pula terhadap cita-cita dan perjuangan
partai-partai Islam selama ini.
Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan
kedudukan partai Masyumi dan umat Islam secara umum. Padahal dalam
kasus DI ini secara perlahan-lahan juga ditunggangi oleh golongan yang
tidak bersimpati terhadap RI, di antaranya orang-orang Belanda seperti
Jungschlager, Schmidt, dan Van Kleef. Selain itu masalah pemberontakan
PRRI/Permesta (1958-1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita Islam
sehingga membuat partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak
orang Kristen yang terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang
Parkindo dan komandan daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong
pemberontakan ini.
Posisi Islam semakin mengkhawatirkan ketika Soekarno membubarkan partai
Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan
regional berideologi Islam. Dalam usaha menyeimbangkan kekuatan-kekuatan
ideologis antara Islam, nasionalisme, dan komunisme Soekarno tidak
hanya menganjurkan konsep Pancasila, melainkan juga sebuah konsep
NASAKOM, yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan ideologis
yang labil pada awal tahun 1960-an karena masing-masing kepentingan
politisnya jelas saling berlawanan.
Demikian pembahasan asal-usul perdebatan Islam dan negara di Indonesia.
Semoga prawacana ini akan lebih memudahkan kita dalam memahami bab-bab
berikutnya.
B. Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara.
Islam di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari dinamika pemikiran dan
gerakan pembaharuan, di antaranya dipengaruhi ide-ide pembaharuan Abduh
yang dianggap rasional-liberal, dan kemudian di Indonesia berpadu dengan
faham Wahabiyyah yang skriptural-formal. Di sisi lain, masih terdapat
kuatnya madzhab yang dilestarikan oleh para kyai melalui pesantren,
yang dianggap sebagai basis kelompok tradisionalis Islam. Dengan adanya
dialektika modernis versus tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan
pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh, penyusun ingin mempertegas antara Islam dan
pemikiran Islam. Menurut Moslem Abdurrahman “Islam” adalah wahyu,
sedangkan “pemikiran Islam” adalah kebenaran subjektif yang dihasilkan
dari penangkapan seseorang terhadap pesan obyektif Tuhan. Sebagai
kebenaran subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai dengan
konteks dan perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap pesan
Tuhan. Oleh sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus
diletakkan pada kerangka Ijtiha>d.
Suatu hal yang wajar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia wacana
relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik dan debat yang
tajam karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam
memahami teks Tuhan.
Pada tahun 1940-an sampai 1990-an sering terjadi perdebatan hangat
mengenai masalah tersebut, Seperti yang penyusun bahas sebelumnya.
Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan titik temunya, yaitu dalam
konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir sehari setelah
kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang
konstituante kandas di tengah jalan karena dipotong oleh Soekarno
melalui Dekrit 1959. Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan
Orde Baru, yang sengaja menutupi kemungkinan-kemungkinan pembicaraan
mengenai persoalan tersebut.
Diawali perdebatan antara Natsir dan Soekarno, akhirnya Islam mencari
jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan cara yang bisa
dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya dirasakan tapi juga
diakui. Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini telah menempatkan
Islam dalam posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh
implikasinya.
Akhirnya, situasi inilah yang mendorong pemikir Islam Indonesia
generasi kedua (sejak tahun 1970-an), yang kemudian sering disebut
sebagai kelompok “Islam kultural”. Dalam pandangan ini Islam politik
merupakan sesuatu yang sulit untuk dijual karena trauma politik yang
membekas para aktivis politik saat itu, baik dari pihak Islam politik
maupun negara. Untuk itu generasi kedua ini tidak menginginkan Islam
dijadikan sebuah ideologi, dengan memfokuskan pada bidang garapan
“transformasi sosial” yang disesuaikan dengan kebutuhan tertentu. Di
antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid yang mengemukakan
desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan Pribumisasi Islam,
Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan melalui pesantren;
dan Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat Islam dalam
konteks Indonesia.
Sebenarnya kalau dilihat dari aspek politik, aktivitas Islam kultural
dan Islam politik mempunyai persamaan, karena kalangan inilah yang
meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis, dengan
menonjolkan aspek-aspek keadilan, musyawarah, dan egalitarianisme yang
disesuaikan dengan spirit Islam. Lebih spesifik dalam pembahasan ini,
Munawir Sjadzali mengklasifikasikan relasi Islam dan negara menjadi tiga
kategori.
Pertama, aliran konservatif, yang berpendapat Islam adalah agama yang
sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan
bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di
antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua,
aliran modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem
negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan
bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga, aliran
sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran
ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama
aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein
Akan tetapi dalam tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada kategori
kedua, yakni aliran Modernis, yang kemudian penyusun klasifikasikan
kembali menjadi dua aliran: modernis dan neo-modernis. Pemetaan ini
didasarkan pada analisa pemikiran yang telah bekembang, bahwa pemikiran
politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari hubungan dialektis
antara aliran tradisionalis dan modernis, yang akhirnya melahirkan
neo-modernisme tersebut.
Dalam pandangan politik Islam, kelompok modernis biasanya menggunakan
pendekatan struktural yang dapat juga disebut sebagai kaum idealis,
sementara kelompok neo-modernis menggunakan pendekatan kultural yang
biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.
1. Perspektif Modernisme.
Pemikiran modernisme Islam sudah dimulai sejak abad ke 20-an sebelum
Indonesia merdeka. Pada tahun 1912 didirikan sarekat Islam, yakni sebuah
organisasi politik Islam modern pertama kali di Indonesia yang
didasarkan pada sebuah prinsip antipenjajahan. Di bawah pengaruh
modernisme Islam, nilai-nilai demokrasi menjadi suatu yang lazim di
kalangan intelektual muslim prakemerdekaan.
Menurut Mukti Ali, munculnya Modernisme karena didorong kesadaran akan
kemunduran umat Islam yang disebabkan telah meninggalkan sumber ajaran
al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu kalangan modernisme seringkali
menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah secara
murni”. Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan
modernisme mengagendakan sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam”
bahwa Islam adalah agama yang Ka>ffah.
Dalam konteks pembahasan, perspektif ini dihadapkan penyusun pada
pemikiran M. Natsir. Tokoh ini dikategorikan dalam perspektif modernis
karena gagasannya yang rasional-fundamental, penulis katakan
rasional-fundamental karena satu sisi Natsir mengakui bahwa di dalam
Islam juga mengandung unsur-unsur demokrasi, dalam artian demokrasi
adalah sistem pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat atau dari rakyat
oleh rakyat untuk rakyat, sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras
meletakkan Islam sebagai dasar negara, dengan tujuan supaya ajaran
Islam bisa laksanakan secara utuh dan konsekuen dalam kehidupan
bernegara.
Ide-ide pemikiran modernisme tentang Islam dan negara cenderung
bercirikan konservatif, liberal dan demokratis sosial. Di Indonesia
sendiri menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari kalangan
modernisme adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”,
sedangkan dalam pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik
mempunyai dua corak, pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan
bentuk negara Islam dan berlakunya undang-undang Islam; kedua,
“substansialis”-kelompok ini lebih mengedepankan pada isi daripada
bentuk.
Untuk memperjelas pada pembahasan lebih lanjut, perlu penyusun tegaskan
bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran pemikiran yang
selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap menerima sistem
Barat asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebenarnya
secara genetik kelompok ini sudah ada sebelum Orde Baru lahir, yaitu
Masyumi dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang
sama dalam memandang konsep negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam
dan negara mempunyai hubungan integral, tetapi bukan berarti menolak
sistem Barat secara totalitas. Karena menurut M. Natsir sendiri Islam
memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna, maka dari
itu apabila negara Islam nanti didirikan boleh mengadopsi sistem Barat
asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Pada intinya aliran modernisme semacam ini mendukung negara Islam secara
ideologis, karena baginya secara tekstual, al-Qur’an dan Sunnah telah
menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di zamannya.
Selain itu, masih ada alasan-alasan lain yang akan dibahas dalam bab
selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M. Natsir ingin menjadikan
Indonesia sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun
bahas dalam bab selanjutnya.
2. Perspektif Neo-Modernisme.
Pola pemikiran neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur Rahman,
menurutnya meskipun di era modern pemikiran modernisme memberikan
sumbangan positif terhadap kebangkitan Islam, tetapi aliran ini masih
menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya adalah kurangnya
metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, dan terlalu apriori
terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.
Lebih lanjut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi
lama akan menimbulkan jump to conslusion (kesimpulan yang melompat),
artinya mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar belakangnya,
dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme
Islam bahwa kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual
impoverisment (pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya
seringkali terjebak pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat.
Oleh sebab itu kaum neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik
berikut ini, sebagai prinsip pengembangan pemikirannya. Yaitu:
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Neo-Modernisme adalah aliran pemikiran yang melakukan usaha-usaha
untuk menemukan titik temu antara kaum Islam tradisionalis dengan kaum
Islam modernis. Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam
dimulai sejak tahun 1970-an, sebagai pemikiran generasi kedua setelah
modernisme yang mengarah pada Islam politik, kemudian pada tahun 1980-an
generasi kedua ini dikenal dengan sebutan Islam kultural.
Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol dari aliran neo
modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan pemikiran progresif
yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan
pembangunan. Kedua, aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme
yang menganggap Barat sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis
justru membela ide-ide liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi
bahwa Islam juga mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat
seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme
Islam mengarfimasi semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh
mendirikan negara Islam. Keempat, neo-modernisme sangat mengedepankan
pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, khususnya dalam
merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme selalu berijtihad
dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran Islam tradisional
dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial dan humoniora.
Banyak penulis yang mengkategorikan tokoh-tokoh muslim Indonesia,
seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan
Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini, di antaranya. Dalam pembahasan
ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun hadapkan dengan
pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis yang latar belakang
sosialnya berasal dari golongan tradisionalis, meskipun Abdurrahman
Wahid sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tahun
1990-an, tetapi dia tergolong akomodasionis terhadap sistem sosial yang
berlaku di Indonesia.
Dalam memandang relasi Islam dan negara, kalangan ini lebih suka
menggunakan pendekatan kultural, yakni dengan memerankan Islam sebagai
“faktor komplementer” untuk mengembangkan sosio-ekonomi, politik, dan
moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis yang paling utama
mendukung pendekatan kultural ini adalah Nurcholis Madjid dan
Abdurrahman Wahid, meskipun mereka tidak sepenuhnya sama dalam
berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara historis ekspresi
Islam ideologis tidak pernah berhasil.
Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam di Indonesia
dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka fungsinya bisa
terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik
melainkan konflik horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa, hal yang
senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah sebuah
ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan
agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.
Meskipun demikian, bukan berarti pemikir neo-modernisme ini mengabaikan
aspek agama dalam politik, karena dalam pemikirannya selalu
mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat dalam pemikiran
Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan pemerintah
harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam
kaidah fiqihnya “Tas}araf al Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah”
(kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti kesejahteraan rakyat)”.
Pokok pikiran kedua aliran ini, baik modernisme maupun neo-modernisme
dalam memandang agama dan negara sudah tentu berbeda, karena secara
teoritis dalam konteks agama dan negara kedua pemikiran tersebut memang
terbagi dua, yakni idealistik dan realistik. Dalam kerangka pemikiran
idealistik dirumuskan sebuah sistem negara yang sepenuhnya berdasarkan
wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian menggunakan Islam sebagai
“tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun kategorikan dalam
“kelompok modernis”. Sementara pemikiran realistik lebih tertarik
menempatkan Islam sebagai “faktor komplementer”, yang menekankan pada
substansi bukan sebuah bentuk formal, dan kemudian penyusun
kategorikan sebagai kelompok neo-modernisme.
Sebenarnya kedua kelompok di atas sama-sama menyadari bahwa di dalam
al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak ada yang menyatakan untuk
mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi politiknya
masing-masing berbeda. Kelompok modernis lebih suka menggunakan
pendekatan Islam politik dalam kehidupan bernegara, karena untuk
memberlakukan syari’ah pasti membutuhkan kekuatan politik dan yang
memiliki kekuatan itu adalah negara, sedangkan negara dalam pandangan
mereka adalah penjaga syari’ah. Sementara generasi kedua,
neo-modernisme tidak tertarik dengan pendekatan Islam politik tetapi
lebih pada Islam kultural, yang menempatkan syari’ah sebagai tata nilai
masyarkat dalam kehidupan bernegara, karena pada dasarnya agama adalah
urusan pribadi yang tidak bisa diintervensi siapapun.
Dari uraian di atas, bisa dimengerti mengapa persoalan agama dan negara
di Indonesia selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan intelektual
muslim kita. Ini tidak lain karena pengaruh geneologi pemikiran yang
melatarbelakangi keduanya, baik itu faktor organisasi ataupun studi yang
dijalaninya.
BAB III
POKOK-POKOK PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
Sketsa Biografi M. Natsir
1. Latar Belakang Sosial Politik
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nama M. Natsir tidak pernah luput
dari pembahasan. Selain seorang tokoh yang gigih memperjuangkan
cita-cita Islam, dia juga dikenal sebagai bapak pemersatu bangsa karena
mosi yang dilontarkannya dalam Sidang Parlemen RIS 3 April 1950, yang
kemudian dikenal dengan Mosi Integral Nastir. M. Natsir berasal dari
Sumatera Barat, daerah yang memang banyak memunculkan tokoh-tokoh
pembaharu nasional, baik dalam bidang politik, pendidikan, maupun
keagamaan. Diantaranya: Imam Bonjol, HAMKA, Haji Agus Salim, Muhammad
Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Secara tidak langsung, masyarakat Minangkabau telah akrab dengan dunia
politik, budaya dan agama. Hal ini bisa dilihat dari masyarakatnya
sendiri yang terdiri dari sejumlah republik (negeri-negeri), dan
dibentuk sesuai tradisi kepala kelompok suku keluarga yang didasarkan
pada suatu sistem Matriarchat. Di sisi lain adat-istiadat, suku juga
sangat dipertahankan, terutama oleh golongan adat atau kaum
tradisionalis.
Akibat tradisi keagamaan yang berlangsung di daerah itu, melahirkan para
gerakan pembaharu Islam, mereka adalah ulama muda yang dipengaruhi oleh
gerakan Wahabi di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir.
Bahkkan di antara mereka itu ada yang berguru secara langsung kepada
tokoh-tokoh Wahabi, dan dipengaruhi kuat dengan gagasan-gagasannya M.
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh. Salah satu tuntutan gerakan ini adalah
pemurnian ajaran Islam (purifikasi).
Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharuan Islam ini
disebabkan beredarnya buku yang mengecam ulama dengan melarang berdiri
waktu membaca “Maulid Nabi” (waktu Marh}aban) dan melafalkan Us}alli
ketika niat sholat. Deliar Noer menambahkan, selain dua masalah di atas
Syeikh Ahmad Khatib selaku penulis buku tersebut, juga menentang keras
praktik T{ariqah Naqsabandiyyah dan peraturan-peraturan adat tentang
warisan. Padahal kedua praktik itu telah menjadi tradisi masyarakat
setempat.
Gerakan pembaharuan ini, menurut penyusun membawa implikasi besar dalam
kehidupan masyarakat. Pertama, gerakan ini menimbulkan reaksi keras dari
kalangan tradisionalis dan Kepala suku. Akibatnya masyarakat
terpolarisasi menjadi kaum adat dan puritan. Kedua, gerakan ini membawa
perubahan-perubahan positif bagi kehidupan keagamaan masyarakat
Minangkabau, sehingga mengkondisikan lahirnya institusi keagamaan.
Seperti yang di tulis Mahmud Yunus bahwa ada sisi positif dari
dealektika dikotomi di atas, antara lain:
“Dari kalangan pembaharu melahirkan Sumatera Thawalib, majalah al-Munir,
al-Bayan, al-Imam al-Basyir dan al-Ittiqan, sedangkan dari kalangan
tradisional ada Tarbiyah Islamiyah dan majalah al-Mizan. Kedua golongan
itu juga berlomba-lomba menyelidiki, membahas, mendalami ilmu-ilmu
agama, dan mencari dalil untuk memperkuat fakta masing-masing, akibatnya
ilmu agama semakin berkembang di Minangkabau dan melahirkan banyak
madrasah agama.”
M. Natsir lahir pada tgl 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan
tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten
Solok. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Idris Sutan Saripado Dan
Khadijah, pola pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dengan kondisi
sosiologis di mana ia tumbuh, yakni saat masyarakat Minangkabau
bersemangat bangkit melawan politik kolonial dan mengadakan perubahan
doktrin keagamaan.
Pendidikan formalnya ditempuh di HIS (Holland Inlandische School)
Adabiyah dan Madrasah Diniyah Solok pada tahun 1916-1923. setelah lulus
dari HIS ia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgerbreid Lager Onderswij)
Padang. M. Natsir mulai terlibat organisasi sejak di MULO, awalnya ia
masuk Jong Sumatranen Bond di Padang, dan kemudian beralih ke Jong
Islameten Bond (JIB), kedua organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi
Pane. Pada Juli 1927 ia tamat dari MULO dan melanjutkan ke AMS
(Algemene Middelbare School) dengan jurusan sastra Barat (Eropa) klasik
di Bandung.
Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, M. Natsir tampak menguasai
bahasa-bahasa Eropa tersebut, dengan demikian bisa dipastikan kalau ia
tidak banyak mengalami kesulitan dalam memahami karya-karya bangsa
Eropa, di antaranya sejarah, filsafat, sastra, politik dan orientalisme.
Selain itu, M. Natsir sendiri mengakui bahwa bahasa-bahasa Eropa;
Belanda, Inggris dan sebagainya memang banyak membantu kecerdasan bangsa
Indonesia.
Namun demikian, ia juga memiliki kepedulian khusus terhadap karya-karya klasik ulama Islam yang berbahasa Arab. Baginya bahasa Arab bukanlah bahasa agama semata, bukan satu dialek atau salah satu bahasa wilayah, malainkan suatu bahasa dunia yang merupakan kunci dari berbagai pengetahuan yang kaya raya untuk mengungkapkan suatu pengertian, dari yang mudah sampai yang sesulit-sulitnya atau dari yang bersifat Maddah (konkrit ) sampai yang bersifat Ma'nawi (abstrak), oleh sebab itu baginya bahasa Arab lebih kaya dari bahasa Eropa manapun juga.
Melalui bahasa arab tersebut, tidak heran juga kalau M. Natsir sangat tertarik dengan karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Di samping itu ia juga tertarik dengan pemikiran-pemikiran keagamaan para tokoh modernis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Syed Amir Ali di Asia Selatan.
Pada dasarnya M. Natsir telah mengenal ajaran-ajaran Islam yang bercorak
pembaharuan sejak usia muda, hal ini bisa dilihat dari pengaruh
gurunya, Tuanku Mudo Amid, seorang pengikut gerakan pembaharuan Islam
yang juga merupakan kawan dekat Haji Rasul yakni seorang tokoh
pembaharu pemikiran di Minangkabau. Selain itu, M. Natsir mengikuti
pelajaran-pelajaran yang diberikan Haji Abdullah Ahmad secara teratur,
seorang tokoh pembaharu di Padang.
Pemikiran Natsir semakin berkembang ketika ia belajar pada tokoh utama
Persis (Persatuan Islam) di Bandung , Ahmad Hassan, salah seorang
pendiri organisasi Persis, selain Ahmad Hassan ada juga Haji Zamzam dan
Haji Muhammad Yunus yang ikut mendirikan organisasi tersebut, tanpa
bermaksud memperkecil peranan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus
sebagai pelopor pendiri Persis, namun organisasi ini memang baru
terlihat karakternya sebagai kubu gerakan muslim modernis pada waktu
dipimpin oleh Ahmad Hassan.
Menurut M. Natsir ada dua alasan mengapa ia tertarik berguru pada Ahmad
Hassan. Pertama, Hassan sangat menguasai berbagai ajaran Islam, hal ini
terlihat bagaimana Hassan mampu menghadapi persoalan masyarakat muslim
yang berkembang saat itu. Kedua, pendekatan Hassan terhadap kajian Islam
sangatlah menarik bagi generasi muda muslim karena cara yang digunakan
sangat berbeda dengan para ulama lainnya.
Selain pengaruh dari tokoh-tokoh di atas, kondisi sosial masyarakat
Minangkabau juga ikut mempengaruhi corak pemikiran M. Natsir. Karena
pada masa kecil, ia telah menyaksikan pertentangan antara kaum adat dan
agamawan di daerahnya. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan kalau
pandangan Natsir tentang keagamaan nanti sedikit banyak terpengaruh
dengan fenomena yang ia lihat sewaktu kecil, yaitu pertentangan antara
kaum adat dengan kaum muslim puritan, yang kemudian ikut membentuk
pemikirannya dalam menentang paham sekulerisme.
Pola pemikiran politik Natsir mulai terlihat khas ketika ia berdomisili
di Bandung, di mana ia banyak terlibat dalam organisasi, di antaranya
Jong Islamieten Bond (the Association of Muslim Youth) dan Persis (The
Unity of Islam). JIB berdiri pada tanggal 1 Januari 1925, organisasi ini
merupakan perkumpulan generasi muda muslim yang didirikan di Jakarta
dan kemudian membuka cabang di daerah-daerah. Pada tahun 1929 M. Natsir
menjadi anggota JIB cabang Bandung. Dan kemudian ia mengajar Islam di
Hollands Inlandse Kweekkschool (HIK) atau sekolah guru dan MULO di kota
ini juga.
Namun demikian, pengaruh Persis terhadap dirinya lebih dominan ketimbang
JIB. Karena dalam Persis M. Natsir merasa lebih banyak mendapatkan
teman yang dapat memecahkan masalah yang sedang berkembang dalam
pemikirannya, khususnya dalam bidang politik dan agama. M. Natsir
mempunyai hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh Persis, apalagi ia juga
sangat tekun dalam mengikuti kelas khusus yang memang diperuntukkan
anggota muda Persis oleh Hassan, terutama yang sedang belajar di sekolah
menengah Belanda.
Ditambah lagi, adanya majalah Persis Pembela Islam yang memberinya
kesempatan untuk menuangkan pendapat-pendapatnya dalam bentuk tulisan,
selain itu yang menarik bagi Natsir adalah perhatian besarnya Persis
pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh dan publikasi. Yang semuanya
itu mengantarkannya sebagai pejuang, negarawan, dan agamawan di negara
Republik Indonesia ini. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Persis
merupakan wahana awal yang menjadikannya sebagai tokoh nasional, karena
melalui kegiatan yang dipelopori Persis seperti tablig, penerbitan
majalah, buku, dan pendidikan itulah ia berkesempatan terjun langsung
sebagai juru bicara, pendidik, dan team redaksi Pembela Islam.
Selain pengalaman organisasi di atas, secara akademis ia juga terlihat
lebih serius dalam mempelajari ilmu pengetahuan Barat di AMS Bandung
daripada sebelumnya, di sekolahan ini ia telah banyak mempelajari
berbagai aspek sejarah peradaban Islam, Romawi, dan Yunani dengan
menggunakan literatur yang berbahasa Arab, Prancis dan Latin.
Jadi bisa dikatakan bahwa dalam usia yang relatif muda (21 tahun) Natsir
telah menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris, Prancis, dan
Latin), dengan demikian tidak heran apabila ia dengan mudah menjelajahi
dunia intelektual. Melihat kecerdasan yang dimiliki Natsir, Pemerintah
Belanda sempat menawarkan sebuah beasiswa untuk mengantarkannya ke
Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam
Belanda, tetapi ia menolak tawaran beasiswa tersebut karena
kecintaannya terhadap studi keislaman saat itu.
Kesadaran Natsir untuk menentang sistem kolonial Belanda, mulai terlihat
saat ia mengkritik pandangan guru Belandanya yang menganggap bahwa
sistem kerja kolonial di pabrik-pabrik gula di Jawa telah banyak memberi
keuntungan kepada petani. Menurut M. Natsir yang mendapat keuntungan
bukanlah petani melainkan para pemilik modal dan bupati yang memaksa
rakyatnya untuk menyewakan tanah mereka dengan sewa rendah. Dan justru
sistem inilah menurutnya yang membuat petani semakin menderita karena
tidak pernah bebas dari beban-beban hutang.
Inilah awal perlawanan Natsir terhadap kolonial Belanda, ia mulai
berontak akan penindasan yang dilakukan Belanda atas bangsanya. Dari
peristiwa tersebut, ia terdorong untuk mempelajari politik lebih dalam,
ia sadar bahwa untuk melawan tirani kolonialisme sangat ditentukan oleh
perjuangan politik rakyat. Oleh sebab itu bisa dimungkinkan bahwa
pemikiran politik Natsir pasca kemerdekaan juga dipengaruhi atas
perjuangan politiknya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini
melawan bangsa kolonial.
Sedangkan Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita politik
keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap kalangan
nasionalis netral agama atau yang biasa dikenal dengan sebutan kalangan
sekuler, yang dipelopori oleh PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno,
Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain. Organisasi ini berbasiskan anggota
di Bandung, tempat di mana Natsir mengembangkan pemikiran politik dan
agamanya. Sebagai aktivis Persis yang bermukim di kota tersebut, M.
Natsir tertarik dan seringkali mengujungi propoganda PNI yang
dikampanyekan Soekarno, hanya saja ia tidak suka ketika kampanye PNI
merendahkan aturan-aturan agama.
Perbedaan ideologi politik itulah, yang kemudian berdampak keras di antara keduanya dalam menentukan bentuk dan dasar negara, setelah kemerdekaan Indonesia ini tercapai. Dan selanjutnya, yang perlu dicermati setelah kondisi di atas adalah keterlibatan Natsir dalam mendirikan partai Islam di Indonesia yaitu Masyumi. Partai ini didirikan pada tanggal 7 November 1945 dalam kondisi revolusi yang bergolak untuk melawan tentara kolonial yang hendak kembali lagi ke Indonesia.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, ide pembentukan partai ini datang dari
sejumlah tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia
yang telah aktif sejak zaman Belanda. Di antaranya adalah Haji Agus
Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir,
Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wiryosajoyo, Ki Bagus
Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.
M. Natsir sendiri pernah memimpin partai ini selama beberapa periode,
dalam pidatonya yang disampaikan pada hari jadinya Masyumi yang
kesebelas (7 november 1956), ia menyampaikan bahwa Masyumi didirikan
atas hasrat umat Islam yang diwakili oleh para tokoh Ulama dan Zuama
dari seluruh kepulauan Indonesia di ibukota Republik Indonesia,
Yogyakarta.
Dalam organisasi partai tersebut, pada tahun 1945, M. Natsir masih menjadi anggota, selanjutnya pada tahun 1945 ia dipilih sebagi ketua sampai lima kali berturut-turut dari tahun 1951, 1952, 1954, dan 1956. Masyumi merupakan partai Islam yang asalnya terdiri dari empat macam-macam organisasi masyarakat yang bernafaskan Islam, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.
Namun demikian, pada bulan April 1952 Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Masyarakat terbesar di nusantara ini, yang sekaligus menjadi salah satu anggota Partai Masyumi sebelumnya, akhirnya memisahkan diri dari pengungkapan partai tersebut dan kemudian mendirikan partai politik sendiri.
2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.
Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa
Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam
konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah
pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa
bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.
Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada
dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung
falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau
Komunisme. Dengan berdasarkan H{ujjah nas} al-Qur’a>n yang
dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara,
Natsir menyebutkan :
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات:٥٦)
Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia
ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar
mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.
Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni :
Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan
kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya
aturan-aturan yang berhubungan dengan sesama manusia, yang kemudian di
antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk
itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan
hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang, yang saat ini
diistilahkan dengan urusan kenegaraan.
Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad
Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor sosial
politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan
ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua,
faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya
melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran
Soekarno yang cenderung sekuler.
Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu, wacana tersebut
juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena isu tentang
sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara agama dan
negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran
Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di
Turki, dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan
Indonesia seperti Pakistan yang telah menjadi Republik Islam, meskipun
dengan cara memperkenalkan Pancasila yang sebelumnya ia tentang
sendiri.
Di samping itu, banyaknya ide pembaharuan dari tokoh-tokoh Indonesia dan
Timur Tengah yang melekat dalam jiwa Natsir, juga telah ikut
mempengaruhi pemikirannya dalam menggagas kenegaraan dalam Islam.
Khususnya dalam menyumbangkan pemikirannya tentang bentuk negara
Indonesia yang ideal menurut Islam, Padahal saat itu Indonesia belum
merdeka.
M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang Pleno
Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara Indonesia
hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La>
diniyyah) dan paham agama (Dini>). Dari pernyataan tegas Natsir
tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir telah memberikan dua pilihan
tersebut sebagai respon atas menguatnya dualisme pemikiran Islam saat
itu antara yang menginginkan dasar negara Islam dan sekular.
Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam membentuk masyarakat
ke depan, karena paham ini akan menagakibatkan manusia kehilangan
pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni gampang terserang penyakit
syaraf dan rohani, seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa konsep
tentang Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan masyarakat
sendiri, bukan oleh Wahyu.
Sebagaimana yang ia katakan bahwa ajaran sekulerisme, selalu memandang
remeh kehidupan agama, karena “menurunkan nilai-nilai hidup manusia dari
taraf kehidupan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata”.
Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menggerakkan
fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara. Selain itu berdasarkan atas alasan bahwa secara
sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dan masyarakat
muslimlah yang mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah dari bumi
nusantara ini, di samping itu baginya ajaran Islam mempunyai sifat yang
sempurna bagi kehidupan negara dalam menjamin keragaman hidup antar
berbagai golongan.
Adapun Thohir Luth, memandang bahwa alasan Natsir bersama-sama
partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam sebagai dasar negara
karena tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis, yakni mayoritas
masyarakat Indonesia adalah muslim. Kedua, adanya fakta normatif yang
jauh sebelum Pancasila lahir, umat Islam di Indonesia telah menjadikan
dan mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Ketiga, adanya
komitmen yang sangat kuat tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini
terbukti dalam pernyataannya yang memperjuangkan Islam sebagai pedoman
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, kata
Natsir, maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more than a
religious system, it is a complete civilization, Islam itu lebih dari
sebuah sistem peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan yang lengkap
dan sempurna. Artinya Islam tidak hanya membicarakan persoalan
keakhiratan unsich, melainkan juga masalah keduniawiaan, seperti masalah
sosial politik, hukum dan pendidikan.
Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama
yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam
muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut garis yang telah ditetapkan
oleh Islam. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama.
Watak holistik Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain,
dan ketiga, kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat
Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam dijadikan
ideologi bangsa Indonesia.
Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa ketika Mohammad
Natsir berbicara tentang kelebihan agama, mengemukakan dua premis
pokok. Pertama, agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada pemeluknya
untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran; sedangkan dalam filsafat
hanya mengakui tiga dasar berpikir tidak mengakui adanya wahyu, yaitu
empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan agama
meliputi seluruh aspek kehidupan.
Dari pandangan-pandangan tokoh dan pendapat Natsir sendiri, yang
menyebutkan alasan historis sosiologis di atas; mayoritas penduduk
Indonesia adalah beragama Islam, maka sangat ironis jika agama Islam
menjadi minoritas di negara ini. oleh sebab, itu untuk memperkuat ajaran
Islam dalam jiwa masyarakat muslim Indonesia, Islam perlu dijadikan
dasar negara. apalagi dalam sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk
di Indonesia telah menjadi salah satu sumber kekuatan politik di
nusantara ini, ini terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam
yang hampir semuanya menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan
tersebut.
Menarik untuk dicermati kembali isi pidato Natsir, yang terkesan tidak
konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia berpendapat bahwa sudah
sewajarnya Islam dijadikan dasar negara karena secara sosiologis umat
Islam di Indonesia memang mayoritas jumlahnya, sedangkan dalam
kesempatan lain ia menyatakan:
“bukan semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di kalangan
rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan Islam sebagai dasar negara
kita, tetapi berdasarkan pada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam
yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai
sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta
dapat menjamin hidup keagaman atas saling harga menghargai antara
berbagai golongan di dalam negara ini”.
Dengan usaha meyakinkan pada seluruh lapisan bangsa Indonesia, M.
Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau pun besar tidak akan
melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi”.
Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, bahwa
pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi tentang maksud
suatu negara akan bersifat Islam bukan berarti secara formal harus
dinamakan negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tetapi negara disusun
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, baik dalam teori maupun praktiknya.
Dan mengenai dasar negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam
klausul-klausul yang bersifat umum sepanjang mencerminkan
kehendak-kehendak Islam.
Untuk menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir tidak perlu memberi
definisi panjang karena malah tidak akan menjelaskan pengertian apa-apa
tentang negara ini, apalagi sudah terdapat banyak pandangan tokoh yang
berlainan dalam hal ini di antaranya, Ibnu Khaldun, Machiavely, Hegel,
Marx, Adam Smith, Robert Owen, Plato, Agustinus, Hobbes, Rosseau dan
lain sebagainya.
Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas
dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau
organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat
material, peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh umum.
Lebih dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu dinamakan institusi apabila :
a. Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani maupun rohani.
b. Diakui oleh masyarakat.
c. Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan.
d. Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu.
e. Berdasarkan atas paham hidup.
f. Mempunyai keanggotaan.
g. Mempunyai daerah berlakunya.
h. Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.
i. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-normanya.
.
Maka negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus mempunyai: a)
wilayah. b) Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan. E) Undang-undang
Dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis.
Melihat dari karakteristik yang disampaikan Natsir di atas, maka bisa
dikatakan bahwa konsep negara yang dinyatakan termasuk syarat-syarat
negara modern.
Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan
pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat
manusia yang tidak berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia,
baik itu manusia zaman unta, manusia zaman kapal terbang dan lain
sebagainya.
Mengenai bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai
dasar negara republik ini, karena ia berpandangan bahwa negara bisa
menjadi alat yang kokoh bagi berlakunya hukum-hukum Islam. Dengan
demikian negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni
mewujudkan ajaran-ajaran Islam.
Sebagaimana di atas, Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan
akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan aturan-aturan
Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia menyebutkan bahwa di
antara aturan-aturan tersebut yaitu kewajiban belajar, kewajiban zakat,
pemberantasan perzinaan dan lain-lain. Menurutnya negara di sini
berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya
undang-undang Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia
sendiri,(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat”.
Menanggapi statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang menyuruh dan
mendirikan negara sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno, bahwa tidak
ada ijma‘ ulama yang memerintahkan membentuk negara dibantah oleh
Natsir, menurutnya pengutipan ijma‘ oleh Soekarno tentang masalah ini
hanya mempersulit persoalan.
Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara nerupakan
keharusan di dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan negara tidak
perlu disuruh Rasulullah lagi, eksistensi negara telah ada sebelum dan
sesudah Islam, Jadi dengan Islam atau tidak tetap saja merupakan sebuah
negara.
Melihat pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di atas,
menimbulkan kesan bahwa Natsir selama perjuangannya adalah anti
Pancasila, padahal dalam pidatonya di depan Pakistan Institute of World
Affairs pada 1952, sikapnya yang anti Pancasila berubah. Ia menyatakan
bahwa:
Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena telah
menyatakan Islam sebagai agama negara, begitu pula Indonesia, menurutnya
negara ini juga negeri Islam, karena kenyataannya negara ini diakui
sebagai agama rakyat, meskipun dalam konstitusi kami tidak dinyatakan
tegas sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama
dari sistem kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief)
telah ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang
berfungsi sebagai dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara kita.
Dalam tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang dengan doktrin al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan:
“Pancasila adalah formulasi lima cita-cita kebaikan sebagai hasil dari
konsensus para pemimpin kita pada tahap perjuangan sembilan tahun yang
lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan tidaklah bertentangan dengan
al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki oleh sesuatu yang tidak sesuai
dengan al-Qur’an. Dalam pandangan umat Islam, rumusan Pancasila tidak
memperlihatkan sesuatu yang asing dalam ajaran al-Qur’an, dan meskipun
tidak identik dengan Islam itu sendiri, Pancasila telah mencakup
cita-cita islam.
Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila adalah manifestasi dari maksud
dan cita-cita tentang kebaikan dimana kita akan melakukan setiap usaha
untuk meletakannya ke dalam praktik negara kita.
Namun kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan pendiriaannya,
pada 1957 di sidang konstituante ia kembali menolak Pancasila sebagai
dasar negara, karena ideologi ini dianggap sebagai hasil ciptaan manusia
dan tergolong sekuler. Dalan hal ini Syafi’i Ma’arif memandang bahwa
mungkin Natsir mengambil sikap keras dalam majelis karena telah terjadi
pengaburan interprestai Pancasila yang dibuat-buat oleh masyarakat
kita.
Bahkan dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan ia menyatakan
bahwa sidang konstituante adalah forum tempat mengemukakan pendapat dan
pikiran anggota secara lurus, jujur, dan mencerminkan pemikiran yang
hidup di masyarakat. Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa kesempatan
inilah yang tepat untuk menolak Pancasila .
Menurut Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa penerimaan
Natsir terhadap Pancasila selama 12 tahun sebagai dasar dan ideologi
negara sekedar “di bibir saja”, karena dalam majelis tersebut, ia
sepenuhnya menolak Pancasila , dan bahkan mengusulkan Islam sebagai
dasar dan ideologi negara.
Dan lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di atas, dengan
mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang majelis,
memperlihatkan sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila dengan
menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang sepenuhnya menolak
Pancasila. Njoto kemudian mengajukan pertanyaan: Natsir yang mana yang
harus diikuti, apakah Natsir pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun
1957? Atau malah tidak kedua-duanya.
Sebagai seorang demokrat sejati Natsir harus menerima Pancasila sebagai
dasar negara, yang telah diberlakukan sejak 1945 sampai tejadinya
perdebatan ideologis di majelis konstituante 1957. Namun perlu diketahui
bahwa apa yang dilakukan Natsir dalam sidang konstituante tersebut
secara konstitusional adalah sah, karena pada saat itu majelis belum
menetapkan dasar negara baru yang permanen. Dan sebagaimana tokoh
politik yang lain, Natsir sebagai representasi dari pihak muslim berhak
mengajukan Islam sebagai dasar negara melawan pendukung Pancasila dalam
momen itu.
Perubahan sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut
Deliar Noer dipicu oleh tiga alasan. Pertama, majelis konstituante
merupakan forum tertinggi bagi para anggotanya untuk mengusulkan
ideologi negara yang mereka yakini dan cocok untuk negara Indonesia.
Kedua, dalam majelis, Natsir dan teman-temanya memikul tanggung jawab
agama dan politik dalam memperjuangkan aspirasi politik umat Islam,
yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana
wakil-wakil non muslim yang menjelaskan argumentasi usulan mereka,
Natsir juga menjelaskan usulannya secara argumentatif pula.
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir mengatakan
boleh saja meniru negara non Islam asalkan tidak menyalahi ajaran-ajaran
Islam, sebab dari syarat-sayarat negara yang ia sebut di atas adalah
tidak sepenuhnya sistem negara Islam. Kemudian menyinggung soal nama
penguasa negara, Natsir juga tidak bersikeras menggunakan
istilah-istilah penguasa Islam, menurutnya boleh saja bernama khalifah,
Amir al-Mu‘minin, presiden dan lain sebagainya.
Selain itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak dalam
pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non, yang terpenting adalah
seorang kepala negara tersebut sanggup bertindak bijaksana dan
menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan
kenegaraan baik dalam kaidah maupun praktiknya. Dan untuk syarat
sebagai kepala negara Islam, Natsir menilai dari sisi: agamanya, sifat
dan tabi’atnya, akhlak dan kecakapannya dalam menjalankan kekuasaan yang
diberikan kepadanya. Jadi, bukan dari bangsa dan keturunannya atau
semata-mata keintelekannya saja.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara menurut
Natsir, wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang layak diajaknya
dalam mengatur umat. Adapun untuk urusan-urusan yang di luar ketetapan
agama, semua boleh diatur menurut keadaan zaman, dengan cara-cara yang
Muna>sabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Oleh sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh sistem negara lain, dalam hal ini ia menuliskan:
Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di negara-negara
lain, kita orang Islam ada hak mencontoh negara itu selama tidak
berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang diadakan Islam.
Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopoli salah satu bangsa
atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil peraturan-peraturan
yang baik, yang tidak berlawanan dengan agama kita, dari Inggris,
Jepang, Rusia, atau dari Finlandia umpamanya.
Dengan demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan sekular, sebab
dari negara-negara yang ia sebut di atas adalah negara yang memisahkan
agama dan negara. dan lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa Natsir
menganggap Islam tidak mempunyai sistem negara yang lengkap sehingga ia
harus mencontoh Barat.
Lebih lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang sama, yakni
contoh negara-negara yang disebutkan Natsir di atas sangatlah liberal,
karena Jepang di masa itu adalah sebuah negara totaliter yang berhaluan
fasis, apalagi Rusia adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu
lanjut Yusril, sengaja ditunjukkan oleh Natsir, semata-mata ingin
memeperlihatkan bahwa doktrin politik Islam itu bersifat terbuka untuk
beradaptasi dengan sistem-sistem pemerintahan yang telah ada di dunia
ini.
Namun demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem pemerintahan
demokrasi, perlu dicermati lebih lanjut, sebab dalam pandangannya
prinsip musyawarah dalam Islam tidak selalu identik dengan azas
demokrasi, meskipun ia mengemukakan bahwa Islam anti Istiibdad
(despostisme), anti absolutisme dan kesewenang-wenangan. Bukan berarti
bahwa dalam pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada keputusan
majelis Syura, sebab Dalam parlemen negara Islam yang boleh
dimusyawarahkan hanyalah masalah tata cara pelaksanaan hukum Islam
(syari’at Islam), bukan dasar negaranya.
Dalam Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan yang
memberikan hak kepada rakyat untuk mengkritik dan membetulkan
pemerintahan yang zalim, kalau perlu menggunakan kekuatan dan kekerasan
untuk menghilangkannya.
Natsir mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi sistem kenegaraan
Islam tidaklah menggantungkan semua urusannya kepada instrumen
demokrasi, menurutnya demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang
terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari
abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan
tetapi bukan berarti ia lepas sama sekali dari pelbagai sifat-sifat
bahaya.
Dengan tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu
paham, suatu begrip sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat sendiri.
Intinya “Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam
itu…yah Islam”. Hal ini disebabkan karena politik tidaklah semata-mata
harus didasarkan kepada kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan
itu tidak dapat melampaui H{udud (batas-batas) yang telah ditetapkan
Tuhan.
Dari uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya
demokrasi dalam Islam. Namun kemudian dalam sidang konstituante 1957 ia
memperkenalkan konsep demokrasi yang ia maksudkan, “Thestic Democracy”,
yaitu demokrasi yang dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan.
Maksudnya keputusan mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai
ketuhanan, yang kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk
tempat dan zaman tertentu.
Oleh sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir di atas dapat
ditarik kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan negara tidak dapat
dipisahkan, dan secara tersurat ia mendukung Islam dijadikan ideologi
negara. kesimpulan tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa:
Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan
sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan agama dan negara.
Bagi kita kaum muslimin negara bukanlah suatu badan tersendiri yang
menjadi tujuan, melainkan sebuah alat. Persatuan tersebut bukanlah
dimaksudkan bahwa agama itu cukup dimasuk-masukkan saja di sana sini
kepada negara, bukan begitu!
Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat
dipisahkan, satu “intergreerend deel” dari Islam. Yang menjadi tujuan
adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan
dengan perikehidupan manusia sendiri (individu), ataupun sebagai
masyarakat .
Dan pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam pandangan
Natsir boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Kedua, menurutnya, hubungan agama dan negara dalam
politik Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab Islam tidak
seperti agama yang lain. Islam baginya telah menyediakan perangkat dasar
yang dapat diterapkan sesuai zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di
atas, Natsir sebagai tokoh muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam
sebagai dasar negara Indonesia.
Kemudian, Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar dalam masalah
persatuan atau pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah
sebagai ukuran” kebenaran terakhir.
Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid
1. Latar Belakang Sosial Politik
Berbeda dengan Natsir, Abdurrahman Wahid lahir dari latar belakang
kalangan tradisional, sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam
naungan keluarga ulama. Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren
Tebuireng, Jombang dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus
Syeikh Hasyim Asy’ari.
Pada saat usia kanak-kanak ia tidak seperti kebanyakan anak-anak
seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut
bersama kakeknya. Dan saat tinggal serumah dengan kakeknya itulah, ia
mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di
rumah kakeknya.
Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya harus pindah ke Jakarta,
sebab saat itu bapaknya dilantik menjadi menteri agama Republik
Indonesia. Sehingga mengharuskannya bermukim di Jakarta. Keluarga Gus
Dur tinggal di Hotel Des Indes yang sekarang menjadi pusat pertokoan
Duta Merlin. Karena kedudukan bapaknya ini pulalah, ia semakin akrab
dengan dunia politik yang ia dengar dari rekan-rekan ayahnya saat
bincang-bincang di rumahnya itu. Lagi pula, Gus Dur termasuk anak yang
sangat peka mengamati dunia sekelilingnya. Maka tak heran menurut
pengakuan ibunya, “sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca, dan
gurunya saat itu adalah bapaknya sendiri”.
Selain membaca buku, Gus Dur mempunyai hobi lain, yaitu: main bola,
catur, musik, dan nonton film. Di usia yang masih belasan tahun ia sudah
banyak menghabiskan segala macam majalah, buku, surat kabar. Mulai dari
filsafat, sejarah, agama, cerita silat, dan fiksi cerita. Buku-buku
itu bisa ia dapatkan dari perpustakaan pribadi bapaknya, yang memang
terdapat berbagai macam buku yang dikoleksinya, baik buku yang
diterbitkan oleh orang-orang katolik atau non muslim lainnya.
Sementara itu, perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya
dengan seorang pria Jerman, teman baik bapaknya yang telah berpindah ke
agama Islam dan dipanggil dengan nama Williem Iskandar Bueller. Dan dari
sinilah pertama kali Gus Dur tertarik dan mencintai musik klasik,
khususnya karya Bethoven.
Kegemaran Gus Dur terhadap berbagai hal tersebut, membuat sekolah
formalnya terganggu, bahkan sampai membuatnya tidak naik kelas di
sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP). Ini disebabkan sangat
gandrungnya ia dalam menonton sepak bola dan membaca buku, di samping
itu juga karena ia masih dalam keadaan sedih karena kehilangan bapaknya
saat kecelakaan mobil tanggal 18 April 1953.
Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, pada tanggal 4 sya’ban menurut
penanggalan Islam, yang kemudian bertepatan dengan tanggal 7 September
1940 M. Namun demikian perayaan hari kelahirannya selalu diadakan pada
tanggal 4 Agustus, hal ini memang aneh, sebagaimana terlihat dalam
aspek kepribadiannya yang nyleneh pula, seringkali mengundang
kontroversial.
Ditilik dari geneologi keluarganya, Gus Dur termasuk dari golongan
“darah biru” pesantren. Ia merupakan anak dari K.H. Abdul Wahid Hasyim,
yang ia sendiri merupakan anak dari Hadratu al-Syaikh Hasyim Asy’ari,
pendiri pesantren Tebuireng, Jombang. Sementara ibunya, bernama Nyai Hj.
Siti Salekhah yang merupakan anak dari K.H. Bisri Syamsuri, pendiri
pesantren Denanyar, Jombang. Dan kedua kakeknya itu dikenal sebagai
Founding Father NU di samping K.H. Wahab Hasbullah.
Walupun bapaknya seorang menteri dan terkenal di lingkungan Jakarta, Gus
Dur tidak ingin sekolah di sekolahan elit yang biasanya dimasuki
anak-anak pejabat pemerintah, ia lebih menyukai sekolah-sekolah biasa,
menurutnya sekolahan elit membuatnya tidak betah.
Gus Dur memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SD) KRIS, di
Jakarta Pusat. Ia hanya mengikuti kelas tiga dan empat di sekolahan ini,
karena kemudian ia pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang
terletak di dekat rumah keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta
Pusat.
Pada tahun 1953, Gus Dur tamat dari sekolah dasarnya di Jakarta. Lalu
setahun setelah tamat SD, pada tahun 1954 ia melanjutkan ke Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan berhasil menamatkannya
pada tahun 1956. Di kota ini persisnya di desa Kauman, Gus Dur
bermukim di rumah salah seorang teman ayahnya, Kiai Junaidi, seoarang
ulama kecil yang terlibat dalam gerakan organisasi Muhammadiyah. Bahkan
Lebih dari itu, ia juga termasuk anggota Majelis Tarjih (Dewan Penasihat
Agama Muhammadiyah). Selain itu, Gus Dur juga mengaji tiga kali
seminggu di pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan
K.H. Ali Maksum.
Ketika di Jakarta, Gus Dur sudah mampu berbicara bahasa Inggris dengan
baik dan bisa membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda, serta
sudah mengerti bahasa Arab tetapi masih pasif. Namun ketika ia belajar
di kota Yogyakarta, perkembangan bahasanya berkembang cepat. Bagi Gus
Dur yang suka membaca buku, Jogja merupakan kota pembawa berkah bagi
perkembangannya.
Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai
mengikuti pelajaran pesantren secara penuh, tepatnya di pesantren
Tegalrejo Magelang, yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta. Ia
belajar di pesantren ini dari tahun 1957-1959 pada Kiai Khudori, salah
satu pemuka NU.
Kemudian pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke pesantren Tambak beras
Jombang. Di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah, sampai pada tahun
1963. Di sini ia sempat mengajar dan menjadi kepala sekolah, namun
kemudian Gus Dur pindah lagi ke pesantren Krapyak Yogyakarta dan tinggal
di rumah Kiai Ali Ma’shum. Pada masa-masa itulah (sejak akhir 1950-an
sampai 1963) Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya
tentang Islam dan sastra Arab klasik.
Di samping itu, perpindahannya dari Yogyakarta ke Magelang dan kemudian
ke Jombang, yang dalam proses pertumbuhan dari kanak-kanak menjadi
remaja, menjadikannya mulai serius memasuki dunia bacaan: tokoh-tokoh
teori sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Parancis dan Rusia.
Sebagai seorang remaja ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato
dan Aristoteles, dua pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam
zaman pertengahan.
Pada saat yang sama ia juga tertarik menggeluti karya Das Kapital yang
ditulis oleh Marx dan What is Tobe Done nya Lenin. Kedua buku itu
menurutnya gampang diperoleh, karena saat itu partai komunis Indonesia
membuat kemajuan besar. Di samping itu ia juga tertarik pada ide Lenin
tentang ketelibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile
Communism (kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Res
Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).
Setelah menimba ilmu dari pesantren-pesantren di atas, pada tahun 1964
Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo
Mesir, melalui beasiswa Departemen Agama. Saat itu ia sedang berumur 23
tahun, dan telah menyelesaikan gramatika bahasa Arab sebanyak 1000 bait
(Alfiah) di luar kepala. Di negeri ini, Gus Dur mengambil spesialisasi
bidang Syari’ah. Namun, ia merasa tidak betah belajar di sini karena
materi yang diajarkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan
di pesantren dulu.
Oleh sebab itu, di Mesir Gus Dur lebih memilih aktif di organisasi
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia daripada menekuni belajarnya. Dengan
demikian, sebagian waktunya ia habiskan untuk membaca di perpustakaan
terkenal di kota itu, American University Library, sebuah perpustakaan
terlengkap di kota Kairo dan waktu lebihnya ia manfaatkan menonton film.
Namun demikian bukan berarti Gus Dur kecewa sepenuhnya kepada
institusi al-Azhar, karena di kota ini ia juga banyak memanfaatkan
kelompok diskusi dengan para intelektual muda Mesir untuk bertukar
fikiran, di samping menonton kegemarannya film-film Prancis dan sepak
bola.
Dari Kairo Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas
Baghdad, Fakultas Sastra, selama empat tahun. Di sini ia banyak belajar
tentang sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa dan teori sosial.
Menurut pengakuannya ia sangat senang dengan sistem Universitas Baghdad
ini karena kampus tersebut jauh lebih mirip Eropa daripada al-Azhar
Kairo, selain itu Gus Dur juga pernah menjadi ketua Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia Timur Tengah dari tahun 1964 sampai 1970.
Di negeri inilah bakat empirismenya tumbuh pesat, lingkungan baru ini
juga membantunya banyak membaca karya-karya pemikiran seperti pemikiran
Emile Durkhim. Minatnya tentang Indonesia juga mulai tumbuh di
Universitas tersebut, sebab referensi buku tentang Indonesia cukup
banyak tersedia di sana. Dan akhirnya di univesitas Baghdad ini pulalah
ia diminta untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia.
Lalu pada tahun 1971, Gus Dur melanjutkan petualangannya ke negeri
Eropa dengan harapan bisa belajar di salah satu universitas di sana,
tetapi harapan ini sukar terwujud, karena background studinya di Kairo
dan Baghdad tidak diakui di Eropa. Ia juga sempat bermaksud pergi ke
McGill Univesity di Kanada, untuk belajar program studi Islam yang
sangat diseganinya. Tapi tidak kesampaian karena ia lebih memilih balik
ke Indonesia. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk tetap tinggal di
Indonesia saja, sebagian karena diilhami oleh berita-berita perkembangan
baru dunia pesantren yang menggembirakan.
Setelah itu, akhirnya Gus Dur kembali lagi ke Indonesia dan kehidupan
pesantren. Pada tahun 1972-1974, ia menjadi dosen dan dekan Fakultas
Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), yang sekarang menjadi
Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA), Jombang. Kemudian dari tahun
1975-1979, ia menjadi sekretaris umum pondok pesantren Tebuireng,
Jombang.
Selama periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan
nasional NU. Sampai akhirnya pada tahun 1979 ia hijrah ke Jakarta, dan
mengawali kariernya di PB NU sebagai katib awal Syuriah NU, dan menjadi
dosen IAIN Syarif Hidayatullah, sebelum akhirnya mendirikan Pesantren
Ciganjur, di Jakarta Selatan. Selain itu, ia juga banyak terlibat dalam
berbagai proyek dan aktivitas di Jakarta termasuk mengajar di dalam
program pelatihan bulanan kependetaan Protestan.
Setelah menetap di Jakarta, secara teratur ia melakukan kontak dengan
intelektual muslim progresif di Jakarta, seperti Nurcholish Madjid dan
Djohan Effendi untuk ikut bergabung dalam forum diskusi dan lingkaran
studi mereka. Meskipun latar belakang pendidikannya berbeda, akan tetapi
Gus Dur jauh lebih siap untuk menggagas wacana agama yang bercorak
liberal.
Rentetan petualangan pendidikannya di atas, telah menjadikannya sebagai
tokoh intelektual yang berfikiran liberal, longgar dan moderat. Bahkan
menurut Greg Barton, meskipun Gus Dur tidak pernah menempuh pendidikan
formalnya di Barat, akan tetapi sikap dan pemikirannya jauh lebih siap
untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat,
pendidikan Islam dan masyarakat muslim. Selain belajar secara otodidak,
studinya di Baghdad juga banyak memberikan dasar-dasar yang baik
mengenai wacana liberal yang bercorak Barat dan sekular.
Karena sikap liberal, progresif dan inklusif inilah, kemudian ia diberi
kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
pada tahun 1982-1985. Ia juga pernah menjadi juri pada Festifal Film
Indonesia, yang saat itu masih dianggap tabu oleh kaum santri (NU).
Sikap dan pemikiran Gus Dur semakin liberal dan progresif ketika
dipercaya menjabat ketua PBNU pada tahun 1984, hal ini bisa dilihat
dari gagasan-gagasannya, seperti Pribumisasi Islam, orang-orang non
muslim menjadi presiden Indonesia, rukun tetangga (sosial), dan lain
sebagainya.
Kemudian dari tahun 1985 hingga 1990 ia berkhidmat dalam Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan sejak tahun 1994 ia menjadi penasehat International
Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and Secular Law,
di Den Haag.
Namun sebelumnya dalam periode yang sama tahun 1993, Gus Dur dinobatkan
sebagai seorang yang layak menerima piagam “Ramon Magsasay” dan hadiah
senilai 50.000 dollar AS, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan
pada tokoh Asia karena dinilai telah memberi kemajuan yang khas bagi
bangsanya. Bersamaan pada periode itu, Gus Dur juga terlibat dalam
aktivitas-aktivitas sosial, seperti LSM Fodem (Forum Demokrasi), di sini
ia menjabat sebagai ketuanya.
Karena kritik politiknya terhadap kediktatoran negara dan
gagasan-gagasannya yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama,
kebebasan berpendapat, dan pribumisasi Islam, telah mendapat respon dari
kalangan luas (sejak tahun 1980-an sampai 1990-an), maka tidak aneh
saat reformasi 1998 terjadi, ia dijuluki sebagai salah satu tokoh
pembawa gerbong reformasi.
Akhirnya pada tahun 1998 pasca reformasi, Gus Dur yang saat itu masih
aktif menjabat ketua umum PBNU mendirikan sebuah Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), pada tanggal 23 Juli 1998, dengan menyatakan bahwa PKB
bukanlah Partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara
sekuler. Dengan dukungan PKB dan Partai-Partai Islam yang dinamakan
“poros tengah” saat itu, telah berhasil mengantarkannya pada kursi
kepresidenan pada tahun 1999 di masa reformasi ini.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, dengan cara yang sangat demokratis
telah mengangkat citra kelompok santri dalam percaturan politik
nasional, yang sebelumnya seringkali dimarginalkan. Namun sayang masa
pemerintahan Gus Dur harus berhenti di tengah jalan pada tanggal 23 Juli
2001 secara inkonstitusional karena sikap politiknya yang mengundang
banyak kritik, dari pengamat dan lawan politik yang mengantarkannya
dulu.
Cara pemberhentian ini benar-benar menyakiti kalangan santri, yang
kemudian membuat mereka terpaksa kembali menelan kepahitan politik di
awal sejarah reformasi ini. Namun yang menjadi cukup menarik setelah ia
dijatuhkan dari kepresidenan, Gus Dur kembali membuat geger masyarakat
muslim dengan menerima penobatan sebagai anggota kehormatan Legium
Kristus pada 28 Januari 2002 di Tataaran Tonando, Minahasa, Sulawesi
Utara. Dan mengenai peran Gus Dur di PKB saat ini (tahun 2003-2004), ia
masih menjabat sebagai ketua Dewan Syura partai tersebut.
2. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara.
Masalah relasi Islam dan negara merupakan salah satu hal yang penting
dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan
review terhadap pemikirannya ini. Secara garis besar bisa dikatakan
bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara dapat
dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan
antara agama dan negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd al-Raziq.
Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai alasannya di atas, yang
menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus
Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya
kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan terdistorsi
dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru
akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik
horizontal.
Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara Islam.
Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa Daulah
Isla>miyyah (Islamic State) tidak pernah disebutkan secara eksplisit
dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi Baldatun
T{ayibatun wa rabbun Gafur, sebuah ayat yang lebih pada konteks
sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas dasar
inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya memberi
nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara.
Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam
sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana
suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama
sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang
berbeda satu sama lain, padahal pengangkatan seorang kepala negara
merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia,
menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan
memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin
memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat
yang sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum
alam atau Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan
sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi
komplementer dalam kehidupan negara.
Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang
intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal
ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di
kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan negara
yang bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama
merupakan dimensi privat yang paling independen dari manusia dan tidak
boleh diintervensi oleh negara yang bersifat publik.
Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan
keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah
agama pembebasan (a liberating religion), yang lahir dalam konteks
protes terhadap ketidakadilan di tengah komersial Arab dengan
nilai-nilai dasarnya, seperti musyawarah, persamaan dan keadilan.
Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus Dur,
merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di
negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme
sangatlah dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk agama lain
menjadi warga negara kelas dua.
Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, Gus Dur
dikategorikan dalam aliran neo-modernis. Ini dikarenakan
gagasan-gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi khazanah
pemikiran tradisional (legacy of past).
Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia sampaikan dalam sambutannya
saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur menunjukkan pemikirannya
dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam Indonesia:
“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang saat itu
ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu sisi adalah
pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada tahun 1950-an
sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam
kemacetan sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan
menetapkan sebuah konstitusi bagi republik ini.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan masalah itu
secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi mendasar bahwa
Pancasila dijadikan asas dasar dan ideologi setiap organisasi,
sementara agama tetap dijadikan landasan kepercayaan. Pengakuan atas
berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu memberi jaminan kebebasan
bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan kepercayaannya
masing-masing”.
Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila negara
Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus
kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan
dengan nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan
bersenjata, dimanipulasi umat Islam, atau malah disalahgunakan oleh
keduanya.
Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko pada tahun 1990-an, karena
pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan dan jenuh mendengar
Pancasila yang selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan hampir setiap
hari dipropogandakan dalam media massa. Seolah-olah Pancasila saat itu
telah menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan kebijakan, dan
sempat menjadi ejekan karena semua kegiatan harus berlabelkan Pancasila ,
seperti pers Pancasila , ekonomi Pancasila , bahkan sepak bola
Pancasila .
Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan negara yang selalu
menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka, antara kaum
nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad Siddiq,
berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan bahwa
Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan
perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan
nilai-nilai yang tidak diterima oleh masyarakat yang berbeda-beda agama
dan pandangan hidupnya.
Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya pemisahan wewenang fungsional
agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu bagaimana ia menanggapi
tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak penerapan syari’at
Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum negara?
Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang “hukum Islam” yang dalam
kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas
kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun binafsihi),
bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum agama dapat
diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh komponen
masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u al-Ah}kam fi H{alati
Imka>niyyah Wad‘ihi).
Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa rumusan Pancasila sebagai
ideologi negara harus kita pegang teguh. Di samping itu, yang
terpenting bagi umat Islam menurut Gus Dur adalah pengaturannya
(al-H{ukmu) bukan al-Qur’an. Dalam Islam sendiri tidak mengenal sistem
pemerintahan yang definitif, seperti yang dikatakan negara bangsa
(nation state) saat ini, memang pernah ada tiga sistem yang dipakai
dalam Islam, di antaranya sistem Istikhlaf, Bay‘ah, Ahl H{alli wa
al-‘Aqdi, tetapi ini hanya terjadi dalam tempo 13 tahun.
Ada beberapa teoritisi Islam seperti al-Mawardi (al-Ah}ka>m
as-S}ultaniyyah), Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun
(Muqadimah), yang telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan
ternyata paham kebangsaan ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh
pikiran cemerlang Ibnu Khaldun.
Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan pendapat Ibnu Khaldun yang
menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara.
Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa
‘As}h}abiyyah (perasaan keterikatan) untuk membentuk ikatan sosial
kemasyarakatan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah
negara karena adanya perasaan kebangsaan.
Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah fungsi negara sebagai
penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh sebab itu tidak
aneh kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di Indonesia,
sekalipun agama itu merupakan anutan mayoritas penduduk di negara ini.
Di Indonesia, hubungan Islam dan negara pernah mengalami ketegangan
politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap sebagai pesaing yang
mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan relatif
berhenti, setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi pada tahun 1980-an yang
lalu.
Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam menetralisasi ketegangan kedua
pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mengembangkan Islam sesuai
dengan konteks setempat atau yang biasa dikenal pribumisasi Islam. Dan
kedua tawaran itu kemudian mengarah pada penempatan Islam sebagai faktor
komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.
Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il (tujuan dan cara
penyampaiannya), Gus Dur menegaskan bahwa Islam bertugas melestarikan
sejumlah nilai dan prilaku sosial yang mengaitkan pencapaian tujuan
dengan kemulian cara yang digunakan. Oleh sebab itu, menurutnya selama
tujuan masih tetap, maka cara penyampaian menjadi masalah sekunder, dan
yang dimaksud nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq al-Karimah.
Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi sebagai etika sosial yang
memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk kenegaraan
tertentu. Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya
dalam memperjuangkan demokrasi dan semangat pluralisme di negeri ini.
Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah,
pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari
norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan. Selama kaum muslim
dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka
bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya.
Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU di bawah aksi politik yang
dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal Pancasila, dan
tentunya dengan mendapat persetujuan para ulama organisasi tersebut.
Lebih lanjut, Pancasila dalam pandangan NU merupakan ideologi bangsa
yang sejalan dengan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara:
Da>ru al-Isla>m, Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}. Dan
Gus Dur sendiri dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa pemerintahan
yang berideologikan Pancasila ini, bisa dikategorikan dalam negara
damai (Da>ru as-S}ulh) yang harus dipertahankan.
Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah politik Indonesia acapkali
menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran kalau banyak orang yang
menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus Dur membantah
itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik
atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di
mata hukum fiqih.
Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa pemikiran negara dalam
Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik dan realistik.
Dalam pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang
sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur
sebagai kelompok alternatif.
Sementara pandangan realistik, lebih tertarik pada pemecahan masalah
bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan negara dapat
ditampung dalam pandangan Islam, yang kemudian dalam konteks ini Islam
dijadikan sebagai faktor komplementer bagi ideologi negara.
Gus Dur seringkali memunculkan gagasan kontroversial di mata masyarakat,
baik ketika di NU, PKB maupun di Pemerintahan. Oleh sebab itu, ia kerap
memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis dan berbagai
tuduhan minor lainnya. Ini dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan
tidak membela Islam.
Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh tradisionalis, Gus Dur
adalah seorang tokoh yang paling unik, karena sering memimpin ke mana
para pengikutnya tidak mau ikut. Sedangkan meminjam analisis Cak Nun,
menurutnya kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur, baik dari sikapnya
yang biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang radikal, yang gendheng,
maupun yang membingungkan. Karena semuanya itu terletak pada grand
theory yang tidak sukar dipahami.
Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.
Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud menerapkan suatu
ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apa pun
yang indikatif terhadap primordialisme dan anti-nasionalisme.
Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur dengan segala
resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian nilai-nilai
Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh
segala “kegamangan teologis” apapun.
Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun 1984, retorika Gus Dur
semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak bersikap positif dan
fleksibel dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa watak
pluralistik dan multi komunal masyarakat Indonesia harus dipertahankan
dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan dengan
sumber-sumber pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa yang baik
dalam nilai-nilai modernitas dengan komitmen terhadap rasionalitas,
keulamaan dan kebudayaan tradisional.
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih
sering menggunakan ideologi Pancasila daripada Islam dalam melegitimasi
partisipasinya dalam wacana politik dan pengekspresian gagasan kunci
politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa pemikiran politiknya didasarkan
pada visi politik yang demokratis, sekular dan nasionalis.
Bagi Gus Dur Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk
mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini menurutnya penting untuk
disampaikan karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai
ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Ia kemudian menunjukkan
bahwa ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945 juga
sepakat mendukung sebuah negara nasional non Islam.
Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman Wahid dan penggunaannya
terhadap Pancasila dalam mengembangkan demokratisasi, perlu ditinjau
terlebih dahulu “keluarnya NU” dari panggung politik formal pada tahun
1984. Padahal pada tahun 1983, NU adalah ormas Islam yang pertama kali
menyetujui asas tunggal.
Keputusan untuk keluar dari politik atau yang dikenal dengan kembali ke
khittah 1926, menurut Gus Dur, bukan hanya karena adanya keinginan untuk
memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial, pendidikan dan
keagamaan, tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi orde baru.
Singkatnya, NU ingin tetap menjaga independensi politiknya dan
menghindari intervensi serta manipulasi pemerintah, karena saat itu
pemerintah terus-terusan menekan politik Islam dengan menggunakan
Pancasila untuk membatasi kegiatan partai politik yang legal pada tahun
1970-an dan awal tahun 1980-an.
Selanjutnya, berkaitan dengan perannya sebagai Kepala Presiden yang
relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan toleransi agama yang Gus
Dur perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya pencabutan Inpres
No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina.
Dalam Inpres ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak penganut
Konghucu sehingga mereka terpaksa harus pindah ke agama lain, Namun pada
masa Pemerintahan Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu dicabut dengan
Kepres No. 6 tahun 2000.
Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial, yakni pencabutan Tap MPRS
XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme,
Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah mendiskriminasikan
sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara. Akan tetapi ide
pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran selama kurun masa
kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.
Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus menghadapi sebuah cita-cita
politik yang bertolak belakang dengan trade mark pemikirannya, yakni
adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan kembali “Piagam
Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui power
negara. sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas keinginan itu
melalui kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk menguji wacana
tersebut.
Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000, dua partai politik Islam
(PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam Jakarta” untuk
dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses amandemen
1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena banyaknya
kalangan yang khawatir akan campur tangan negara terhadap agama dan
politisasi agama, sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat disimpulkan beberapa hal
pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama, Gus Dur
selalu ingin menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam
menghadapi negara, karena ketaatan seseorang harus muncul dari kesadaran
pribadi, bukan dari paksaan negara.
Kedua, penolakan Gus Dur terhadap sebagian masyarakat muslim yang ingin
menjadikan Islam sebagai ideologi negara, merupakan konsekuensi dari
pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan, yakni menempatkan masyarakat
secara egaliter di hadapan negara. Karena pengistimewaan agama tertentu
dalam negara yang plural ini, berarti pengingkaran nilai-nilai
demokrasi.
Ketiga, negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama
masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi
kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama
sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan gagasan Gus Dur
mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas, yaitu bagaimana
membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Yang
mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh
dicampuri oleh siapapun.
Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik melalui
tulisan-tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia menolak
bentuk formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak
masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat
dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai
mayoritas muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi
pemikirannya dalam membangun relasi Islam dan negara.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
A. Persamaan.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab III, bahwa gambaran kedua
tokoh di atas sangat diperlukan untuk menganalisa pemikiran keduanya. Di
antaranya mengenai latar belakang kehidupan, karier politik, dan
organisasi yang menjadi dapur pertama pemikiran politiknya. Selain itu
ulasan tersebut, setidaknya dapat dijadikan pertimbangan sebelum
menempatkan atau mengklaim kedua tokoh tersebut dalam kategori aliran
tertentu.
Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa M. Natsir sebagai
Prototype modernisme Islam dan Gus Dur sebagai neo-modernisme Islam,
telah banyak mewarnai sejarah perpolitikan Indonesia. Terlepas dari itu,
perlu diakui bahwa perdebatan Islam dan negara sudah lama terjadi,
sejak dasawarsa 1930-an antara M. Natsir dan Soekarno, yang kemudian
dalam situasi itulah Islam menapaki langkah-langkah yang boleh dibilang
idealistik atau formalistik. Singkatnya, gerakan ini ingin menjadikan
Islam sebagai ideologi negara.
Situasi inilah yang mendorong aktivis dan pemikir Islam generasi kedua
pada tahun 1970-an, yang kemudian dinamakan Islam kultural. Dalam
pandangan kelompok ini, Islam politik merupakan sesuatu yang sulit
dijual, karena masih kuatnya trauma politik yang membekas antara aktivis
politik Islam dengan negara. Oleh sebab itu kalangan ini lebih memilih
garapan transformasi sosial, dengan menawarkan Islam yang sesuai dengan
konteks Indonesia dan tidak begitu ideologis.
Meskipun keduanya hidup pada masa yang tidak bersamaan, tetapi pemikiran
politik kedua tokoh tersebut masih tetap mewarnai panggung politik
Indonesia sampai saat ini. Yang kemudian terpolarisasi pada kelompok
modernis dan neo-modernis.
Dalam diskursus kaum modernis, ada dua faktor yang telah disepakati
sebagai penyebab kemunduran dunia Islam. Pertama, secara internal,
praktik-praktik keagamaan umat Islam telah banyak yang menyimpang dari
ajaran Islam yang asli, al-Qur’an dan Hadits, yang kemudian menyebabkan
umat Islam mengalami kemunduran, oleh sebab itu pembaharuan doktrin
Islam sangat diperlukan. Kedua, peradaban Barat sekular yang mulai masuk
dalam percaturan peradaban Islam, dianggap sebagai faktor lain
(eksternal) yang dominan menyebabkan kemuduran dunia Islam.
Di Indonesia Gerakan modernis ini termanifestasikan dalam beberapa
organisasi, seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan Sarekat Islam,
sebuah organisasi yang mengedepankan motif gerakan kembali ke al-Qur’an
dan Hadis, yang menurutnya sebagai sumber ilmu yang otentik, abadi dan
akan tetap relevan dengan perubahan zaman dan tempat. (S{a>lih}
Likulli Zama>nin wa Maka>nin).
Dengan demikian pemikiran-pemikiran politik kaum modernis Islam banyak
diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya doktrin
kembali ke al-Qur’an dan Hadis di atas, merupakan rintisan yang tepat
dengan realitas politik Islam saat itu, hanya saja doktrin tersebut
kemudian terkontaminasi dengan sikap anti Barat yang rigid dan akhirnya
melahirkan pemikiran normatif dan cenderung apologetik, misalnya dengan
menawarkan sistem ekonomi Islam dan negara Islam sebagai alternatif
menghadapi Barat.
Dalam diskursus politik Islam (al-Fiqh as-Siya>syi), upaya untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah :
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ
Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan sebagai
landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan hukum
aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, maslahah
itu bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis dapat
mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua,
maslahah itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu.
Ketiga, maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau
dalil-dalil umum nash.
Teori kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan pisau analisis oleh M.
Natsir dan Gus Dur dalam memecahkan persoalan hubungan Islam dan
negara. Dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran kedua
tokoh tersebut, memang perlu diawali dari teori ini.
Ada beberapa persamaan dari kedua tokoh tersebut dalam merespon hubungan
Islam dan negara. Dan yang pasti secara esensial kedua tokoh tersebut
sepakat bahwa tujuan diterapkannya demokrasi di negeri ini adalah untuk
mencapai kemaslahatan bersama dan keadilan yang merata bagi umat
manusia.
Dalam sejarah politik Indonesia, M. Natsir dan Gus Dur dikenal sebagai
pemikir muslim yang sekaligus praktisi politik terkemuka di negeri ini,
keduanya sama-sama mempunyai komitmen untuk menjadikan Islam sebagai
agama pembebas yang membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi
dan diskriminasi
Sedangkan sisi persamaan yang dominan antara M. Natsir dengan Gus Dur
dalam membangun relasi Islam dan negara adalah pengakuan mereka tentang
tidak adanya sistem politik yang rigid dalam Islam sebagaimana yang
telah ada dewasa ini, dan bagi mereka yang ada dalam Islam hanyalah
prinsip dasar berbangsa dan bernegara, seperti musyawarah, keadilan,
persamaan, kebebasan, dan kebersamaan.
Menurut Natsir, dalam kenegaraan, Islam hanyalah mengatur dasar dan
pokok-pokokmya saja seperti yang dinyatakan di atas, maka dari itu dalam
membangun sebuah negara M. Natsir banyak menggunakan syarat-syarat
sebuah negara modern, di antaranya harus mempunyai wilayah, rakyat,
Pemerintah, Kedaulatan, Undang-Undang Dasar atau sumber hukum atau
kekuasaan lain yang tidak tertulis.
Masih dalam konteks yang sama, Gus Dur juga menyatakan secara tegas
bahwa Islam tidak memberi konsep yang jelas untuk membangun sebuah
negara, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan
negara. Secara historis juga telah terbukti bahwa dari keempat khalifah
sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang
berbeda satu sama lain, ini menunjukkan bahwa Islam memang tidak
mempunyai mekanisme baku sebuah suksesi, padahal pengangkatan seorang
kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Oleh sebab itu, sistem demokrasi menurut kedua tokoh tersebut merupakan
sistem yang paling realistik untuk mewujudkan terbentuknya suatu
masyarakat yang adil, egaliter dan manusiawi sebagaimana yang
dicita-citakan Islam. Karena dengan adanya nilai-nilai dasar di atas
Islam bisa dikatakan sebagai agama pembebas sepenuhnya kompatibel dengan
aturan demokrasi.
Mengenai tipologi pemikiran kedua tokoh tersebut, memang tidak
sepenuhnya murni sebagaimana yang telah penyusun tempatkan, sebab
walaupun Yusril mengkategorikan Natsir sebagai kalangan modernis, akan
tetapi tidak jarang pendapat-pendapat Natsir yang mengarah pada faham
fundamentalisme, menentang pemisahan agama dan negara. Begitu juga
dengan pemikiran Gus Dur, yang menurut Greg Barton seringkali terkesan
sekuler , namun juga terkadang terlihat konservatif dalam wacana
keislaman yang lain.
Sebagaimana Abduh, M. Natsir menganggap sumber kekuasaan bagi
pemerintahan adalah rakyat. Karena itu, demokrasi yang berdasarkan
doktrin kedaulatan rakyat diterima secara terbuka, akan tetapi bukan
berarti ia menerima konsep sekulerisme sebagaimana yang inheren dalam
sistem demokrasi Barat. Oleh sebab itu ia menawarkan sebuah konsep
thestic democracy, yaitu demokrasi yang sesuai dengan prinsip tauhid.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsep demokrasi ini ditujukan untuk
menetapkan hak-hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dengan
penguasa, dan sistem yang ada harus mampu menegakkan keadilan,
kebebasan, persamaan sebagaimana yang dituntut oleh Islam secara
radikal.
Menurutnya, Syari‘ah sebagai suatu sistem hukum terpadu dan lengkap
hanya bisa dilaksanakan apabila ada suatu otoritas yang melakasanakan
penerapan (law enforcement), sehingga pelaksanaan Syari‘ah memerlukan
dukungan kekuasaan politik, yaitu negara. Dengan demikian tujuan pertama
didirikannya negara demokrasi adalah untuk menjaga dan melindungi
Syari‘at itu sendiri.
Sedangkan Gus Dur ingin menegakkan demokrasi yang seutuhnya, artinya
tidak ada tendensi agama yang melekat pada konsep ini. Dengan demikian
ada perbedaan yang sangat mendasar mengenai paradigma dalam
memperjuangkan konsep demokrasi, meskipun keduanya sama-sama menerima
demokrasi secara terbuka. Dan sebenarnya sikap ini sudah jelas terlihat
di atas, bagaimana reaksi dan sikap keduanya dalam memandang Pancasila
di negeri ini.
Atas dasar pemahaman, Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar dalam
berbangsa dan bernegara, maka keduanya sepakat untuk menjadikan
demokrasi sebagai sistem yang paling rasional untuk negara republik ini.
Terlepas bagaimana cara kedua tokoh itu dalam memperjuangkannya.
B. Perbedaan.
Sedangkan sisi perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur dalam
memandang relasi Islam dan negara yang paling fundamental terdapat dua
hal. Pertama, respon mereka terhadap paham sekuler, yang memisahkan
antara agama dan negara. Kedua, pemikiran politik mereka dalam menyikapi
demokrasi dan ideologi Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia
ini.
Berangkat dari wacana relasi Islam dan negara di atas, M. Natsir dengan
tegas menolak negara yang berdasarkan sekularisme, menurutnya
sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan
sikap yang hanya sebatas keduniawian saja. Walaupun para sekularis
mengakui adanya Tuhan, tapi dalam kehidupan sehari-harinya tidak
menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap,
tingkah laku, ibadah dan tindakan sehari-harinya.
Ditarik dalam konteks Indonesia, tampaknya M. Natsir ingin membuktikan
bahwa Indonesia telah terkontaminasi dengan paham ini. Baginya dengan
adanya konsep Pancasila berarti telah terbukti bahwa negara Indonesia
telah terjangkit penyakit sekularisme, karena konsep ini jelas bercorak
La>-diniyyah yang tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, di
samping itu Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat.
Dilihat dari beberapa pernyataan Natsir pada bab-bab sebelumnya, bisa
dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya tidak dapat
dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis
mutualisme. Baginya, negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti
negara di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai
kekuatan penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah,
yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun
masyarakat secara kolektif.
Sedangkan Gus Dur, lebih mengasumsikan agama sebagai sumber motivasi
pandangan hidup bangsa atau ideologi negara (Pancasila). Maksudnya agama
berperan mendorong kegiatan individu melalui nilai-nilai yang diserap
Pancasila dengan menjadikannya sebagai bentuk pandangan hidup bangsa.
Jadi agama di sini hanyalah bersifat dialogis bukan simbiosis.
Pola pemikiran Gus Dur ini bisa dikategorikan cukup sekuler, mengingat
gagasan yang ia hasilkan selalu mengesampingkan simbolisasi agama
terhadap negara atau sebaliknya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk
memanfaatkan negara sebagai alat pemberlakuan hukum agama tertentu,
seperti tuntutan diberlakuannya syariah oleh negara, karena menurutnya
hanya akan menciptakan diskriminasi agama.
Dan tentunya, kalau kebijakan tersebut sampai diterapkan di negara yang
sangat heterogen ini, berarti kita telah melakukan pengingkarana
terhadap nilai-nilai demokrasi, karena telah mengabaikan prinsip-prinsip
pluralisme agama, persamaan hak dan kemaslahatan umat. Jadi, bagi Gus
Dur, Pancasila sebagai ideologi negara sudah sesuai dengan konteks
demokrasi dan tidak perlu lagi diperdebatkan, apalagi diganti. Meskipun
ia merupakan hasil ijtihad manusia.
Selain itu, demokrasi yang menurut Natsir dan Gus Dur merupakan konsep
paling rasional untuk sistem negara. Secara tegas dikatakan Natsir,
Islam tetap tidak perlu menganut demokrasi 100%, dan konsep demokrasi
yang cocok bagi Indonesia adalah demokrasi yang tidak meninggalkan
nilai-nilai ketuhanan, thestic democracy, maksudnya, keputusan mayoritas
yang berpedoman pada ketuhanan. Ini menunjukkan bahwa Natsir selaku
tokoh modernis muslim sangat selektif dalam menerapkan filterisasi
(saringan) terhadap Barat.
Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk
berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan
politik Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan
menyesuaikan terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan
seoarang muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.
Berbeda dengan Natsir, Gus Dur menilai demokrasi sebagai suatu
kedaulatan rakyat sepenuhnya, ia tidak sepakat kalau urusan Tuhan
dicampuradukkan dalam kepentingan ini. Baginya demokrasi adalah urusan
manusia yang diberi kebebasan untuk mengatur dunia, sedangkan kedaulatan
Tuhan (Syari‘ah) merupakan prinsip-prinsip universal yang menjadi
patokan etik moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlebih lagi, apabila hukum Islam atau hukum gereja harus diberlakukan
oleh negara melalui (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada
hakikatnya merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita
tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak
memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan
haknya dalam memperoleh keadilan sesama dalam bernegara.
Untuk merealisasikan demokrasi tersebut, ada enam kaidah demokrasi dalam
Islam, yaitu: 1) Ta‘a>ruf (saling mengenal); 2) Syu>ra
(musyawarah); 3) Ta‘a>wun (kerja sama); 4) Mas}lah}ah (menguntungkan
masyarakat); 5) ‘Adl (adil); dan 6) Tagyir (perubahan).
Natsir dan Gus Dur sama-sama terlibat dalam pemerintahan, akan tetapi
keduanya mempunyai tujuan politik yang berbeda, Natsir masuk dalam
birokrasi pemerintahan berharap akan bisa memperjuangkan pemeberlakuan
syari’ah Islam melalui otoritas negara. Sedangkan Gus Dur justru
sebaliknya, ia malah berkeinginan untuk meminimalisir intervensi negara
terhadap agama, termasuk penolakannya terhadap pemberlakuan syari’ah di
negara ini.
Berbicara mengenai Syari‘ah, terdapat berbagai macam pemahaman. Menurut
terori klasik, Syari‘ah merupakan kehendak Ilahi yang suci dan
bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim. Sedangkan dalam
al-Qur’an kata Syir‘ah atau Syari‘ah dimaknai agama, baik sebagai jalan
lurus (T{ariq Mustaqi>mah) yang ditentukan oleh Allah untuk manusia
atau suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketika nabi Muhammad
S.A.W. ditanya tentang syari’at Islam, beliau menjelaskan tentang
sholat, zakat, puasa, dan haji.
Ini menunjukkan bahwa secara terminologis, Syari‘ah pada masa nabi
Muhammad S.A.W. digunakan untuk menyebut masalah essensial dalam ajaran
Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah yang telah diyakini
kesahihannya. Lebih lanjut, Manna al-Qattan (ahli fiqh) mendefiniskan
Syari‘ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi
masalah akidah, ibadah, dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai
kebahagian mereka di dunia dan akhirat.
Berdasarkan definisi Syari‘ah di atas, ulama fiqih dan usul fiqih
menyatakan bahwa Syari‘ah merupakan sumber fiqih. Dinyatakan demikian,
karena fiqih merupakan hasil ijtihad atau pemahaman ulama terhadap
ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut.
Ada beberapa definisi fiqih yang kemudian dikemukakan oleh ulama. Imam
Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih dengan Ma‘rifat al-Nafsi
ma>laha wa ma> ‘alaiha (pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan
kewajibannya), definisi ini memberi gambaran bahwa fiqih meliputi aspek
kehidupan, baik dari akidah, hukum sampai pada tingkah laku kehidupan.
Sedangkan al- Amidi, seorang ulama Syafi’iyyah terkemuka dalam bukunya
al-Ih}kam fi us}uli al-Ah}ka>m, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu
tentang hukum-hukum syari’ah amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci
(‘adilah tafs}iliyyah), selain itu, menurut fuqaha Malikiyyah, fiqih
adalah ilmu tentang perintah-perintah syari’ah dalam masalah khusus yang
diperoleh dari aplikasi teori Istidla>l atau pencarian hukum dengan
dalil (process of reasoning).
Tampaknya, pola pemikiran Gus Dur di atas, didasarkan pada pertimbangan
fiqih bahwa urusan politik atau negara lebih pada kepentingan dan
kreativitas manusia, sehingga masuk dalam wilayah fiqih. Dan sebagai
wilayah fiqih, setiap apa yang dirumuskan dan diinterpretasikan
merupakan produk ijtihad yang bebas. Namun demikian, kreativitas itu
harus mengacu pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalam kaidah
fiqihnya bahwa “seluruh kebijakan penguasa harus sesuai dengan
kepentingan seluruh warga negara”.
Paradigma di ataslah, yang kemudian secara teoritis membedakan gagasan
kedua tokoh tersebut, Walaupun pada masalah-masalah tertentu mereka juga
mempunyai persamaan pendapat. Pola pemikiran Natsir yang cenderung
idealistik dalam memahami ad-Din wa ad-Daulah, sebenarnya merupakan
konsekuensi logis dari pemikiran politik yang didasarkan pada konsep
tauhid.
Konsep tauhid menderivasikan prinsip-prinsip universal yang kemudian
menjadi sumber etik-moral bagi sebuah negara demokrasi, selain itu
Natsir juga lebih suka mendasarkan gagasannya pada dua sumber utama
Syari‘ah, al-Qur’an dan sunnah, daripada menggunakan metodologi khazanah
intelektual sunni klasik, seperti fiqih, Us}ul al-Fiqh ataupun
Qawa>‘id al-Fiqhiyyah.
Di samping paradigma, faktor perbedaan masa kehidupan juga cukup
mempengaruhi pola pemikiran keduanya, di mana Natsir hidup pada masa
kolonial dan pasca kolonial yang selalu berjuang memerdekakan bangsa ini
melalui jargon Islam. Sedangkan gagasan dan perjuangan Gus Dur
dihadapkan pada masa 1980-an, pasca kolonial. Namun demikian, apa yang
dihadapi Gus Dur tentang wacana keislaman sebenarnya juga masih banyak
diwarnai wacana-wacana keislaman di masa Natsir hidup.
Perbedaan paradigma dan masa itulah yang kemudian melahirkan polarisasi
aliran, antara modernisme dan neo-modernisme. Gerakan modernisme di
Indonesia lahir sejak tahun 1912-an, sebagai salah satu respon
intelektual terhadap berbagai persoalan aktual modern yang secara umum
menempatkan Islam pada posisi dilematis, antara keharusan menyesuaikan
diri dengan perubahan arus modernitas atau menegaskan diri sebagai agama
secara eksklusif.
Modernisme Islam mempunyai kecenderungan kuat untuk mengembalikan
kejayaan dan keunggulan Islam atas partai atau peradaban yang lain,
dengan cara memperbaharui doktrin-doktrin sesuai dengan tuntutan zaman.
Secara teoritis gerakan ini cenderung eksklusif karena dasar
argumentasinya lebih ditekankan pada sumber Syari‘ah yang absolut,
al-Qur’an dan sunnah.
Lain halnya, dengan pemikiran neo-modernisme Islam, yang baru lahir pada
masa 1970-an. Kalangan ini cenderung akomodasionis dalam merespon
tradisionalisme dan modernisme. Menurutnya, sikap modernitas seharusnya
tidak menggantikan sama sekali nulai-nilai lama dengan nilai-nilai baru,
seperti apa yang diungkapkan oleh mayoritas kalangan modernis Islam
saat ini, melainkan bahwa antara tradisi dan modernitas harus dilihat
sebagai proses kontinuitas.
Sedangkan untuk mengelaborasi wacana pemikiran Islam semacam ini, bagi
mereka penggunaan metodologi fiqh atau Qawa>‘id al-Fiqh
transformatif lebih cocok daripada memakai konsep tauhid yang cenderung
dogmatis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa gagasan modern yang
mereka tawarkan bukan berarti anti tradisionalisme sama-sekali, seperti
apa yang tertulis dalam Qawa>‘id al-Fiqh.
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Selain kaidah di atas, masih banyak kaidah lain yang digunakan sebagai
upaya melaksanakan transformasi gagasan. Di antaranya, yaitu:
درء المفا سد مقدم على جلب المصالح
الحاجـﺔ تـنزل منزل الضرورة
الضرورة تبيح المحظورة
Selanjutnya, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ditawarkan kelompok
modernis, seperti legalisme (pemikiran keislaman yang telah dibakukan
lewat mazhab yang empat) baik dalam kerangka mazhab fiqih, maupun
melalui pembaharuan (pemurnian) ternyata malah tidak mampu menjawab
tantangan zaman. Ditambah lagi, over idealissasi Islam sebagai sistem
kehidupan alternatif tidak menunjukkan prospek yang baik, bahkan
menjurus ke situasi traumatik di masa depan.
Untuk itu, menurutnya perlu dibuat kerangka pemahaman kontekstualisasi
ajaran Islam dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) asas
menyeluruh. 2) asas keterbukaan. 3) asas kontinuitas sejarah. 4) asas
deinstitusionalisasi Islam, 5) asas depoloitisasi Islam. 6) asas
kesejarahan 7) asas pluralitas. dan asas konvergensi.
Beradasarkan uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, bisa disimpulkan
bahwa antara M. Natsir dan Gus Dur sangat berbeda dalam memandang relasi
Islam dan negara, Natsir beranggapan bahwa agama dan negara tidak dapat
dipisahkan sebagai konsekuensi dari penolakannya atas paham sekular,
sebaliknya dengan Gus Dur, ia lebih mengarah pada paham sekular,
memisahkan agama dan negara, tetapi dengan tetap menjadikan nilai-nilai
agama sebagai motivasi bukan formalisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Dan pandangan inilah, yang kemudian mempengaruhi sikap mereka dalam
menerima ideologi Pancasila. Bagi Gus Dur, meskipun Pancasila merupakan
hasil ijtihad manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya, akan
tetapi konsep ini harus tetap dipertahankan demi kemaslahatan bangsa
Indonesia yang plural ini, sedangkan Natsir lebih memilih Islam sebagai
ideologi negara daripada Pancasila, karena dengan ideologi ini
masyarakat akan terjamin kehidupan beragama dan bernegaranya.
Demikianlah persamaan dan perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus
Dur. Sebenarnya apa yang ingin penyusun tegaskan di sini adalah bahwa
pemikiran kedua tokoh di atas, sangat dipengaruhi oleh realitas sosial
politik di saat mereka hidup. Dan dari sisi inilah, yang kemudian
melahirkan klasifikasi pemikiran, yakni modernisme dan neo-modernisme.
Untuk lebih singkatnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini.
PERSAMAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
1. Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion) yang
membebaskan manusia dari segala bentuk eskploitasi dan diskriminasi.
2. Sebagai agama pembebasan Islam sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi.
3. Demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan
realistik untuk mewujudkan masyarakat yang adil, egaliter, dan manusiawi
sebagaimana yang diidealkan Islam.
4. Seorang pemikir dan praktisi politik yang terlibat langsung dalam lembaga kenegaraan.
5. Penggagas dan pendiri partai politik.
PERBEDAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
Perbedaan tentang M. Natsir Gus Dur
1. Basis pendidikan
2. Dasar paradigma pemikiran
3. Sifat pemikiran
4. Tipologi aliran pemikiran
5. Pandangan terhadap sistem nilai Islam
6. Sikap terhadap sekularisasi
7. Negara demokrasi yang dicita-citakan
8. Tujuan membela demokrasi
9. Pluralisme yang diterima
10. Penerapan ideologi Pancasila
11. Partai yang diperjuangkan
12. Fungsi politik
Pendidikan modern
Al-qur’an dan Hadits.
Islam ideologis
Modernisme
Islam sebagai sumber hukum yang lengkap
Negatif (menolak dengan tegas)
Thestic Democracy (Demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan)
Untuk melindungi Syari’ah
Pluralisme eksklusif
Menolak
Partai Islam
Gerakan dakwah Pesantren tradisional
Konsep Fiqih Transformatif
Islam kultural
Neo-modernisme
Islam hanya salah satu unsur dalam bangunan kebangsaan yang ada
Afirmatif
Negara demokrasi yang utuh dan tidak ada unsur fundamentalismenya
Untuk melindungi pluralitas
Pluralisme inklusif
Menerima secara terbuka
Partai sekular
Gerakan moral
C. Implikasi.
Pemikiran-pemikiran M. Natsir dan Gus Dur yang berkaitan dengan wacana
relasi Islam dan negara di atas, sudah pasti semakin menambah khazanah
pemikiran politik Islam di negara kita. Dan tentunya,
pemikiran-pemikiran tersebut membawa implikasi besar terhadap kehidupan
politik masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muslim
selanjutnya.
Untuk lebih jelasnya, penyusun akan membagi implikasi pimikiran kedua
tokoh tersebut menjadi dua aspek, yaitu implikasi yang bersifat
institusional (Institusional Implication) dan implikasi personal
(Personal Implication). Pertama, implikasi institusional, aspek ini
lebih mengarah pada pemikiran suatu lembaga organisasi atau partai
politik saja, baik itu partai yang mereka pimpin sendiri atau bukan.
Kedua, implikasi personal, yang berarti pemikiran mereka tidak hanya
berimplikasi pada sebuah partai saja, tetapi juga terhadap praktik dan
pemahaman masyarakat dalam bernegara. Khususnya bagi generasi pemikir
politik masa sekarang.
Peran politik Natsir mulai diperhitungkan oleh khalayak umum, sejak
keterlibatannya dalam pembentukan partai Islam yang pertama kali di
Indonesia, Masyumi, sebuah partai Islam yang berhasil mengantarkannya ke
kursi birokrasi negara. Sebenarnya, keaktifan Natsir di partai ini
sudah jelas menunjukkan bahwa manuver dan pemikirannya memang bersifat
idealistik.
Kegigihannya dalam memperjuangkan Islam melalui dakwah politiknya,
banyak mengundang simpati para kalangan modernis Islam Indonesia.
Manuver dan pemikiran politiknya sampai saat ini masih tetap mendapat
tempat istimewa di kalangan generasi muslim modernis abad 20-an ini,
bahkan lebih dari itu, tampaknya generasi yang terinspirasi ini, tidak
hanya mengaguminya namun juga mengembangkan ide dan perjuangan
politiknya melalui gerakan dan partai Islam yang sama sekali baru.
Implikasi Pemikiran M. Natsir
Dari sisi institusional, ide-pemikiran M. Natsir ini sangat mempengaruhi
karakter partai dan organisasi muslim modernis Indonesia, di antaranya
Masyumi, Parmusi (Partai Muslim Indonesia), PBB dan DDII. Dalam
pandangan Natsir dakwah merupakan sarana yang cukup efektif dalam
memperjuangkan ajaran dan kepentingan politik umat Islam Indonesia,
bahkan ia menganjurkan umat Islam untuk menggunakan politik sebagai
media dakwah umat.
Pemikiran-pemikiran Natsir disambut baik oleh kalangan modernis muslim
Indonesia, sebab spirit pesan yang disampaikannya sama-sama bertujuan
mengembalikan kejayaan Islam, yakni dengan cara menerapkan pembaharuan
pemikiran-pemikiran Islam klasik dan kemudian dipadukan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Pada zaman orde lama, pemikiran Natsir banyak mempengaruhi visi dan
strategi partai politik Masyumi yang dibubarkan Soekarno, selain
disebabkan keterlibatannya sebagai pendiri yang sekaligus pemimpin
partai selama 5 kali berturut-turut. Ia juga tertarik lantaran platform
partai ini sangat cocok dengan ide perjuangannya yang menurutnya sebagai
representasi kelompok Islam. Dan salah satu cita-cita partai yang
sesuai dengan ide pemikirannya yaitu mentransformasikan hukum Islam
menjadi hukum nasional.
Sebagai tokoh politisi Islam modernis, ia mencoba memadukan ilmu
pengetahuan modern dengan ajaran-ajaran Islam yang kemudian
diaplikasikannya sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Keinginannya
untuk memasukkan nilai-nilai dasar Islam dalam institusi negara inilah
yang kemudian menggerakkannya untuk tetap konsisten mempertahankan dan
memperjuangkan misi partai Islam yang bercorak modern di atas (Masyumi).
Tampak jelas, bahwa cita-cita dan pemikiran Natsir mempunyai pengaruh
yang besar terhadap misi perjuangan partai Islam ini. Meskipun partai
Masyumi sebelumnya merupakan partai Islam yang terdiri dari berbagai
aliran Islam (fundamentalis, tradisionalis dan modernis), namun pada
perkembangan selanjutnya partai ini lebih didominasi oleh
pemkiran-pemikiran kelompok Islam modernis.
Selanjutnya pada masa orde baru, politik Islam masih saja menemui jalan
buntu. Selain dibatasi ruang geraknya, ia juga ditempatkan sebagai
kelompok yang berhaluan ekstrem kanan serta dinilai berpotensi
melahirkan kekacauan nasional karena berupaya mendirikan negara Islam di
tengah masyarakat yang plural, sehingga pada proses selanjutnya politik
Islam seringkali menerima intimidasi, pengekangan dan pengkebirian hak
politiknya oleh negara.
Sikap negara yang memusuhi politik Islam ini, tampaknya membuat mantan
aktivis Masyumi harus memilih jalan lain, yakni dengan membentuk sebuah
partai politik yang sama sekali baru, tetapi idealisme dan semangat
Masyumi diharapkan tetap mengalir di dalamnya. Akhirnya dengan jalan
penuh liku negara mengizinkan pembentukan partai ini, asalkan pemimpin
dan penggiat partai Masyumi dicoret dari daftar kepemimpin, sehingga
pada tanggal 20 Februari 1968 lahir “Partai Muslimin Indonesia”
(Parmusi) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua
pegiat terkemuka dari Muhammadiyah.
Selain di Masyumi dan Parmusi, pemikiran M. Natsir juga masih banyak
mempengaruhi peta politik Islam saat ini, khususnya PBB (Partai Bulan
Bintang). Partai ini bukan hanya lahir karena dorongan eforia politik
pasca reformasi 1998, akan tetapi juga mempunyai perjalanan sejarah yang
lebih panjang, yakni dari masa politik orde lama, orde baru dan sampai
sekarang masa reformasi.
Sejatinya secara historis, embrio lahirnya partai ini telah dirintis
oleh tokoh-tokoh Islam terkenal, seperti Dr. H. M. Natsir, K.H. Masykur,
K.H. Rusli Abdul Wahid dan Prof. Dr. H.M. Rosjidi yang sebelumnya
bergerak dalam satu wadah yang dinamai dengan Forum Ukhuwah Islamiyyah
(FUI). FUI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1989, pendiriannya
dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pemuka muslim tersebut, atas
gencarnya gerakan tans}iriyyah (kristenisasi) dalam merongrong akidah
umat Islam Indonesia selama rezim Orde Baru berkuasa.
Pada mulanya Partai Bulan Bintang akan diberi nama “Partai Politik Islam
Masyumi” oleh tim perumus partai ini. Namun keinginan itu diurungkan
karena beberapa alasan. Pertama, tokoh-tokoh Masyumi di masa lalu
dikenal integritas pribadinya yang tak tebantahkan, sehingga generasi
baru yang akan memimpin partai ini dikhawatirkan akan sangat berat
menanggung beban moral apabila tidak mampu menjaganya, dan akibatnya
akan mencoreng nama baik Masyumi. Kedua, selama ini penyebutan keluarga
besar Bulan Bintang pun identik dengan keluarga Masyumi.
Dari uraian-uraian tersebut bisa dipahami, bahwa pemikiran M. Natsir
secara institusional mempunyai implikasi besar terhadap pembentukan
partai-partai Islam di atas, di antaranya Masyumi, Parmusi, dan PBB.
Meskipun masih banyak organisasi lain yang juga terpengaruh oleh
pemikirannya, seperti DDII, FUI, Persis dan lain sebagainya.
Di antara implikasi yang sangat menonjol dari partai-partai Islam itu
adalah semangat juangnya yang selalu menjadikan prinsip-prinsip
Universal Islam itu sebagai rujukan dalam memecahkan masalah-masalah
masyarakat dan negara seperti kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi,
sistem kenegaraan, dan simbiosisme antara agama dan negara dan
seterusnya. Selain itu labelisasi Islam sebagai asas partai ini tidak
pernah mereka tinggalkan. Sehingga tidak aneh kalau kelompok ini sangat
kritis dan selektif terhadap pemikiran Barat, sebagaimana yang
ditunjukkan Natsir sebelumnya.
Sedangkan dari aspek personal, pemikiran Natsir ini juga cukup
berpengaruh pada generasi intelektual muslim Indonesia zaman sekarang.
Ini terlihat dalam pemikiran-pemikiran tokoh muslim modernis seperti
Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Yusril Ihza Mahendra. Meskipun tidak
sepenuhnya mereka sama dalam memahami relasi Islam dan negara, akan
tetapi ada masalah-masalah tertentu yang membuat mereka terkesan
Natsiris dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.
Sebagai tokoh pembaharu Muhammadiyah, Amien Rais sangat apresiatif
dengan pemikiran-pemikiran Natsir sepanjang sejarah perpolitikan bangsa
ini, baik itu yang berkaitan dengan masalah kenegaraan maupun keagamaan.
Apalagi mengingat figur tokoh Islam Indonesia yang sangat dikagumi
Amien ketika muda adalah M. Natsir, oleh sebab itu tidaklah berlebihan
kalau Cak Nur mengatakan : “Dia itu sangat Natsiris”. Ini terlihat dari
sikap kritisnya terhadap Barat dan kecintaannya terhadap umat Islam.
Lebih khusus, Amien cenderung anti terhadap Orientalisme dan
sekularisme. Dalam analisanya, umat Islam dunia sengaja dipisahkan dari
ajaran-ajarannya oleh hegemoni Barat, yakni dengan cara imprerialisme
baru, melakukan proses peng-alienasian masyarakat Islam dari agamanya
dan meracuninya dengan pemikiran-pemikaran Barat (Westoxication), yang
mengakibatkan umat Islam terjangkit penyakit Westomania, sejenis
penyakit jiwa yang menganggap Barat adalah segala-galanya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa antara agama dan negara adalah saling
bersatu yang berarti satu sama lainnya tak bisa dipisahkan, oleh sebab
itu ia dengan tegas menolak ide sekularisme, baik itu sekulerisme
moderat ataupun radikal. Dari uraian-uraian tersebut tampak jelas bahwa
pengaruh Natsir dalam pemikiran Amien sangatlah besar.
Berbeda dengan Nurcholis Madjid, yang justu menggagas wacana sekularisme
di tahun 1980-an. Namun demikian, sewaktu muda Cak Nur juga pernah
menyandang gelar sebagai “Natsir Muda”. Hal ini disebabkan inovasi
pemikirannya yang dirasa sesuai oleh kaum Islam modernis yang lebih tua
saat itu, bahkan selama masih menjadi mahasiswa Cak Nur secara luas
dianggap sebagai generasi penerus spritual M. Natsir.
Selain Amien Rais dan Nurcholis, Yusril Ihza Mahendara juga sangat
dikenal sebagai kader penerus gagasan-gagasan M. Natsir. Ini terlihat
bagaimana ia memperjuangkan aspirasi partai yang dipimpinnya, yakni PBB
(Partai Bulan Bintang) yang sampai saat ini masih eksis mempertahankan
Islam sebagai asas dasar partainya.
Implikasi Pemikiran Gus Dur
Secara institusional, pemikiran Abdurrahman Wahid cukup mewarnai manuver
politik NU. Meskipun secara lahiriyah NU merupakan organisasi sosial
akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sense natural politiknya selalu
muncul di tengah-tengah kemelut politik bangsa ini. Hal ini bisa dilihat
dari sejarah perjuangannya, pada tahun 1978-an NU yang saat itu masih
berafiliasi dengan PPP, dituduh oleh rezim Orde Baru sebagai embrio
gerakan anti Pancasila.
Tuduhan itu diangkat dari tindakan protes dan walk out para tokoh NU
dari sidang MPR yang membahas tentang rancangan ketetapan P4. Menurut
Sidney Jones NU adalah Organisasi Sosial terbesar di negara ini yang
masih memiliki aspirasi-aspirasi politis. Dan pada tahun 1971 ia menolak
untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang prilaku Politik,
kemudian pada tahun 1981 NU juga menolak mendukung Soeharto untuk
menjabat kembali atau memberinya gelar “Bapak Pembangunan”. Prilaku
inilah yang membuat NU menjadi sasaran tuduhan anti Pancasila oleh
rezim Soeharto.
Lebih lanjut, ditegaskan dalam pidato presiden Soeharto pada Rapim ABRI
1980 di Pekanbaru. Soeharto memperingatkan untuk tidak mencoba mengubah
Pancasila atau UUD 1945, ia mengingatkan “walk out” (walau tidak
menyebut NU) sebagaimana yang dilakukan ketika pembahasan masalah P4
pada tahun 1978 adalah salah satu contoh gerakan anti-Pancasila yang
harus diwaspadai. Ini menunjukkan kecemasan Soeharto terhadap gerakan
politik Islam.
Dalam perkembangan politik selanjutnya, NU yang saat itu sedang dipimpin
Gus Dur semakin dinamis dan akomodatif dalam merespon kebijakan
pemerintahan, ia menjadi aktor politik “nonpolitis” yang paling penting
atau yang biasa disebut dengan istilah NU kembali ke khittah 1926, dan
tentu saja inisiatif ini dimaksudkan untuk menjaga independensi politik
NU dari intervensi Soeharto.
Pemikiran liberal Gus Dur sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan
Ormas Islam ini, meskipun ada juga beberapa pemimpin NU terkemuka yang
tidak sepakat dengan pemikirannya, di antaranya para Kyai dan tokoh
senior NU, termasuk pamannya, Yusuf Hasyim, yang seringkali menentang
inisiatif dan pernyataan-pernyataannya. Untuk itu, implikasi pemikiran
Gus Dur terhadap NU ini tampaknya harus dilihat dari aspek nasionalisme
dan Islam.
NU menurut Gus Dur, mempunyai akar fondasi nasionalis yang kuat
sebagaimana yang telah dikatakan bapaknya (Wahid Hasyim) bahwa ia
bersedia mendukung suatu negara nasionalis non-Islami. Selain itu, Gus
Dur juga sering menekankan aspek-aspek nasionalis NU. Misalnya, dalam
sebuah pidato penting kepada anggota-anggota NU pada tahun 1992, ia
mengingatkan bahwa penerimaan NU kepada Pancasila bisa diterima karena
beberapa alasan.
Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1945 Soekarno meminta nasihat para
pemimpin NU, termasuk bapaknya untuk membantu Soekarno merumuskan lima
asas Pancasila. Lebih dari itu, Gus Dur menyatakan bahwa sebenarnya
tidak ada kontradiksi antara Islam dan nasionalisme, karena Islam tetap
bisa berkembang dalam suatu negara nasionalisme yang tidak didasarkan
pada Islam resmi.
Akibat dari pemikirannya yang bisa dikatakan nasionalis-Islam, Akhirnya
pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama menjadi Ormas Islam besar pertama yang
menerima Pancasila dalam Anggaran Dasarnya, yang kemudian dipertegas
kembali pada Muktamar ke 27-1984 di Situbondo Jawa-Timur bahwa Indonesia
adalah negara yang didasarkan Pancasila, dan UUD 1945 adalah merupakan
“Bentuk Final dari Negara” yang akan memerintah kepulauan Indonesia. Dan
yang perlu diingat bahwa Pernyataan tersebut ditegaskan di
tengah-tengah iklim politis yang saat itu benar-benar dalam keadaan
memanas antara Islam dan negara, yakni pasca peristiwa Tanjungpriok dan
pengeboman di Jakarta.
Sebenarnya yang mengeluarkan inisiatif kompromi Pancasila di atas
adalah Kyai Ahmad Shidiq (almh) dan Gus Dur sendiri dalam membentuk
dwitunggal yang bertangung jawab bagi transformasi dan revitalisasi NU
sebagai basis kekuatan Islam yang pluralis dan neomodernis. Sebelumnya
Ahmad Shidiq pernah menjelaskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai
asas tunggal karena merupakan hasil filsafat manusia, sementara Islam
merupakan wahyu Tuhan.
Selain berimplikasi di NU, pemikiran Gus Dur juga banyak mempengaruhi
visi dan misi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang ia pelopori sendiri.
Maka tidaklah mustahil kalau PKB selama ini tetap menempatkannya sebagai
Dewan Pertimbangan Penting di partai ini. PKB dipelopori oleh K.H.
Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri, K.H. Muchit
Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.
Melihat komposisi dari para pelopor di atas, sangatlah absurd kalau PKB
tidak terkait sama sekali dari kepentingan NU, sebab sebagian besar yang
membidani pembentukan partai ini adalah dari kalangan Kyai NU, ditambah
lagi Gus Dur yang saat itu sebagai Ketua Umum PB NU, meskipun masih
juga terdapat pro-kontra dalam pembentukannya. Pembentukan PKB merupakan
upaya jalan tengah warga NU untuk berjuang di garis struktural politik,
dengan seraya melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap
dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam‘iyah Diniyyah)
seiring dengan perubahan yang terjadi di pentas nasional.
Kekonsistenan pemikiran para tokoh NU, termasuk Gus Dur, masih tetap
bertahan dalam memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal di era
reformasi ini, meskipun saat itu rezim Orde Baru telah jatuh dan eforia
politik Islam sedang mendapatkan kebebasannya. Di lain kesempatan, Gus
Dur yang saat itu didampingi oleh Matori Abdul Djalil pernah menyatakan,
bahwa PKB bukanlah partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan
negara sekuler.
Dari sini bisa dilihat seberapa jauh implikasi pemikiran Gus Dur
terhadap strategi perjuangan partai ini. Sebagaimana uraian di atas
bahwa implikasi pemikiran Gus Dur ini tidak lepas dari aspek
nasionalisme dan Islam, yang keduanya itu tampak dalam AD/ART PKB yang
menjadikan Pancasila sebagai asas partai. Mengenai dipilihnya
nasionalisme dan demokrasi yang dijadikan landasan dasar PKB daripada
dasar agama, Gus Dur mengatakan bahwa PKB mengutamakan kepentingan
nasional.
PKB senantiasa mengutamakan substansi Hukum Islam melalui Hukum Nasional
dan bukan mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan, karena Republik
Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan nasional
dan bukan sebuah negara agama. Sedangkan dari sisi Islamnya, bagi Gus
Dur bukan berarti karena PKB tidak mengusung simbol-simbol Islam
kemudian dikatakan partai yang tidak Islami.
Dalam kaitan ini Gus Dur mengatakan:
“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB adalah Partai
Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main
curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan mereknya saja.
Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. Dan PKB tidak
mementingkan mereknya, tapi isinya.
“Akhlak dari Tauhid PKB adalah Islam. Daripada parpol yang berasas
Islam tapi tidak Islami, maka lebih baik seperti PKB, asas bukan Islam,
tetapi kelakuan dan tauhidnya orang Islam.
Penegasan bahwa PKB merupakan Partai Islam dengan corak keislaman
yang substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan Partai
yang menyatakan: “pengabdian kepada Allah S.W.T., menjunjung tinggi
kebenaran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan
persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahl
as-Sunnah wa al-Jama‘ah”. Walaupun kekentalan PKB dengan aspek Islam
sedemikan rupa, akan tetapi dalam kenyataannya tetap tidak membuat
partai ini tergoda untuk menegaskan dirinya sebagai partai Islam.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur tampaknya banyak mewarnai perjuangan PKB, di
mana sebuah partai yang nota bene berbasiskan muslim santri pedesaan
ternyata mampu membuat mereka (konstituennya) menerima pendekatan partai
yang bersifat nasionalis atau Islam-kultural dibanding Islam-formal.
Pemakaian Pancasila sebagai asas partai dilandasi oleh cara pandang
tokoh PKB dalam melihat Islam, mereka meyakini bahwa Islam tidak perlu
dilembagakan secara formal, tetapi yang penting adalah nilai ajaran
Islam harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Selain dari aspek institusional di atas, pemikiran Gus Dur juga
mempunyai implikasi yang bersifat personal terhadap tokoh-tokoh politik
dan pemikir Indonesia, Alwi Shibab merupakan salah satu politisi
sekaligus akademisi yang sedikit banyak mempunyai persamaan visi dan
misi dengan Gus Dur dalam memandang “relasi agama dan negara”,
sebagaimana yang sering dikatakan Gus Dur mengenai demokrasi, Alwi juga
menandaskan agama idealnya dapat mendorong proses demokratisasi bukan
malah menjadi alat legitimasi politik.
Dan istimewanya lagi ia dinilai mampu menerjemahkan pola pemikiran Gus
Dur, sehingga banyak kalangan yang menganggap kedua tokoh ini merupakan
duet yang ideal. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai politisi yang
mengedepankan etika dan moralitas. Mengenai visi dan misinya dalam PKB,
ia menyatakan bahwa partai ini merupakan partai terbuka dan inklusif
yang bercita-cita mewujudkan masyarakat bermoral, bukan membentuk sebuah
negara yang berdasarkan Syari‘at Isla>m.
Menurutnya, apabila Masyarakat telah menerapkan moralitas tentunya akan
membentuk negara yang bermoral pula. Bukan bentuk, sistem atau asas yang
diutamakannya, tetapi yang terpenting adalah usaha untuk menanamkan
substansi dan essensi Islam dalam menciptakan masyarakat yang beradab.
Lebih lanjut, Alwi mengatakan bahwa agama dan demokrasi juga sangat
berkaitan, karena nilai-nilai substansi tersebut telah mendukung proses
demokrasi, di antaranya yaitu keadilan, pemerataan, dan persamaan.
Sekali lagi, ia menegaskan bahwa tujuan Islam adalah menciptakan
masyarakat yang bermoral bukan menciptakan negara agama karena hanya
akan memecah belah keutuhan bangsa saja, maka ide semacam itu harus
ditinggalkan.
Saat ini Alwi Shihab menjabat sebagai Ketua Umum PKB, kehadirannya dalam
dunia politik patut diperhitungkan oleh kawan dan lawan politiknya. Di
samping itu, sebelum mejabat Ketua Umum PKB Alwi juga sempat menjadi
Menteri Luar Negeri Indonesia di era kepresidenan Gus Dur. Persamaan
visi dan misi membuatnya dekat dengan Gus Dur, bahkan karena
kedekatannya ia diangap sebagai loyalis Gus Dur. Maka tak heran kalau
dia kelihatan cukup fasih dalam membahasakan kebijakan Gus Dur seperti
hubungan dagang dengan Israil. Namun demikian bukan berarti pembelaannya
ini hanya disebabkan kedekatannya dengan Gus Dur semata, tetapi karena
secara argumentatif memang ada nilai-nilai positif baginya.
Sebenarnya Karier politik Alwi lebih dilatarbelakangi dari jalur
akademisi daripada organisasi, sebab sebelum terjun di dunia politik
praktis, Alwi adalah seorang pengajar Islamic Studies di Harvard Divity
School dan di Auburn Theological Seminary of New York. Namun demikian,
sikap dan pemikiran politisnya yang elegan tersebut membuatnya bisa
diterima oleh kalangan organisatoris tokoh NU dan PKB dan terpilih
sebagai Ketua Umum PKB.
Mengenai eksistensi agama di Indonesia, penulis buku inclusive Islam
(1997) ini, tidak jauh berbeda dengan pemikiran Gus Dur. Baginya Islam
adalah agama rah}matan li al-‘alami>n, jadi tidak perlu menggunakan
kekerasan dalam mendakwahkan ajaran, seperti yang dilakukan kalangan
Islam Radikal. Dalam acara silaturrahmi warga NU dan PKB di Jember, Alwi
Shihab meminta pada seluruh umat Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah
untuk berhati-hati terhadap berkembangnya Islam radikal, menyusul
banyaknya pengeboman yang dilakukan Islam radikal itu. Dan katanya, kita
adalah satu-satunya partai yang memiliki otoritas keagamaan yang dapat
menkounter radikalisme ini.
Untuk itu, ia juga sepakat kalau Syari‘at Isla>m tidak perlu
diundang-undangkan di negara ini, karena hanya akan memicu disintegrasi
bangsa yang plural ini. Selain itu, meskipun Islamlah yang mayoritas di
negara ini, namun dalam kenyataannya tidak semua orang Islam Indonesia
mengerti dan menjalankan ‘Aqidah dan Syari‘ah-nya. Lalu apakah harus
dipaksa? Padahal Islam dalam mensyiarkan Syari‘ah-nya itu selalu
bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan manusia itu sendiri.
Selain Alwi Shihab, banyak generasi muda NU yang saat ini masih terus
mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur, baik dalam memahami
agama maupun negara (politik). Salah satunya adalah Ulil Abshar
Abdalllah, ia dikenal sebagai intelektual muda yang sangat kontroversial
di kalangan NU, meskipun ia tidak akrab dengan dunia politik praktis
tetapi kekritisannya mengenai intervensi negara terhadap agama
menyegarkan kembali pemahaman wacana Islam di negara kita yang cenderung
membeku baginya.
Saat ini Ulil menjabat sebagai Direktur JIL (Jaringan Islam Liberal) di
Jakarta, sebelumnya ia aktif di LAKPESDAM NU. Pemikirannya sempat
mengundang reaksi keras para tokoh Islam Indonesia yang tergabung dalam
FUI, yang sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati untuknya. Sebenarnya
ada beberapa pokok pikiran Ulil yang secara essensial sama dengan
pemikiran Gus Dur, seperti Pribumisasi Islam, Islam kontekstual, dan
Islam Universal.
Beberapa pemahaman yang menurut Ulil perlu disegarkan kembali, di
antaranya yaitu: Pertama, penafsiran Islam yang non literal,
substansial dan sesuai dengan peradaban manusia yang selalu berubah.
Kedua, pemisahan unsur-unsur budaya lokal dan nilai fundamental dalam
ajaran Islam, artinya kita harus membedakan mana ajaran dalam Islam yang
merupakan pengaruh kultur Arab dan yang bukan. Misalnya, masalah
jilbab, potong tangan, rajam, jenggot, Jubbah dan ekspresi budaya arab
lainnya. Bagi Ulil budaya semacam itu tidak wajib diikuti, karena itu
hanyalah ekspresi lokal partikular Islam Arab saja, justru yang wajib
diikuti adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu.
Ketiga, perlu adanya pemisahan yang jelas antara kekuasaan politik dan
agama. Bagi Ulil agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan
kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil konsesi masyarakat melalui
prosedur demokrasi. Meskipun demikian nilai-nilai universal agama tetap
diharapkan partisipasinya dalam membentuk nilai-nilai publik.
Dalam wawancara yang dilakukan majalah Gatra, mengenai tuntutan
pemberlakuan syariat Islam oleh negara. Ulil mengatakan bahwa Islam
sebagai agama adalah masalah privat. Oleh sebab itu menurutnya, Islam
tidak perlu memformalkan Syari‘at Isla>m karena hanya akan
melibatkan peran negara (publik) secara penuh terhadap kehidupan
beragama kita (privat), dan kemungkinan yang lebih parah lagi adalah
terjadinya penyempitan pemahaman dan penyeragaman umat Islam dalam
beragama, padahal perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah.
Selanjutnya ia mengkritik secara tegas terhadap cara pandang yang
menyebutkan Islam adalah agama dan negara, baginya agama haruslah
dipisahkan dari peran negara sebagaimana yang ia uraikan di atas, agar
kesucian agama tetap terjaga. Hal ini sesuai dengan apa yang Gus Dur
cita-citakan selama ini bahwa umat Islam tidak harus menjadikan Islam
sebagai merk atau label belaka, akan tetapi lebih ditekankan pada
nilai-nilai substansinya karena kita hidup di negara yang sangat plural
agama dan budayanya, dan tentunya sangat berbeda dengan tradisi Arab di
sana.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa secara historis kondisi sosial
politiknya M. Natsir dan Gus Dur memang berbeda, Akan tetapi secara
ideologis perjuangan dan cita-cita politik mereka masih terus mewarnai
panggung politik Indonesia hingga saat ini. Hal ini bisa dilihat dari
implikasi pemikiran dan cita-cita mereka terhadap pemikiran politik
Islam yang sedang berkembang kini. Dan untuk lebih jelasnya, penyusun
simpulkan sebagai berikut:
1. Mengenai relasi Islam dan negara, meskipun secara teoritis keduanya
sepakat bahwa Islam tidak mempunyai sistem kenegaraan yang baku, akan
tetapi secara praksis aksi politik mereka berbeda. Menurut M. Natsir,
Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan
(integratif), ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya
merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi
atau falsafah hidup. Sementara menurut Gus Dur, antara agama dan negara
harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya (sekular), supaya tidak
terjadi pendistorsian. Dan seharusnya Islam hanya dijadikan sebagai
etika sosial saja dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai landasan
ideologi.
2. Secara normatif paradigma M. Natsir mengenai relasi Islam dan negara
di atas didasarkan pada salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات : ٥٦)
Sedangkan paradigma Gus Dur didasarkan pada salah satu kaidah Usul Fiqih yang berbunyi:
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ
Selain dari aspek normatif tersebut, aspek sosio-historis juga sangat
mempengaruhi cita-cita politik mereka baik dari setting sosial maupun
aktivitas organisasinya. M. Natsir dibesarkan di lingkungan Islam
modernis, yang sudah banyak melakukan pembaharuan dan pemurnian ajaran
Islam. Sedangkan Gus Dur tumbuh besar di lingkungan Islam tradisionalis,
yang memegang teguh doktrin Islam klasik dengan mengkontekskan pada
tradisi atau budaya setempat.
3. Corak pemikiran politik M. Natsir dikategorikan sebagai kelompok
idealis dalam wacana politik Islam. Dan sebagai konsekuensinya,
pemikiran semacam ini banyak berimplikasi pada tokoh Islam modernis,
yang mereformasi doktrin-doktrin lama dengan tetap berlandaskan
al-Qur’an, akan tetapi tetap menolak keras paham sekular.
Sedangkan pemikiran politik Gus Dur dikategorikan sebagai kelompok
realis, yang cenderung moderat dalam merespon realitas sosial. Meskipun
berlatar belakang tradisionalis, akan tetapi pemikirannya cukup mewarnai
di kalangan Islam neo-modernis, sebuah kelompok yang afirmatif dalam
merespon sekulerisme, dan secara tegas menolak formalisasi agama.
B. Saran-saran.
Relasi Islam dan negara selalu mengalami ketegangan, dalam kehidupan
politik Indonesia, apalagi menjelang Pemilu baik di era orde lama
ataupun orde baru. Akan tetapi ketegangan itu telah mengalami
metamorfosis di era reformasi ini, karena aspirasi politik Islam sudah
tidak dipasung lagi dalam berpolitik praktis seperti mendirikan partai
Islam.
Selanjutnya, skripsi ini hanyalah salah satu cara bagaimana menyikapi
relasi Islam dan negara di Indonesia. Dan lebih menitik beratkan pada
perbedaan cita-cita ideologi negara yang kemudian penyusun hadapkan pada
dua tokoh, M. Natsir dan Gus Dur. Untuk itu masih banyak aspek lain
yang bisa diteliti oleh penyusun selanjutnya mengingat baru sebagian
masalah yang saat ini penyusun kaji dari pemikiran kedua tokoh tersebut.
Di antaranya mengenai demokrasi, sistem tata negara Islam, eksistensi
partai Islam di Indonesia dan pandangan mereka terhadap pemberlakuan
Syari‘at Isla>m.
Dan tentunya, berkaitan dengan skripsi ini penyusun mengharapkan saran
dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang
ada. Selain itu penyusun sendiri sadar bahwa karya ini merupakan buah
pertama dari proses panjang pendewasaan intelektual penyusun, sehingga
masih sangat dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.
BIBLIOGRAFI
I. Kelompok Al-Qur’an/Tafsir
Departemen Agama RI (pengawas), Al-Qur,an dan Terjemahnya, Madinah: tp, 26 Rajab 1415 H
II. Kelompok Fiqih/Usul Fiqih
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada
Periode Madinah Dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Dkk, Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Haikal, Muhammad Husein, al-Hukumat al-Islamiyyat, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1983.
Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Qolam, 1977.
—————————, Al-Siyasat as-Syari’at, AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Sirry, A Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1996.
III. Kelompok Buku Lain
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons
Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993,
Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Abdurrahman, Moslem, Islam Transformatif, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.
Anggaran Dasar PKB.
Ahmad, Abd. Al-’Athi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad
Abduh, Mesir, al-Maiat al-Mishriyyat al-’Ammat li al-Kitab, 1978.
Ali, A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
Ali, Fachry & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam:
Rekonstruksi Pemikiran Islam Di Indonesia Masa Orde Baru, Bandung,
Mizan, 1995.
—————————————-, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990.
Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan 1989.
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2003.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, Bangil, al-Izzah, 1996.
Anshari, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler,
tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, Bandung, Pustaka
Salman, 1981.
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (ed), Tokoh dan Pimpinan Agama:
Biografi Sosial Intelektual, Jakarta, Badan Litbang DEPAG RI dan PPM,
1998.
———————, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melacak
Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan,
1994.
———————, Pergolakan Politik Islam di Indonesia dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, Jakarta, Paramadina, 1999.
Bakker, Anton & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1999.
Barton, Greg, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKiS, 2003.
—————-, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme
Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid,
alih bahasa Nanang Tahqiq, Jakarta, Paramadina, 1999, cet. 1.
Barton, Greg, dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997.
Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Hgue, Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982.
Dkk, Andrrée Fillard, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, LKiS, 1994.
Dkk, Anwar Haryono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.
Dkk, Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Dkk, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.
Dkk, Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental: sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta, eLSAQ, 2003.
Effendy, Bahtiar, dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1986.
Effendy, Bahtiar, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung, Mizan, 2000.
——————–, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1999.
——————–, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998.
Effendy, Djohan, The Contribution of The Islamic Parties to The
Decline of Democracy in the 1950, makalah Confrense on Indonesia
Democrasy, Monash University, 18 Desember 1992.
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung, Pustaka, 1998.
Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LkiS, 1999.
Gatra, No. 15, 16 Desesmber, 2002.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta, Andi Offset, 1989,
Hakim, Abd al-Hamid, as-Sulam, Jakarta, Sa’adiyah Putra, tt.
Hakim, M. Arief, Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Yogyakarta, Titian Ilahi Press.
Hamzah, K.H. Imron, dan Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur diadili Kiai-kiai, Surabaya, Jawa Pos, 1989.
Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 1999.
Hatta, Memoir, Jakarta, Tintamas, 1978.
http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.
Hoesen, K.H. Ibrahim, Fiqih Siyasi Dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik, Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV/1993.
Ida, Laode dan & Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Press, 1999.
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana
Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya,
1999.
Jawa Pos, Surabaya, 29 Mei 1999.
Jaiz, Hartono Ahmad, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta, Darul Falah, 2003.
Kreatif Islam dan Pancasila , Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara: Perspektif Modernis Dan Fundamentalis, Magelang, IndonesiaTera, 2001.
Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.
Karim, Muhammad Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, 1999.
Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta, Gramedia, 994.
Liddle, William, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic
Political Thougt and Action in New Order Indonesia, kertas kerja tidak
diterbitkan.
Luth, Thoir, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani Press, 1999.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1996.
—————————, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.
—————————, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung, Mizan, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik
Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at
I-Islami (Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir, Jurnal ISLAMIKA, No 13, 1994.
Malik, Dedy Djamaluddin & Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam
Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,
Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia,
1998.
Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, Jakarta, Hudaya, 1970.
Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Maududi, Islamic Law and Constitution, Lahore, Islamic Publication, 1990.
MD, Moh. Mahfud, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Mehden, Fred Den, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse, Syracuse University Press, 1986.
Minhaji, Ahmad, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2001.
Mitchel, Richard P., The Society of Muslim Brother, Oxford, Oxford Universuty Press, 1969.
Mochtar, Kustiniyati (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta, Gramedia, 1989.
Mudzhar, M. Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, 1985.
Nasution, S, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.
Natsir, M, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
———–, Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Media Dakwah, 2001, cet 1.
Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapura, Oxford University Press, 1973.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1966.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982.
—————-, Islam, Pancasila dan Asas tunggal, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1983.
—————-, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung, Mizan, 2000.
—————-, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Poesponegoro, Marwati Djoenod, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta, Departemen P&K, 1984.
Qutb, Sayyid, Khas}ais} al-Tasawwur al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu, Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993.
Rahman, Budhy Munawar, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.
Ramage, Douglas Edward, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi,
Islam, dan Ideologi Toleransi, Jogjakarta, Mata Bangsa, 2002, cet. I.
Republika, 27 Mei 1999, hlm. 3.
Rosidi, Ajib, M. Natsir, Sebuah Biografi, Jakarta, Girimurti Pustaka, 1990.
Schuman, Olaf, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan
Negara Islam”, Jurnal Paramadina, No. 2, Vol I, Jakarta, Paramadina,
1999
Shihab, Alwi, Mengemban Tuntutan Jaman, Yogyakarta, Wahyu Pustaka, 2000.
Sitompul, Einar M., NU dan Pancasila, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1993, edisi V.
Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, Panitia di Bawah bendera Revolusi, 1994.
Soenjoto, Peneliti dan peteliti, Yogyakarta, Ranggon Studi, 1983.
Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Bandung, Teraju, 2002.
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta, Logos, 2000.
Tempo, No. 42, 22 Desember 2002.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi berserak, Arus Deras Demokratisasi Glombong Ketiga di Indonesia, Bandung, Mizan, 1998.
Ulum, Bahrul, Bodohnya NU apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era
Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta,
2002.
Wahid, Abdurrahman, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989.
—————————, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta, Grasindo, 1999.
—————————, Prisma Pemikiran Gus Dur, yogyakarta, LkiS, 1999.
—————————, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Prisma, No. 4, April 1984.
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1959.
0 Comment