04 Mei 2012


                                                                                                            Al Madkhal fi Ilmi Dakwah.......
Pengantar Ilmu Dakwah
Sebuah Studi Sistematis dan Komprehensif
Tentang Sejarah, Sumber, Metode dan Permasalahan Dakwah
Berdasarkan Dalil dan Logika





Pengarang
Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuniy
Dosen Pengajar di Sekolah Tinggi Dakwah Islam
Madinah Munawwarah








Muassasah al-Risalah

Pasal Kelima
Cara-cara Dakwah

Mencakup pendahuluan dan lima bahasan:
1.       Cara hikmah :Pengertian, bentuk dan keistimewaannya
2.     Cara nasehat yang baik        :Pengertian, bentuk dan keistimewaannya
3.     Cara perdebatan       :Pengertian, bentuk dan keistimewaannya
4.    Cara tauladan yang baik      :Pengertian, bentuk dan keistimewaannya
5.      Keistimewaan-keistimewaan umum dari cara dakwah


Pengantar Cara Dakwah
Pada pembahasan sebelumnya kita telah mendefinisikan metode dakwah dengan mengatakan, “Cara cara yang ditempuh oleh para da`i dalam dakwahnya. Atau cara untuk menerapkan prinsip dakwah.
Pada dasarnya metode dakwah terlihat jelas pada cara-cara yang ditempuh dalam berdakwah. Cara-cara yang disatukan dengan aturan yang satu. Kumpulan cara-cara dakwah yang dapat menggerakkan perasaan dan tingkah laku dinamakan dengan metode perasaan. Kumpulan cara dakwah yang menagajak orang lain untuk berpikir, mentadaburi dan mengambil pelajaran dinamakan dengan metode al-aqly (pikiran). Dan kumpulan cara dakwah yang bertumpu pada perasaan dan perngalaman yang bersifat kemnusiaan dinamakan dengan metode kemanusiaan.
Menisahkan antara satu dengan lainnya sangatlah susah dan rumit. Al-Qur’an telah menjelaskan dengan penjelasan yang terang. Sebagaimana al-Qur’an juga mengisyaratkan dengan ayatnya yang lain. Hanya saja jika kita menemukan bahwa seluruh cara dakwah saling berdekatan dalam al-Qur’an dan juga Sunnah.
Pada pembahasan ini kita akan mengurai induk dari cara dakwah, apakah yang dijelaskan dalam nash al-Qur’an atau cara yang kita pahami dari kumpulan nash tersebut. Serta dari kumpulan pelaksanaan dakwah yang  terdapat pada Sunnah Rasulullah Saw. Kita akan cukupkan pada empat poin saja. Empat poin yang merupakan rujukan dari cara-cara yang lain. Dan setiap poin akan saya uraikan pada pembahasan yang khusus. Saya akan menjelaskan pengertian, bentuk-bentuk, karakteristik dan beberapa permasalahan lain yang terkait dengan cara-cara dakwah.
Allah Swt. berfirman dalam rangka menjelaskan induk metode-metode dakwah:
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.* dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. * bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. *Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.[1]

 
Pembahasan Pertama
Cara Hikmah
Pengertiannya:
Hikmah menurut bahasa bisa digunakan dalam beberapa makna. Di antaranya adalah keadilan, ilmu, kebijaksanaan, kenabian, al-Qur’an, Injil, Sunnah dan beberapa penggunaan yang lainnya. Sebagaimana ia juga bisa diartikan sebagai ‘illah (alasan). Dikatakan: alasan penetapan hukum dan apa yang menjadi alasan dari yang demikian? Ia juga digunakan bagi sesuatu yang lafalnya sedikit sedangkan maknanya besar. Seseorang dikatakan bijaksana apabila ia telah dihadapkan kepada berbagai permasalahan sehingga membuatnya menjadi tangguh[2]
Menurut istilah, ulama mengartikannya dengan pengertian pengertian yang beragam. Namun juga merujuk kepada maknanya secara bahasa. Diantarnya adalah:
Al-Hikmah adalah mendapatkan kebenaran dengan ilmu dan akal. Adapun yang dimaksud dengan hikmah dari Allah Swt adalah mengetahui sesuatu dan menemukan sesuautu tersebut dalam tujuan utama dari penetapan hukum. Mengetahui segala yang ada dan mengatahui segala bentuk kebaikan.[3]
Hikmah juga diartikan dengan “sebuah ibarat dari mengetahui sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama”.[4]   
Ia juga diartikan sebagai “Meletakkan sesuatu pada tempatnya” dan “Kesesuaian antara perkataan dan perbuatan”.[5]
Ibnu Katsir mengartikannya al-Hakim sebagai “Orang yang bijaksana dalam perbuatan dan perkataannya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya”.[6] Dan masih banyak lagi pengertian yang lainnya.
Dari pengertian-pengertian yang ada maka uslub hikmah bisa diartikan sebagai cara yang meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dari segi ini maka cara hikmah mencakup semua cara dakwah.
Urgensitas dan Keutamaannya:
Urgensitas hikmah dan besar keutamaannya terlihat dari beberapa hal-hal. Di antaranya:
1.      Makna hikmah yang mencakup teori dan amal, maka seseorang tidaklah dikatakan bijaksana kecuali telah terdapat dua hal ini padanya.[7]
2.      Allah menggunakan al-Hakim (yang bijaksana) terhadap diri-Nya dan mengulang-ulangnya di dalam al-Qur’an hampir 80 kali.
3.      Hati Rasulullah Saw dipenuhi dengan hikmah. Dalam hadis Rasul disebutkan, “Dilobangilah atap rumah saya –ketika saya berada di Makkah—maka Jibril turun. Ia lalu membedah dada saya dan kemudian mencucinya dengan air zam-zam kemudian mengusapnya dengan emas yang penuh dengan hikmah dan keimanan. Keduanya lalu meliputi hati saya dan kemudian menutupinya.”[8]
4.      Mengajarkan hikmah merupakan pekerjaan Rasul yang paling mulia. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah)”[9]
5.      Allah Swt memerintahkan dakwah dengan hikmah. Allah Swt berfirman:
Artinya:”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik”[10]
6.      Allah Swt menjadikan hikmah sebagai sesuatu yang paling utama yang diperoleh seseorang. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”[11]
7.      Hikmah merupakan sesuatu yang dibolehkan untuk saling iri terhadapnya di dunia. Dalam hadis disebutkan, “Tidak dibolehkan dengki kecuali dalam dua hal. Seseorang yang diberikan harta oleh Allah kemudian ia membelanjakannya dalam kebaikan dan seseorang yang diberikan hikmah oleh Allah dan kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya.”[12]
Dan masih banyak hal-hal ataupun nash-nash lain yang menunjukkan keistimewaan cara hikmah dan urgensitasnya.
Bentuk Cara Dakwah dengan Hikmah
Bentuk-bentuk cara dakwah dengan hikmah sangat banyak dikarenakan ia mencakup perkataan dan perbuatan.
Oleh karena itu kita akan fokus terhadap bentuk cara dakwah dengan hikmah kepada beberapa aspek, yaitu:
1.      Bentuk hikmah dari segi metode dakwah
2.      Bentuk  hikmah dari segi cara-cara dakwah
3.      Bentuk hikmah dari segi sarana-sarana dakwah
A.    Di antara bentuk Hikmah dari segi metode dakwah. Di antaranya adalah:
1.      Menetukan prioritas, mendahulukan yang lebih penting dari yang penting. Metode dakwah tidaklah dianggap sebagai metode yang baik dan bijaksana jika tidak mampu menentukan skala prioritas dalam dakwah. Mendahulukan hal yang lebih penting dari pada yang penting, seperti mendahulukan urusan akidah dari ibadah ataupun akhlak. Mendahulukan yang wajib terhadap dari yang sunat. Mendahulukan untk meninggalkan yang haram daripada meninggalkan yang makruh. Mendahulukan maslahat yang berisifat umum daripada maslahat yang bersifat khusus ketika terjadi pertentangan. Mendahukan hal-hal yang bersifat primer dari hal-hal yang bersifat sekunder ataupun tersier.[13]
Hal ini telah dipraktekkan pada masa awal perkembangan dakwah Islam. Dimana dakwah dimulai dengan memperkuat segi akidah dan kemudian beralih terhadap penjelasan yang berkaitan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Dalam hadis Mu’adz juga memaparkan hal ini, dimana Rasulullah Saw mengajarkannya mulai dari keimanan kemudian shalat, zakat dan seterusnya.[14]
2.      Bertahap dalam menerapkan skala prioritas, termasuk ketika berkaitan dengan perorangan dan msyarakat umum. Sebagaimana yang dijelaskan al-Qur’an atau yang diberitakan oleh Aisyah ra atau seperti yang dijalankan oleh kahalifah Umar bin Abdul ‘Aziz ra dalam memperbaiki kondisi umum di zamannya.[15] 
3.      Kesesuaian metode dengan semua kondisi dan umum serta tingkatan. Sebuah metode dakwah tidaklah dikatakan bijaksana jika ia menyamakan posisi yang lemah dengan yang kuat; atau antara keadaan aman dengan dalam peperangan; atau keadaan yang sering terjadi dengan yang jarang terjadi. Sebagaimana ia juga tidak dikatakan metode yang bijaksana jika tidak membedakan antara yang besar dengan yang kecil, wanita dengan laki-laki, orang yang berilmu dengan orang awam, musuh dengan teman, pemimpin dengan rakyat dan hal lainnya dari kondisi-kondisi dan tingkatan-tingkatan yang menuntut adanya pemisah. Dalam hadis Rasul disebutkan, “Wahai Aisyah, jikalaulah kaummu tidak dekat masanya dengan kekafiran maka saya akan membongkar ka’bah dan akan membuatkan baginya dua pintu:  pintu masuk dan pintu keluar.”[16] 
Imam Bukhari dalam Shahihnya mengkhususkan."bab tersendiri bagi hadis ini dan menafsirkannya dengan perkataannya, “Bab siapa yang meninggalkan memilih beberapa urusan disababkan takut tidak maksimal (dalam pelaksanaannya) maka merekalah orang yang masuk ke dalam keadaan yang lebih parah.”[17] 
Dalam hadis juga disebutkan, “Posisikanlah manusia pada posisi mereka.”[18] Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk lainnya yang diketahui oleh para da’i yang bijaksana.[19]
B.     Betuk-bentuk Hikmah dari segi Cara Dakwah. Di antaranya adalah:
1.      Pemilihan metode yang sesuai untuk dijalankan pada kondisi yang sesuai dan keadaan tertentu. Terkadang sebuah metode cocok dijalankan pada suatu situasi dan kondisi tertentu, tidak pada yang lainnya. Oleh karena itu maka seorang da’i harus memilih metode yang bersifat perasaan ketika kondisi menuntut yang demikian dan memilih metode yang bersifat pemikiran dalam berdebat.
Rasulullah Saw pernah menggunakan keduanya (metode dakwah ‘athifi dan pemikiran) sekaligus ketika seorang pemuda datang menemui Rasulullah Saw ketika meminta izin untuk berzina. Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadis dari Abi Umamah  ra yang mengatakan, “Seorang pemuda datang menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, Izinkanlah saya untuk berzina.” Orang-orang serempak memandangnya dan mencemeehnya dengan mengatakan, “cis....cis” Rasul berkata, “Mendekatlah” Maka pemuda tersebut mendekat dan duduk di samping rasul. Rasul kemudian memerintahkannya, “apakah engjkau suka jika itu dilakukan pada ibumu” Ia berkata, “Tidak, demi Allah, Saya menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula orang lain, mereka (juga) mencintai ibu-ibu mereka.” Rasul berkata, “Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada anak perempuanmu.”  Ia berkata, “Tidak, demi Allah, Saya menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula orang lain, mereka (juga) mencintai anak-anak perempuan  mereka.” Rasul berkata, “Apakah kamu suka jika hal itu dilakukan kepada saudari perempuanmu?.”  Ia berkata, “Tidak, demi Allah, Saya menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula orang lain, mereka (juga) mencintai saudara-saudara perempuan  mereka.” Rasul berkata, “Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada bibimu?.”  Ia berkata, “Tidak, demi Allah, Saya menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula orang lain, mereka (juga) mencintai bibi mereka.” Rasul berkata, “Apakah engkau suka jika itu dilakukan kepada saudari ibumu?.”  Ia berkata, “Tidak, demi Allah, Saya menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula orang lain, mereka (juga) mencintai saudara perempuan ibu mereka.” Abi Umamah berkata, “Rasulullah kemudian meletakkan tangannya pada pemuda tersebut seraya berkata, “Ya Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya.”  Sesudah itu pemuda tersebut tidak pernah berniat untuk melakukan yang demikian.[20]
Seruan Rasulullah Saw terhadap pemuda tersebut, “Mendekatlah”  dan kedekatan Rasul terhadapnya serta Rasulullah meletakkan tangannya pada pemuda tersebut mendo`akannya, merupakan metode ‘athifi (yang menyentuh perasaan) yang dapat menggetarkan perasaan dan hati. Selain itu diskusi Rasulullah Saw dengan pemuda tersebut dengan menganalogikan keadaannya dengan orang lain merupakan cara yang menggunakan pemikiran. Penggunaan dua metode ini dalam satu keadaan sebagai tanda kebijaksanaan Rasulullah Saw yang tiada tara dalam berdakwah.
Pemuda yang datang kepada Rasulullah Saw dan meminta izin untuk berzina menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemuda yang lemah yang tidak memiliki keistiqamahan serta seseorang yang pribadinya sedang goncang. Semua ini mendorongnya untuk melakukan zina. Di sisi lain iman yang ia miliki mencegahnya untuk melakukan hal tersebut dan mendorongnya untuk meminta izin pada Rasulullah Saw. Meminta izin untuk melakukan zina merupakan realita yang menunjukkan bahwa satu sisi ia mengidap sebuah penyakit dan di sisi lain masih ada sifat baik pada dirinya. Jika tidak, maka ia sudah berzina sebagaimana orang lain berzina. Tindakan Rasullah Saw ini mencerminkan pribadinya yang mampu menguasai keadaan dan mampu menggunakan kedua metode dalam waktu bersamaan hingga beliau mampu menyelamatkan pemuda tersebut dan mengembalikannya pada jalan kebenaran.
2.      Memilih bentuk yang sesuai dari metode-metode ataupun car-cara pilihan dalam berkdawah. Bentuk-bentuk cara dakwah bagi suatu metode berbeda-beda. Hikmah menuntut seseorang untuk memilih bentuk yang sesuai untuk suatu kondisi. Apa yang dikatakan ketika dalam kondisi bahagia akan beda dengan apa yang dikatakan ketika susah. Apa yang dikatakan ketika kondisi sulit akan berbeda dengan apa yang dikatakan ketika lapang. Berita gembira memiliki posisi sendiri begitupun kabar pertakut. Siapa yang rasa takut lebih dominan pada dirinya maka ia akan menggunakan cara memberi kabar gembira dan pengharapan. Siapa yang harapan dan cita-cita lebih dominan pada dirinya maka ia akan menggunakan uslub tarhib (memberi kabar pertakut) dan peringatan, dan begitu seterusnya.
Berbeda dangan cara Rasulullah Saw ketika menghadapi salah seorang Arab yang datang menemuinya meminta keringanan dari kewajiban agama yang ada, maka rasul berkata, “Demi Allah, saya tidak menambah dan tidak pula menguranginya.”[21]    Dengan posisi salah seorang muslim fakir yang datang meminta tambahan amal kebaikan maka Rasulullah Saw berkata, “Orang-orang kaya mendapatkan pahala (dengan harta mereka)”[22]
Cara Rasulullah Saw berdakwah dengan terang-terangan berbeda dengan berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abi Arqam. Begitu juga dengan perbedaan sikap beliau antara  peperangan dengan perjanjian Hudaibiyah. Lihat juga bagaimana Rasulullah Saw menyikapi rasa cemburu isteri-isterinya[23] serta cara-cara dakwah lainnya..[24]
3.      Berpedoman kepada cara memberi peringatan yang baik. Pertama, mengenalkannya dengan kesalahan, kemudian menasehati, kemudian, memberikan peringatan, kemudian pelarangan dengan menuggunakan tangan, kemudian memberikan ancaman dan terakhir memberikan pukulan. Allah Swt berfirman:
Artinya: "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (selingkuh), Maka nasehatilah  mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.[25]
Dalam hadis disebutkan, “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, Jika tidak sanggup dengan lisannya, jika tidak sanggup dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.”[26]
Ayat ini mengisyaratkan terhadap urutan dalam merubah kemungkaran. Sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis dengan urutan-urutan yang telah ditentukan. Dimulai dengan tingkatan yang paling kuat disusul dengan yang ringan dan kemudian yang lebih ringan. Tidak ada pertentangan dari tahap perubahan dengan berpegangan terhadap tingkatan-tingkatannya. Maka seorang da’i ketika menjalankan tingkatan-tingkatan perubahan harus memperhatikan urutan yang ada. Jika keluar dari jalur urutan yang ada maka ia telah dianggap keluar dari hikmah dalam berdakwah dan keluar dari jalur perhitungan.[27] Lihatlah bagaimana cara Muadz bin Amru bin al-Jamuh ra dalam berdakwah terhadap ayahnya dan bagaimana perhitungannya.[28] Begitu juga dengan cara yang dipakai Ibnu Rawahah dalam mengajak Abi Darda` masuk Islam.[29]
4.      Mencari faktor-faktor pendorong dan sebab-sebab untuk menumbuhkan perhatian dalam memilih cara dakwah. Cara dakwah ketika berhadapan dengan dengan orang awam akan berbeda dengan cara dakwah ketika berhadapan dengan musuh. Cara dakwah ketika memberikan solusi terhadap orang yang lemah akan berbeda dengan cara dakwah ketika berhadapan dengan orang yang tidak memiliki kekurangan. Dan begitu seterusnya.
Perbedaan ini menuntut seorang da’i memiliki untuk memiliki kepribadian yang berbeda pada setiap setiap hal sesuai dengan situasi dan kondisinya. Oleh sebab itu, ia mesti memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Kaedah dasar dalam membentuk pribadi yang yang siap siaga adalah dengan cara membentuk prasangkah yang baik sesama muslim dan waspada terhadap musuh.
b.      Seorang da’i yang kehilangan jati diri, hendaklah menyusun langkah-langkah untuk mengobati permasalahannya sendiri. Jangan menantangnya karena yang demikian dapat memberikan dampak dimana seorang dari bisa menjadi benar atau menjadi salah.
c.       Memilih cara yang sesuai dengan kepribadian yang diinginkan.
5.      Menjaga perbedaan keadaan kondisi dakwah baik dakwah yang bersifat pribadi atau kelompok (kolektif). Cara dakwah akan berbeda dari satu keadaan dengan keadaan lainnya dan dari satu kondisi dengan kondisi lainnya. Cara dakwah yang dipakai ketika berada di negara muslim akan berbeda dengan cara dakwah yang dipakai ketika berdakwah di wilayah non-Muslim.
Diantara bentuk hikmh dalam berdakwah di negara Islam adalah melalui jalur lembaga resmi yang berada di negara tersebut atau melalui lembaga masyarakat yang diakui di negara tersebut. Tidak bijak ketika dakwah dijalankan melalui lembaga yang bersifat rahasia. Sebab cara seperti ini pantasnya digunakan untuk berdakwah di negara yang bukan Islam.
Hal ini merupakan bentuk kewajiban para da’i terhadap negara Islam untuk selalu menjaganya, memperbaikinya, menguatkannya walaupun negara tersebut dalam keadaan lemah, atau berlaku zalim atau bertindak semena-mena. Dan jika negara Islam itu tidak ada maka kewajiban bagi para da`i adalah mendirikan negara Islam tersebut.
Cara rahasia yang digunakan di negara Islam walaupun itu baik, tapi nilai negatifnya akan mengalahkan nilai positifnya. Terkadang dalam kondisi seperti ini para da’i bisa terbawa ke dalam posisi yang sulit yang ia seharusnya tidak berada dalam posisi tersebut. Seperti bisa berubah menjadi orang yang mendengarkan dan ta’at terhadap pemimpin kelompok mereka. Pada akhirnya dakwahnya dipahami sebagai gerakan yang bertentangan dengan negara Islam itu sendiri. Pada ujungnya negara akan memeranginya bukan menyokong ataupun menguatkannya gerakannya.
Kebanyakan para da’i dalam kondisi seperti ini salah bersikap. Mereka menggambarkan dakwah Islam seolah-oleh dakwah yang dimusuhi bagi negara mereka berada walaupun di negara tersebut tidak ada pemisah antara negara dengan yang lainnya. Oleh karena itu mereka semakin memperbanyak musuh dan menyedikitkan teman. Mereka lebih memilih hidup dengan dakwah dalam kegelapan yang membuat orang lari daripadanya. Pada akhirnya dakwah seperti ini tidak akan memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat kecuali hanya sedikit.
Hal yang perlu diperhatikan dalam posisi seperti ini adalah bahwa perorangan ataupun jema’ah tidaklah bebas dalam menghukumi sebuah negara kafir atau muslim, zalim atau fasiq, negara Islam atau tidak. Kemudian menentukan posisi sendiri terhadapnya dan mencari cara yang sesuai dalam menghadapinya. Ia bukanlah berdasarkan hasil ijtihad mereka masing-masing. Sebab ijtihad mereka berbeda-beda yang pastinya cara yang mereka gunakan juga akan berbeda-beda. Bahkan dalam hal ini mereka harus kembali kepada orang yang memegang tampuk kekuasaan pada umat tersebut. Dialah yang memiliki kemampuan dalam menjalankan perintah dan mampu menetapkan hukum bagi sebuah kasus berdasarkan hukum syariat dengan pertimbangan-pertimbangan dakwah yang matang. Dengan ini maka perbedaan yang ada akan dapat dihindari, pertentangan dalam hal umum akan bisa diamankan dan pada akhirnya dakwah akan membuahkan hasilnya, insya Allah.
C.    Bentuk Hikmah dalam cara-cara Dakwah
1.      Dalam sarana yang bersifat maknawi (abstrak). Berupa akhlak yang mulia dan sifat yang terpuji.
a.       Para da`i mesti memberikan perhatian, menambakkan ambisi dan juga bersusaha keras untuk melaksanaikan akhlak yang mulia atapun sifat yang terpuji.
b.      Memilih akhlak (prilaku) yang cocok bagi kondisi yang dihadapi. Hal ini tergantung pada keadaan dan kondisi. Di antaranya adalah bersikap lunak dan lembut terhadap kekerasan dan bersikap memaafkan dan toleransi terhadap pembangkangan. Allah Swt mensifati hamba-Nya yang mukmin dengan firman-Nya:
Artinya: " Orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka."[30]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: " Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,"[31]
Bukanlah dikatakan dengan hikmah dalam berkdwah ketika memakai cara yang keras untuk hal-hal yang lembut atapun menggunakan cara yang lembut pada  tempat yang semestinya keras.
2.      Dalam sarana yang bersifat materil
a.       Para da’i menggunakan semua sarana yang dibolehkan, memudahkan dan sarana yang terdapat pada masanya dari siapaun dan kapanpun. Hal ini merupakan bentuk mensyukuri nikmat Allah yang telah memberikan kemudahan dalam menjalankan dakwah.
b.      Menjauhi semua sarana yang haram dan makruh. Sebab hukum sarana sama dengan hukum tujuan. Sarana dakwah dan tujuannya tidak bisa membolehkan segala bentuk cara.
c.       Memperbaiki sarana al-masyubah (yang terkontaminasi). Ia adalah sarana yang di dalamnya terdapat hal yang haram dan yang halal. Sarana ini digunakan setelah diperbaiki sebagaimana yang dijalankan Rasulullah Saw dalam cara “an-nadzir al-‘uryan” . pembahasannya secara terperinci akan dijelaskan dalam pasal “Wasilah Dakwah” insya Allah.
d.      Toleransi dalam menggunakan sarana dakwah yang ulama berbeda pendapat tentang hukumnya pada kondisi darurat, atau ketika kebutuhan dan maslahat umum menuntut yang demikian. Berhati-hati dalam selain kondisi ini. Penjelasaannya secara umum akan dijelaskan pada pembahasan "Wasilah Dakwah".
e.       Meningkatkan sarana dakwah agar sesuai dengan kontek dakwah dan mengungguli sarana yang digunakan oleh musuh. Allah Swt berfirman
Artinya:"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu [32]
Menakut-nakuti musuh yaitu dengan mencari cara atau sarana apapun yang mengungguli cara ataupun sarana yang mereka gunakan.
Di antara Keistimewaan-keistimewaan cara hikmah:
1.      Ia mungkin dipelajari dan didapatkan. Sebab kebijaksanaan merupakan akhlak baik dan salah satu sifat mulia yang mungkin didapatkan sebagaimana sifat lainnya. Allah Swt berfirman,
Artinya:"Dan  mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah,"[33]
 Dalam sebuah hadis disebutkan, “Dia menetapkan hukum dengannya (hikmah) dan mengajarkannya.”[34]
Di antara cara dalam mempelajari dan mendapatkannya:
a.       Membaca al-Qur’an, Sunnah Nabi, Sejarah nabi dengan mentadabburinya.
b.      Berteman dengan orang-orang yang bijaksana, mengikuti dan mempelajari sejarah hidupnya.
c.       Bersikap bijaksana  dalam semua lahan dakwah dan melatih jiwa untuk terus menjalankannya.
d.      Mengambil contoh dari gerakan dakwah yang bersifat individu dan lainnya.
2.      Besarnya pengaruh sikap bijaksana dalam dakwah. Seorang da’i yang bijaksana akan mendapatkan apa yang tidak didapatkan oleh da`i yang lainnya. Di antaranya adalah:
a.       Sampai pada tujuan dengan menempuh jalan yang singkat dan hasil yang banyak serta dengan resiko yang minim.
b.      Mendekatkan hati para da’i terhadap dakwah dan menghapuskan kedengkian dan rasa amarah
Allah Swt berfirman:
Artinya: "Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.* Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai Keuntungan yang besar. [35]
Dan masih banyak pengaruh baik lainnya.[36]


Pembahasan Kedua
Uslub Mau’izhah Hasanah (Nasehat yang baik)
Pengertiannya:
Al-Mau’izhah menurut bahasa diambil dari wa’azhahu, ya’izhuhu, wa’zhun, wa’izhah yang diartikan: menasehatinya, memperingatkannya dengan hukuman-hukuman dan memerintahkannya serta mewasiatkannya melakukan keta’atan.[37]
Al-Hasanah: kebalikan dari al-sayyi`ah (keburukan). Nasehat terkadang ada yang bersifat baik dan terkadang ada yang bersifat buruk. Ini dilahat dari objek nasehat dan perintah tersebut dan tergantung juga pada cara yang digunakan penasehat.
Dari sini Allah memerintahkan nasehat tersebut dengan pengkhususan yang terdapat dalam al-Qur’an:
Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.[38]
Jika terdapat perintah nasehat yang tidak ada pengkhususannya maka yang dimaksud adalah nasehat yang baik sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Swt.:
Artinya: Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka[39]
al-Mau’izahah Hasanah dalam istilah dakwah merupakan sinonim dari nasehat. Dan ia memiliki bentuk-bentuk yang banyak. Di antara bentuknya adalah:
1.      Perkataan yang baik dan lembut.
Allah Swt berfirman:
Artinya: "Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,"[40]
2.      Isyarat yang lembut dan dapat dipahami
3.      Memberikan kiasan atau disampaikan secara tidak lansung.
4.      Melalui cerita, khutbah ataupun komedi
5.      Mengingatkan dengan berbagai kenikmatan yang wajib disyukuri
6.      Memberikan pujian ataupun celaan
7.      Memberikan kabar gembira ataupun kabar pertakut
8.      Memberikan janji berupa kemenangan
9.      Bersabar
Dan masih banyak lagi cara-cara yang lansung ataupun yang tidak lansung dan dapat memberikan pengaruh kepada orang yang didakwahi. Dan kemudian mendoorong mereka untuk berbuat ketaatan dan kebaikan.
Contoh-contoh seperti ini juga sangat banyak ditemukan dalam al-Qur`an ataupun Sunnah Rasulullah Saw.
Urgensitas dan Keutamaannya
Adapun urgensitas dari nasehat yang baik dapat dilihat dari beberapa hal berikut:
1.      Secara terang dan jelas Allah Swt memerintahkannya dalam al-Qur'an.
Allah Swt berfirman:
Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik"[41]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".[42]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,"[43]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya:"Dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka."[44]
2.      Rasulullah Saw menjadikan nasehat merupakan dasar dari agama. Dalam sebuah hdis Rasulullah Saw besabda, "Agama adalah nasehat."[45] Adapun yang dimaksud dengan nasehat disini adalah perkataan yang baik sebgaimna yang telah dijelaskan sebelumnya.
3.      Rasulullah Saw mendukung para sahabat dalam penggunaan cara ini. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Rasulullah Saw mendukung (para sahabat) untuk melaksanakan shalat, membayar zakat dan memberikan nasehat kepada umat islam."[46]
4.      Seluruh para rasul menggunakan cara ini dalam dakwahnya. Allah Swt memberitakan tentang Nuh As.
Artinya: "Aku memberi nasehat kepadamu"[47].
Allah Swt juga berfirman tentang nabi Hud As:
Artinya: "Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu"[48]

Di antara karakteristik cara dakwah dengan nasehat yang baik
Dakwah dengan nasehat yang baik memiliki karakteristik ataupun keistimewaan yang banyak sekali. Diantaranya:
1.      Lembut dalam pengucapan dan penyampaian, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
2.      Cara penyampaian yang beragam. Oleh sebab itu seorang da`i bebas memilih cara dakwah dan menyesuaikan dengan  kondisinya.
3.      Memberikan pengaruh yang kuat dan besar pada jiwa orang yang didakwahi, diantara pengaruhnya sebagai berikut:
a.       Diterimanya nasehat dan bersegera untuk menjalankannya
b.      Menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dihati orang-orang yang didakwahi
c.       Dengan segera dapat membendung berbagai bentuk hal-hal yang mungkar. Mereka malu untuk melakukan kemungkaran sehingga tidak berani untuk menampakkannya.
Dan masih banyak lagi pengaruh dari nasehat yang baik yang digunakan oleh para da`i. Diantara contohnya adalah:
1.      Rasulullah Saw menggunakan cara ini kepada seorang Arab Badui yang buang air di mesjid. Dalam sebuah hadis diceritakan:
Dari Anas ra. ia berkata, bahwa suatu ketika kami bersama Rasulullah Saw di mesjid, datang sorang orang Arab Badui dan kemudian ia buang air di mesjid. Para sahabat rasulullah Saw berkata: usirlah ia" Rasulullah Saw berkata, "Jangan engkau ganggu, biarkanlah ia." Rasulullah Saw membiarkannya sampai ia selesai. Rasulullah Saw kemudian memanggilnya dan berkata, "Sesungguhnya ini adalah mesjid yang tidak boleh dikotori degan kotoran atau dengan sesuatu yang kotor. Akan tetpi empat ini hanya untuk berzkir kepada Allah Swt, shalat, membaca al-Qur'an, Atau sebagaimana yang dikatakan oleh  Rasulullah Saw. Ia lalu memerintahkan seseorang untuk membersihkannya.[49]
2. Sikap Rasulullah Saw ketika perang Hunain. Beliau membagi harta rampasan perang ia lalu mendapati sesuatu pada orang Anshar. Beliau lalu berkhutbah diantara mereka dan mengngatkan mereka dengan nikmat yang telah dianugrahkan Allah Swt kepada mereka dan keagungan-Nya dengan perkataan yang baik.[50]


Pembahasan Ketiga
Uslub Mujadalah (Perdebatan)
Pengertiannya:
Menurut bahasa al-mujadalah diambil dari jadalahu, mujadalah dan jidalan yang artinya mendebatnya dan memusuhinya. Perdebatan adalah ambisi dalam permusuhan serta kesanggupan untuk itu. Ia juga diartikan permusuhan yang bersangatan. Dalam hadis disebutkan, “Tidaklah suatu kaum berdebat kecuali mereka dalam kesesatan.” Debat juga diartikan menentang dalil dengan dalil dan mujadalah adalah berdebat dan saling bermusuhan.[51]
Sedangkan menurut istilah ulama mendefinisikannya dengan beberapa pengertian yang saling berdekatan. Di antaranya adalah:
Sebuah ibarat dalam perlawanan seseorang terhadap lawannya dengan menjelaskan ketidakbenara perkataannya dengan dalil yang kuat atau tidak.” [52]
“Perdebatan yang berkaitan dengan menonjolkan mazhab-mazhab dan menetapkan (kebenarannya).”[53] Ia juga diartikan sebagai “menentang dalil dengan memperlihatkan (dalil) yang lebih kuat.”[54]
Perdebatan terkadang dilakukan dengan cara yang baik dan terkadang dengan cara yang bathil (buruk ataupun tercela). Allah Swt berfirman:
Artinya: "Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. [55]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran ."[56]
Dari sini ulama membagi debat kepada yang terpuji dan yang tercela. Pembagian ini kembali pada tujuan debat, cara dan sarana yang digunakannya.
Debat yang bertujuan memperlihatkan dan menolong kebenaran dan dilakukan  dengan cara yang benar dan sesuai maka ia adalah debat yang terpuji. Sedangkan debat yang bukan bertujuan seperti itu dan juga dengan cara yang tidak baik serta tidak mendatangkan kebaikan maka ia adalah debat yang tercela.
Oleh karena itu perintah debat dalam al-Qur’an datang dengan adanya pengikat yaitu dengan cara yang baik.[57] Berjadal ataupun berdebat dengan cara yang baik merupakan salah satu cara dakwah menuju ajaran Islam yang diperintahkan. Serta hal ini juga dicantumkan dalam nash (dalil) al-Qur’an. Dan ia dianggap sebagai cara yang paling istimewa dalam menggunakan metode akal—sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Jadal juga bisa dikatakan dengan “al-munaqasyah, al-munazharah, al-muhawarah” dan istilah-istilah lainnya yang sebenarnya menunjukkan satu tujuan.
Sebagian ulama memandang bahwa debat pada dasarnya bukanlah bagian dari cara dakwah. Ia merupakan pelengkap yang dibutuhkan dalam berdakwah yang berfungsi untuk daf’u ash-sha`il” . hal ini berdasarkan kepada asal makna dan hakikatnya sera landasannya pada al-Qur’an yang memerintahkan untuk berdebat. Dalam ayat tersebut Allah me-‘athafkan (menggabungkan) debat terhadap dakwah bukan terhadap mau’izhah hasanah (nasehat yang baik). Allah Swt berfirman:
Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."[58]
Menurut saya perbedaan ini tidak memberikan pengaruh pada prakteknya. Sebab merupakan bentuk kebijaksanaan ketika menggunakan semua cara dalam berdakwah sesuai dengan tempatnya. Cara debat tidak akan digunakan kecuali ketika berhadapan dengan orang yang mendebat.  Ketika dipakai cara lain tidak mempan maka digunakanlah cara ini.. Adapun bagi orang yang langsung menerima nasehat yang baik, maka tidak perlu menggunakan cara jadal atau mendebatnya. Sebab berapa banyak orang yang berdebat dan itu tidak terlepas dari permusuhan. Dan cara seperti ini tidak mungkin diibaratkan sebagai daf’u ash-sha`il” Allah-lah yang lebih mengetahui!!
Urgensitas jadal (debat)
            Peran penting cara jadal dalam dakwah terlihat dalam beberapa hal, diantaranya adalah:
1.      Jadal merupakan fitrah kemanusiaan melekat pada dari manusia itu sendiri. Ia lahir dari orang yang baik dan buruk, besar dan kecil, laki-laki dan wanita. Allah Swt berfirman:
Artinya:"Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah."[59]
Begitu juga ketika Allah berbicara tentang orang-orang mukmin, Allah Swt berfirman:
Artinya: "Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang)[60]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya"[61]
Hal yang bersifat fitrah haruslah menjadi perhatian bagi para da’i  dalam dakwahnya.
2.      Allah memerintahkan untuk menggunakannya dalam dakwah. Allah Swt berfirman,
Artinya: "Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."[62]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, [63]
3.      Para Nabi menggunakan metode debat dalam dakwah mereka. Allah Swt berfirman,
Artinya: "Mereka berkata "Hai Nuh, Sesungguhnya kamu telah berbantah dengan Kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap Kami,[64]"
            Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)"[65]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya:" Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu"[66],
4.      Perhatian para da’i terhadap hal ini mulai dari zaman sahabat hingga hari ini. Beberapa penukilan yang menyatakan bahwa sebagian ulama salaf (ulama terdahulu) hanya mencela jadal (debat) yang tidak terpuji atau mendebat al-Qur’an dan ayat-ayat yang sudah jelas hukumnya.[67]
Etika berdebat adalah:
Berdebat memiliki beberapa adab ataupun sopan santun. Di antaranya ada yang berhubungan dengan faktor pendorong dan sebab-sebabnya. Di antaranya juga ada yang berhubungan dengan gaya dan caranya serta di antaranya juga ada yang berhubungan dengan pengaruh dan hasilnya.
Dalam menyebutkan adab ini dan bagaimana semestinya memperhtikan cara ini, ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang menyebutkannya secara global dan sebagian mereka menjelaskannya secara rinci. Semua adab yang disebutkan oleh para ulama saling melengkapi dalam mewujudkan 3 hal besar:
1.      Memperbaiki tujuan dan ini dari berdebat
2.      Memperbaiki cara dan bentuk berdebat
3.      Memperbaiki hasil dan pengaruh berdebat
Al-Kathib al-Baghdadi ra menyebutkan sekitar 30 adab[68] dan sebagian para penulis menyebutkannya dalam risalah khusus.[69]
            Karakteristik cara jadal (berdebat)
Debat memiliki beberapa keistimewaan. Di antaranya adalah:
1.      Debat mesti bertumpu pada ilmu dan pengetahuan. Debat tidak sah dilakukan tanpa ilmu. Al-Qur’an sendiri mencela orang yang mendebat orang lain tanpa ilmu. Allah Swt berfirman:
Artinya: "Hai ahli Kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal Ibrahim, Padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir? *. Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah membantah tentang hal yang kamu ketahui, Maka kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui."[70]
2.      Mengemukakan dalil terhadap lawan dan mematahkan argumennya. Tujuan utama debat adalah untuk menunjukkan argumen yang jelas. Jangan membiarkan orang yang membantah memiliki argumen yang ia tetap bersikeras untuk berpegang dengannya. Atau  meyakini hal yang dikeragui untuk dijadikan argumen dalam pendapatnya yang salah. Allah Swt berfirman:
Artinya: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang  yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."[71]
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkomentar, “Siapa yang tidak mendebat orang yang sesat dan orang yang  mengikuti bid’ah, dengan perdebatan yang mematahkan argumen mereka, maka ia tidak akan mendapatkan kebaikan Islam. Tidak juga akan mendapatkan faedah iman dan ilmu dan sedikitpun perkataannya tidak akan menjadi obat hati  dan membawa ketenangan. Perkataannya juga tidak akan melahirkan ilmu dan keyakinan.”[72]
3.      Faktor pendorong untuk melakukan debat sangat banyak. Di antaranya adalah:
a.       Faktor kejiwaan: seperti merasa sangat puas dengan suatu pemikiran atau merasa salut terhadap sesuatu sebagaimana terjadi ketika para Malaikat mendebat Allah tentang penciptaan Adam dan kemudian menjadikannya sebagai khalifah.[73] Begitu juga dengan rasa takjub orang-orang musyrik terhadap dakwah tauhid.[74] Dan masih banyak lagi faktor kejiwaan lainnya seperti takabur, merasa besar dan dengki sebagaimana dengkinya iblis.[75] Atau bisa disebabkan karena menganggap remeh dan mencela kebenaran dan orang yang berpegang terhadap kebenaran tersebut.[76] Atau bisa juga karena takut dan membeci sesuatu sebagaimana yang dialami sebagian orang mukmin ketika perang Badar.[77] Atau bisa juga karena adanya keinginan untuk mengaburkan kebenaran[78] dan keinginan-keinginan lainnya.
b.      Faktor ilmiah: seperti mengambil manfaat dan bertanya terhadap hal yang tidak ia ketahui, mendiskusikan sebuah dalil dan mencari yang kuat di antara dalil-dalil yang ada. Atau menghilangkan syubhat (keraguan) yang berkaitan dengan suatu hal.
c.       Faktor sosial: seperti rasa fanatisme terhadap sebuah pendapat atau kelompok tertentu atau terlalu berpegang terhadap sesuatu yang telah menjadi tradisi bagi nenek moyangnya dan faktor sosial lainnya.
Banyaknya faktor-faktor pendorong yang bersifat seperti ini harus menjadi perhatian dan diketahui oleh para da’i. Agar mereka mengetahui bagaimana berinteraksi dengan orangnya –sebelumnya telah kita sebutkan di antara indikasi-indikasi hikmah dalam cara dakwah. Al-Qur’an dan Sunnah sendiri banyak menukilkan contoh-contoh perdebatan, baik itu perdebatan yang berlangsung sesama orang beriman atau perdebatan orang kafir dengan orang mukmin yang mungkin dicermati dan diambil pelajaran oleh para da’i.[79]



Pembahasan Keempat
al-Qudwah al-Hasanah (Tauladan yang Baik)
Pengertiannya:
Al-Qudwah dan al-qidwah menurut bahasa adalah al-uswah atau tauladan. Dikatakan: Fulan merupakan tauladan yang diikuti. Al-Qidah : Contoh yang diikuti oleh yang lainnya yang mana orang lain memperbuat sebagaimana yang ia perbuat.[80]
Qudwah di sini diikat dengan al-hasanah (yang baik) agar tidak masuk kedalamnya tauladan yang buruk. Terkadang seseorang menjadi tauladan yang baik atau tauladan yang buruk. Dalam hadis disebutkan, “Siapa yang menunjukkan dalam Islam jalan kebaikan, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Siapa yang menunjukkan jalan keburukan, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”[81]
Tauladan yang baik dalam Islam dibagi pada dua bagian:
a.       Tauladan baik yang mutlak: yaitu yang terbebas dari kesalahan dan kehinaan sebagaimana yang terdapat pada diri para Nabi dan Rasul. Allah Swt  berfirman:
Artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu"[82]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: " Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali Perkataan Ibrahim kepada bapaknya  "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali."* "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan Kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. dan ampunilah Kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".* Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan Barangsiapa yang berpaling, Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji."[83]
Allah Swt juga befirman:  
Artinya: "Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka.[84]
b.      Tauladan baik yang diikat dengan sesuatu yang disyariatkan Allah. Sebab tauladan tersebut bukanlah seorang yang ma’shum (bebas dari dosa). Ini sebagaimana yang terdapat pada orang-orang saleh dan orang-orang yang bertakwa di antara hamba Allah dan mereka bukanlah para Nabi dan rasul. Selain dari para nabi dan Rasul terkadang sebagian mereka dijadikan tauladan dan sebagian lain tidak. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan mereka dalam kapasitasnya sebagai manusia. Atau ada kesalahan mereka dalam berijtihad. Oleh sebab itu menjadikan mereka sebagai tauladan terbatas kepada dukungan dari syariat.
Dengan hal ini menjadikan cara panutan yang baik menjadi salah satau cara yang umum. Sebab ia mencakup  segenap perbuatan yang baik; baik datang dari rasul atau yang datang dari selain rasul berupa orang-orang shaleh ataupun orang-orang baik.
Urgensitas tauladan yang baik.
Urgensitas dari cara memberikan panutan yang baik tampak dari beberapa hal, diantaranya:
1.      Allah Swt menjadikan para rasul dan juga orang-orang yang shaleh sebagai panutan dalam berbuat kebaikan bagi hamba-hambanya. Hal itu tidak cukup dengan menurunkan mereka akan tetapi juga mengutus rasul dan kemudian menceritakan perihal mereka serta sejarah hidup mereka kepada orang-orang yang beriman. Allah Swt kemudian memerintahkan mereka untuk mengikuti dan menjadikan mereka sebagai tauladan. Allah Swt berfirman:
Artinya: "Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka" [85]
2.      Merupakan sesuatu yang normal yang difitrahkan Allah Swt kepada manusia, untuk terpengaruh dengan tauladan. Dan kebanyakan pengaruh tersebut datang dari cara pendengaran, cerita, dan tidak terkecuali dalam hal yang bersifat praktis (perbuatan). Dan pengaruh seperti bersifat fitrah bukan perasaan.
3.      Pengaruh dari cara pemberian tauladan yang baik secara umum mencakup keberbagai elemen masyarakat dalam tingkatan yang berbeda. Dan bahkan orang-orang yang ummi (tidak bisa tulis baca) juga bisa terpengaruh. Sebab seseorang mungkin saja untuk menceritakan orang lain kepadanya dan kemudian orang tersebut mengikuti walaupun ia tidak memahaminya.
Maka dari sini dapat dipahami bahwa keutamaan para sahabat dan kemuliaanya tidak pantas untuk dikritik. Peringatan Allah Swt begitu keras dan tegas kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu dan kemdian berbuat kebalikan dari apa yang mereka katakan. Allah Swt berfirman:
Artinya:  Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? ) *  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."[86]
Karakteristit tauladan yang baik
Cara memberikan tauladan yang baik memiliki karakteristik ataupun keistimewaan sebagai berikut:  
1.      Mudah,cepatnya perpindahan kebaikan dari orang yang menjadi tauladan kepada orang yang meneladani. Sebab mengambil contoh berupa perbuatan dari seseorang yang diteladani lebih cepat pengaruhnya dari pada hanya sekedar cerita. Menampakkan perbuatan dengan berdasarkan kepada kebaikan dan mengaplikasikannya, akan melahirkan ketenangan dan ketentraman bagi orang-orang yang meneladani. Sebab ia tidak hanya sekedar mencontoh. Realitas ini banyak kita temukan dalam kehidupan.
2.      Adanya semacam jaminan kebaikan dari tempat mengambil tauladan dan jaminan kebenarannya. Tidak terkecuali pada hal-hal yang besifat rumit dan terperinci. Maka dari sini, Rasulullah Saw memastikan kepada umatnya dalam memberikan pengajaran kepada mereka tentang rukun Islam seperti shalat, haji. Dalam perintah shalat beliau berkata, "Shalatlah kalian sebagaimana saya shalat.[87] Dalam masalah haji beliau bersabda, "Ambillah dariku cara manasik kalian."[88]
Bahkan, malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Saw pada malam isra' untuk mengajarinya bagaimana tata cara shalat. Rasulullah mencontohnya dan para sahabat kemudian mencotoh Rasulullah Saw.[89]
3.      Dalamnya pengaruh pada diri seseorang, dan cepatnya perubahan dalam berbagai hal yang bersifat amaliah (perbuatan). Dalam hal ini Ummu Salamah mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw bersegera untuk melakukan al-halq dan al-tahalulul agar dicontoh oleh orang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah tersebut.[90] Sebagian para sahabat melakukan shalat bersama orang lain. Mereka pada hakikatnya tidaklah hanya sekedar shalat akan tetapi juga untuk mengajari mereka bagaimana shalat Rasulullah Saw.[91]
Pada hari penaklukan (Makkah), Rasulullah Saw meminta satu bejana susu atapun air dan meminumnya dihadapan orang banyak. Beliau membukakan puasanya. Ketika para sahabat melihatnya, mereka bersegera untuk membukakan puasanya.[92]
Dan masih banyak lagi keistimewaan dengan cara seperti ini yang dipahami oleh kebanyakan para da`i.


Pembahasan Kelima
Karakteristik Umum dari Cara-cara Dakwah
Secara umum, krakteristik dari cara dakwah hampir sama dengan karekteristik metode dakwah. Sebab cara dakwah—sesuai dengan penjelasan sebelumnya—yaitu cara untuk mengaplikasikan metode dakwah. Maka dari sini, bisa kita katakan bahwa karakteristik dari cara dakwah tidak lepas dari kedisiplinan, bertingkat dan berkelanjutan.
Sebagaimana kita mungkin untuk menambahkan beberapa karakteristik yang baru, mungkin juga mungkin juga bagi kita untuk menggabungkan keduanya dikarenakan adanya keserasian dan keterikatan antara metode dengan cara dakwah. Maka dari sini, dapat kita uraikan karekteristik umum dari cara dakwah.
1.      Fitrah.
Adapun yang dimaksud dengan hal ini adalah keserasian antara cara dakwah dengan fitrah manusia. Karena cara sebelumnya  memiliki bentuk yang beragam dan bisa bersinergi dengan hati orang yang di dakwahi. Kemudian hal tersebut dapat menggerakkan perasaannya. Cara dakwah banyak memberikan pengaruh dalam hal ini adalah pemberian nasehat yang baik dalam berbagai bentuk.
Ia juga bisa menyentuh akal orang yang didakwahi. Kemudian menggerakkan pikirannya dan mengajakknya untuk mengambil pelajaran dan mentadaburi ayat-ayat Allah. Dan yang banyak memberikan pengaruh pada cara dakwah seperti ini adalah jadal (debat dengan cara yang baik).
Ia juga bisa menyentuh inderawi manusia dan mengajak mereka untuk merasakan  apa yang ada disekitarnya. Dan yang banyak memberikan pengaruh pada cara dakwah ini adalah adalah memberikan tuladan yang baik.
Seorang penda`i yang bijaksana adalah mereka yang mampu memilih cara dakwah yang sesuai dengan kondisi medan dakwahnya diantara cara yang beragam. Hendaklah dakwah yang ia sampaikan dapat menyentuh fitrah orang yang diseru dari segala segi. Sebagaimana yang dijelakan dalam al-Qur'an atau yang jelaskan oleh Rasulullah Saw.
2.      Keberagaman
Adapun yang dimaksud dengan hal ini adalah keberagaman cara yang dimiliki oleh da`i untuk memenuhi segala kebutuhan dakwah. Dan melingkupi segenap fitrah orang yang didakwahi.
Terkadang dakwah butuh cara kekerasan dan terkadang butuh kepada cara yang lembut. Terkadang ia butuh kepada cara menghadapi kesalahan dan kemudian meluruskannya atau cara mengeneralisir dan kemudian tidak mempermasalahkannya. Rasulullah Saw terkadang berkata ketika mengingkari sesuatu, apa yang dipikirkan oleh suatu kaum dengan berkata, "Apa yang dipikirkan oleh suatu kaum dengan mengatakan demikian atau melakukan yang demikian. [93]
Terkadang beliau menghadapi orang-orang yang salah dengan mengatakan "Apa yang dimaksud dengan ungkapan seperti ini"[94]. dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Seorang da`i dikatakan bijaksana apa bila ia mampu menempatkan dengan baik cara-cara dakwah yang ada. Menempatkannya sesuai dengan situasi dan kondisi. Maka kesempatan untuk memilih terbuka lebar bagi dari dan kemudian mengaplikasikannya.
3.      Berkembang
Adapun yang dimaksud dengan berkembang adalah tidak monoton dengan satu cara dakwah. Sebab cara-cara dakwah selalu berubah dari waktu ke waktu, dari kondisi ke kondisi yang lain sesuai dengan tempat dan masa.
Terkadang suatu cara dakwah cocok bagi orang tertentu, dalam kondisi tertentu, atau umur tententu,. Jika seorang da`i tetap saja dengan cara yang ia gunakan, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat yang begitu berarti dalam dakwahnya. Oleh sebab itu seorang da`i mesti mengganti cara dakwahnya dan menyesuaikannya dengan kondisi orang-orang yang didakwahi. Mengembangkan cara dakwah tesebut seusua dengan kemaslahatan yang lebih banyak.
Terkadang, cara dakwah dengan memberi kabar gembira bisa berkembang menjadi memberi ancaman. Atau dari cara nasehat yang baik kepada cara yang kasar dan bahkan sampai kepada tahap pemukulan. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat:
Artinya: "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (selingkuh) Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka."[95]
Terkadang, cara dakwah kepada musuh bisa berubah dari kesepakatan damai kepada cara perang. Atau dari cara berperang kemudian berkembang menjadi perdamaian. Hal itu disesuaikan dengan kondisi orang-orang yang didakwahi.
Sebagaimana terjadinya perkembangan pada cara penerapan musyawarah dari satu bentuk kepada bentuk yang lain. Dari musyawarah yang bersifat personal menjadi musyawarah yang bersifat kelompok. Dari musyawarah yang bersifat bersifat anjuran menjadi musyawarah yang bersifat penerapan.
Atau sebagaimana terjadinya perkembangan pada cara tansaksi dan jual beli dari masa ke masa. Semua bentuk perubahan tersebut dapat diterima selama sesuai dengan korior hukum Islam dan tidak bertentangan dengan tujuan pensyariatan islam ataupun tidak menyebabkan lahirnya mafsadah (kerugian).
Pada dasarnya cara dakwah selain dari cara ibadah bersifat ijtihadiyah yang dapat dikembangkan. Hal ini berpotensi untuk digunakan oleh para da`i sesuai dengan tuntuntan zaman. Sebagai dalil atas yang demikian sebagaimana yang dilakukan oleh khulafaurrasyidin. Para sahabat yang mulai para ulama terdahulu dalam perkembangan penjagaan al-Qur'an dan Sunna Rasulullah Saw.
Cara penjagaan al-Qur'an telah banyak berkembang dari cara awalnya dengan menghafalnya. Kemudian menuliskannya pada lembaran-lembaran dan kemudian menggumpulkannya secara sempurna pada masa Abu Bakar. Pada masa Utsman, ia menyatukan kumpulan tersbut dan kemudian dilakukan usaha untuk pemberian titik dan baris pada masa setelahnya.
Begitu juga terjadi pada perkembaganan penjagaan sunnah, yang pada awalnya dengan menghafalkannya dan menuliskannya oleh sebagian para sahabat. Kemudian datang masa dimana para ulama memberikan perhatian khusus untuk melakukan penulisannya dan mengumpulkannya menjadi satu. Membedakan periwayatan yang benar dengan yang yang salah serta meneliti pada kondsi periwayatannya.


[1] QS. Al-Nahal: 125-128
[2] Lih. Lisanu’l ‘Arab, bagian “hukum” (12/140-143) dan “Mu’jam al-Wasith” (1/189)
[3] Lih. Mufradat al-Qur’an, Ar-Raghib, hal. 127
[4] Lih. An-nihayah fi Gharibi al-Hadis, (1/419)
[5] Lih. Al-Bahru al-Muhith, Abi Hayyan (1/393)
[6] Lih. Tafsir Ibni Katsir (1/184)
[7] Lih. Ghara`ib al-Qur’an, Naisaburiy (1/413), Tafsir ar-Raziy (4/73) dan (7/72)
[8] HR. Muttafaq ‘Alaihi. Llih. Shahih Bukhari ma’a al-Fathi, No. 349 (1/458-459) dan Shahih Muslim, No. 163.
[9] QS. Al-Baqarah: 129
[10] QS. An-Nahal: 125
[11] QS. al-Baqarah: 269
[12] HR. Muttafaq ‘Alaihi, Lih. Shahih Bukhari ma’a al-Fathi (73) (1/165) dan Shahih Muslim (268)
[13] Lihat lagi materi ini dalam kitab Awlawiyat al-Harakah al-Islamiyah fi al-Marhalah al-Qadimah, Dr. Yusuf al-Qardhawiy, dan bahas “al-Ihkam Baina Marahil al-‘Amal fi Da’wati al-Islam, Dr. Yusuf Muhyuddin Abu Hilalah dan “Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah” (20/48-61) dan Hayatu Ash-Shahabah, Kandahlawiy (1/ 123-125)
[14] HR. Muttafaq ‘Alaihi. Lih. Shahih al-Bukhari ma’a al-Fathi (1458) (322) dan Shahih Muslim (19)
[15] Telah disebutkan sebelumnya dalam bahas “Khashishatu at-Tadarruj” fi al-Khasha`ish al-‘Ammah li’l Manahij ad-Da’wiyah. Dan lihat juga bahas “at-Tadarruj Baina at-Tasyri’ wa ad-Da’wah, Dr. Yusuf Muhyuddin Abu Hilalah.
[16] HR. Muttafaq ‘Alaihi, Lih. Shahih Bukhari ma’a al-Fathi, No. (126, 1583, 1584, 1585) dan Shahih Muslim bi Sharhi an-Nawawiy (9/ 88)
[17] Shahih al-Bukhari ma’a al-Fathi (1/224), Lihat juga beberapa hadis yang menunjukkan terhadap hikmah ini yang dimasukkan Bukhariy ke dalam penafsiran ini.
[18][18] Penafsirannya telah disebutkan sebelumnya dalam bahas “Adabu ad-Da’iyah”, hal. 166.
[19] Lih kitab Da’wah Ila as-Sunnah Fi Tathbiqi as-Sunnah Minhajan wa Usluban, Dr. Abdullah ar-Rahiliy, Dar al-Qalam.
[20] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (5/256 dan 257) Telah ditakhrij pada Asalib al-Manahij al-Aqly, hal. 209.
[21] HR. Bukhari, Lih. Shahih Bukhari ma’a al-Fathi, No. 43, dan al-Fathi No. (1/ 106)
[22] HR. Muslim, Lih. Shahih Muslim, No. 1006.
[23] HR. Bukhari Lih. Shahih Bukhari ma’a al-Fathi, No. 2481 dan 5225 dan al-Fathi (5/ 124) dan (9/ 320)
[24] Lihat uslub rasul dalam menyikapi penyelewengan Bani Quraidzah terhadap perjanjian ketika perang Ahzab dalam Sirah Ibnu Hisyam, (3/32)
[25] QS. An-Nisa`: 34.
[26] HR. Muslim, Lih. Shahih Muslim, No. 49.
[27] Lih. Kitab, al-Hasbah fi al-Islam, oleh Ibnu Taymiyah. Didalamnya mengandung beberapa faedah dalam berbagai hal.
[28] Lih. Al-Hasbah fi al-Islam,Ibnu Taimiyah. Di dalamnya ada beberapa faedah dalam bidang ini.
[29] Lih. Hayatu ash-Shahabah (1/ 230-233)
[30] QS. Al-Fathi: 29
[31] QS. Al-Maidah: 54
[32] QS. Al-Anfal: 60
[33] QS. Al-Baqarah: 129, 151
[34] Hadis yang sudah ditakhrij sebelumnya, hal. 246.
[35] QS. Fushshilat: 34-35
[36] Lihat kitab al-Hikmah wa Atsaruha fi ad-Da’wah IlalLah, bahas untuk menyempurnakan program master pada bagian Dakwah di perkuliahan penulis (Ali Ahmad Masya’il) dan kitab Ru`yu ‘Ala Thariqi ad-Da’wah, Dr. Abdul Qadir Thasya, dan Hakadza ‘Alamatni al-Hayah, as-Siba’i.
[37] Lih. Lisanu’l Arabi, bagian wa’azha (7/466) dan Mu’jam al-Wasith, (2/1055)
[38] QS. An-Nahal: 125
[39] Qs. Al-Nisa: 34
[40] QS. Al-Baqarah: 83
[41] QS. Al-Nahal: 125
[42] QS. Thaha: 44
[43] QS. Al-Baqarah: 83
[44] QS. Al-Nisa': 63
[45] HR. Muslim dan telah ditkhrij pada pembahasan sebelumnya.
[46] HR. Muttafaq alaihi. Lih. Shahih Bukhary (7204) dan (57-58), HR Musllim (56)
[47] QS. Al-Araf: 62
[48] QS. Al-`Araf: 68
[49] HR. Muttafaq alaih. Lih. Shahih al-Bukhary (221 dan 6128). HR Muslim (3/196)
[50] HR. Muttafaq alaih Lih. Shahih al-Bukhary (3779, 4330, 7052, 7244 dan 7245). HR Muslim (7/123)
[51] Lih. Lisanu’l ‘Arabi, bagian jadala (11/105) dan Mu’jam al-Wasith, (1/111)
[52] Lih. Al-Kulliyat, Abi al-Baqa`, hal. 145.
[53] Lih. At-Ta’rifat, Jurjaniy, hal. 66.
[54] Lih. Al-Mishbah al-Munir, hal. 128.
[55] QS. An-Nahal: 125
[56] QS. Al-Ghafir: 5
[57] Lih. Surat an-Nahal: 125 dan surat Al-‘Ankabut: 46.
[58] QS. Al-Nahal: 125
[59] QS. Al-Kahfi: 54
[60] QS. Al-Anfal: 6
[61] QS. Al-Mujadalah: 1
[62] QS. Al-Nahal: 125
[63] QS. Al-Ankabut: 46
[64] QS. Hud: 32
[65] QS. Al-Baqrah: 258
[66] QS. Al-An`am: 25
[67] Lih. Kembali al-Faqih wa al Mutafaqqih, (1/ 230-235) dan Jami’ Bayani’l ‘Ilmi wa Fadhlihi, (2/ 92-108)
[68] Lih. Al-Faqih al-Mutafaqqih, (2/ 25-37) dan Ihya ‘Ulumuddin, (1/ 42-45) dan (116 dan 118)
[69] Lih. Risalah al-Adab fi ‘Ilmi Adabi al-Bahtsi wa al-Munazharah, Syaikh Muhammad Muhyuddin Abdul Hamid dan Adab al-Bahtsi wa al-Munazharah, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi, dan risalah Fi Ushuli al-Hiwar, yang terdapat pada Seminar Internasional bagi pemuda muslim dan Qawa’id fi Ushuli Al-Hiwar Warda asy-Syubhat”, Dr. Abdullah ar-Rahiliy
[70] QS. Ali Imran: 65-66
[71] QS. Al-Baqarah: 258
[72] “Dar`u Ta’arudhi al-‘Aqli wa an-Naqli” (1/357)
[73] Lih. Surat al-Baqarah: 30-33.
[74] Lih. Surat Shad: 5.
[75] Lih. Surat Ghafir: 56 dan surat Shad: 71-76.
[76] Lih. Surat At-Taubah: 64-65.
[77] Lih. Surat Al-Anfal: 5-6.
[78] Lih. Ghafir: 5 dan Al-Kahfi: 56.
[79][79] Lih. Istikhraj al-Jadal fi al-Qur’an al-Karim, Ibnu al-Hanbaliy, ditahkik oleh Dr. Zahir ‘Awadhu al-Alma’i dan kitab Manahiju al-Jadal fi al-Qur’an al-Karim, Dr. Zahir ‘Awadhu al-Alma’i.
[80] Lih. Lisanu’l ‘Arabi, bagian (Qadawa) (15/171) dan Mu’jam al-Wasith, (2/727)
[81] HR. Muslim, Lih. Shahih Muslim, No. 1017.
[82] QS. Al-Ahzab: 21
[83] QS. Al-Mumtahanah: 4-6
[84] QS. Al-An’am: 90
[85] QS. Al-An`am: 90
[86] QS. Al-Shaf: 2-3
[87] HR Bukhari (631 dan 6008)
[88] HR Bukhari (3371) dan juga Nasa'i
[89] HR Bukhari (521) HR Muslim (5/107)
[90] HR Bukhari (2731-2732) dan dan Za`adul Ma`ad (3/295)
[91] HR Bukhari (677)  dan (824)
[92] HR Bukhari (4277)
[93] HR Bukhari (6101 dan 6102)
[94] HR Bukhari (1975) dan (5063) HR Muslim 1159, 1401  dan 1557)

[95] QS. Al-Nisa': 34

0 Comment