Al Madkhal fi Ilmi Dakwah.......
Pengantar
Ilmu Dakwah
Sebuah
Studi Sistematis dan Komprehensif
Tentang
Sejarah, Sumber, Metode dan Permasalahan Dakwah
Pengarang
Muhammad
Abu al-Fatah al-Bayanuniy
Dosen
Pengajar di Sekolah Tinggi Dakwah Islam
Madinah
Munawwarah
Muassasah
al-Risalah
Pasal
Kelima
Cara-cara Dakwah
Mencakup
pendahuluan dan lima bahasan:
1. Cara hikmah :Pengertian,
bentuk dan keistimewaannya
2. Cara nasehat yang baik :Pengertian, bentuk
dan keistimewaannya
3. Cara perdebatan :Pengertian, bentuk
dan keistimewaannya
4. Cara tauladan yang baik :Pengertian, bentuk dan keistimewaannya
5.
Keistimewaan-keistimewaan
umum dari cara dakwah
Pengantar Cara Dakwah
Pada pembahasan sebelumnya kita
telah mendefinisikan metode dakwah dengan mengatakan, “Cara cara yang ditempuh
oleh para da`i dalam dakwahnya. Atau cara untuk menerapkan prinsip dakwah.
Pada dasarnya metode dakwah
terlihat jelas pada cara-cara yang ditempuh dalam berdakwah. Cara-cara yang
disatukan dengan aturan yang satu. Kumpulan cara-cara dakwah yang dapat
menggerakkan perasaan dan tingkah laku dinamakan dengan metode perasaan.
Kumpulan cara dakwah yang menagajak orang lain untuk berpikir, mentadaburi dan
mengambil pelajaran dinamakan dengan metode al-aqly (pikiran). Dan
kumpulan cara dakwah yang bertumpu pada perasaan dan perngalaman yang bersifat
kemnusiaan dinamakan dengan metode kemanusiaan.
Menisahkan antara satu dengan
lainnya sangatlah susah dan rumit. Al-Qur’an telah menjelaskan dengan
penjelasan yang terang. Sebagaimana al-Qur’an juga mengisyaratkan dengan
ayatnya yang lain. Hanya saja jika kita menemukan bahwa seluruh cara dakwah
saling berdekatan dalam al-Qur’an dan juga Sunnah.
Pada pembahasan ini kita akan
mengurai induk dari cara dakwah, apakah yang dijelaskan dalam nash
al-Qur’an atau cara yang kita pahami dari kumpulan nash tersebut. Serta dari kumpulan pelaksanaan
dakwah yang terdapat pada Sunnah
Rasulullah Saw. Kita akan cukupkan pada empat poin saja. Empat poin yang
merupakan rujukan dari cara-cara yang lain. Dan setiap poin akan saya uraikan
pada pembahasan yang khusus. Saya akan menjelaskan pengertian, bentuk-bentuk,
karakteristik dan beberapa permasalahan lain yang terkait dengan cara-cara
dakwah.
Allah Swt. berfirman dalam rangka menjelaskan
induk metode-metode dakwah:
Artinya: “Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.* dan jika kamu memberikan balasan, Maka
balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu akan
tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang
yang sabar. * bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan
dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)
mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
*Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang
berbuat kebaikan.[1]
Pembahasan Pertama
Cara Hikmah
Pengertiannya:
Hikmah menurut bahasa bisa
digunakan dalam beberapa makna. Di antaranya adalah keadilan, ilmu,
kebijaksanaan, kenabian, al-Qur’an, Injil, Sunnah dan beberapa penggunaan yang
lainnya. Sebagaimana ia juga bisa diartikan sebagai ‘illah (alasan).
Dikatakan: alasan penetapan hukum dan apa yang menjadi alasan dari yang
demikian? Ia juga digunakan bagi sesuatu yang lafalnya sedikit sedangkan
maknanya besar. Seseorang dikatakan bijaksana apabila ia telah dihadapkan kepada berbagai
permasalahan sehingga membuatnya
menjadi tangguh[2]
Menurut istilah, ulama
mengartikannya dengan pengertian pengertian yang beragam. Namun juga merujuk
kepada maknanya secara bahasa. Diantarnya adalah:
Al-Hikmah adalah
mendapatkan kebenaran dengan ilmu dan akal. Adapun yang dimaksud dengan hikmah
dari Allah Swt adalah mengetahui sesuatu dan menemukan sesuautu tersebut dalam tujuan
utama dari penetapan hukum. Mengetahui segala yang ada dan mengatahui segala
bentuk kebaikan.[3]
Hikmah juga diartikan dengan “sebuah
ibarat dari mengetahui sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling
utama”.[4]
Ia juga diartikan sebagai
“Meletakkan sesuatu pada tempatnya” dan “Kesesuaian antara perkataan dan
perbuatan”.[5]
Ibnu Katsir mengartikannya al-Hakim
sebagai “Orang yang bijaksana dalam perbuatan dan perkataannya dan
meletakkan sesuatu pada tempatnya”.[6]
Dan masih banyak lagi pengertian yang lainnya.
Dari pengertian-pengertian yang ada
maka uslub hikmah bisa diartikan sebagai cara yang meletakkan sesuatu
pada tempatnya. Dari segi ini maka cara hikmah mencakup semua cara dakwah.
Urgensitas dan Keutamaannya:
Urgensitas hikmah dan besar
keutamaannya terlihat dari beberapa hal-hal. Di antaranya:
1.
Makna
hikmah yang mencakup teori dan amal, maka seseorang tidaklah dikatakan
bijaksana kecuali telah terdapat dua hal ini padanya.[7]
2.
Allah
menggunakan al-Hakim (yang bijaksana) terhadap diri-Nya dan
mengulang-ulangnya di dalam al-Qur’an hampir 80 kali.
3.
Hati
Rasulullah Saw dipenuhi dengan hikmah. Dalam hadis Rasul disebutkan, “Dilobangilah
atap rumah saya –ketika saya berada di Makkah—maka Jibril turun. Ia lalu
membedah dada saya dan kemudian mencucinya dengan air zam-zam kemudian
mengusapnya dengan emas yang penuh dengan hikmah dan keimanan. Keduanya lalu
meliputi hati saya dan kemudian menutupinya.”[8]
4.
Mengajarkan
hikmah merupakan pekerjaan Rasul yang paling mulia. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan mengajarkan kepada
mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah)”[9]
5.
Allah
Swt memerintahkan dakwah dengan hikmah. Allah Swt berfirman:
Artinya:”Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik”[10]
6.
Allah
Swt menjadikan hikmah sebagai sesuatu yang paling utama yang diperoleh
seseorang. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Allah menganugerahkan Al
Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”[11]
7.
Hikmah
merupakan sesuatu yang dibolehkan untuk saling iri terhadapnya di dunia. Dalam
hadis disebutkan, “Tidak dibolehkan dengki kecuali dalam dua hal. Seseorang
yang diberikan harta oleh Allah kemudian ia membelanjakannya dalam kebaikan dan
seseorang yang diberikan hikmah oleh Allah dan kemudian ia mengamalkan dan
mengajarkannya.”[12]
Dan masih banyak hal-hal ataupun nash-nash
lain yang menunjukkan keistimewaan cara hikmah dan urgensitasnya.
Bentuk Cara
Dakwah dengan Hikmah
Bentuk-bentuk cara
dakwah dengan hikmah sangat banyak dikarenakan ia mencakup perkataan dan
perbuatan.
Oleh karena itu kita akan fokus
terhadap bentuk cara
dakwah dengan hikmah kepada beberapa aspek, yaitu:
1.
Bentuk hikmah dari segi metode dakwah
2.
Bentuk hikmah dari segi cara-cara dakwah
3.
Bentuk hikmah dari segi sarana-sarana dakwah
A.
Di
antara bentuk Hikmah
dari segi metode dakwah.
Di antaranya adalah:
1.
Menetukan prioritas, mendahulukan yang
lebih penting dari yang penting. Metode dakwah tidaklah dianggap sebagai metode
yang baik dan bijaksana jika tidak mampu menentukan skala prioritas dalam dakwah. Mendahulukan hal
yang lebih penting dari pada yang penting, seperti mendahulukan urusan akidah
dari ibadah ataupun akhlak. Mendahulukan yang wajib terhadap dari yang sunat. Mendahulukan
untk meninggalkan yang haram daripada meninggalkan yang makruh. Mendahulukan
maslahat yang berisifat umum daripada maslahat yang bersifat khusus ketika
terjadi pertentangan. Mendahukan hal-hal yang bersifat primer dari hal-hal yang
bersifat sekunder
ataupun tersier.[13]
Hal
ini telah dipraktekkan pada masa awal perkembangan dakwah Islam. Dimana dakwah
dimulai dengan memperkuat segi akidah dan kemudian beralih terhadap penjelasan
yang berkaitan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Dalam hadis Mu’adz juga memaparkan hal
ini, dimana Rasulullah Saw mengajarkannya mulai
dari keimanan kemudian shalat, zakat dan seterusnya.[14]
2.
Bertahap
dalam menerapkan skala prioritas,
termasuk ketika berkaitan dengan
perorangan dan msyarakat umum.
Sebagaimana yang dijelaskan al-Qur’an atau yang diberitakan oleh Aisyah ra atau
seperti yang dijalankan oleh kahalifah Umar bin Abdul ‘Aziz ra dalam
memperbaiki kondisi umum di zamannya.[15]
3.
Kesesuaian
metode dengan semua kondisi dan umum serta
tingkatan. Sebuah metode dakwah tidaklah
dikatakan bijaksana jika ia menyamakan posisi yang lemah dengan yang kuat; atau
antara keadaan aman dengan dalam peperangan; atau keadaan yang sering terjadi
dengan yang jarang terjadi. Sebagaimana ia juga tidak dikatakan metode yang
bijaksana jika tidak membedakan antara yang besar dengan yang kecil, wanita
dengan laki-laki, orang yang berilmu dengan orang awam, musuh dengan teman,
pemimpin dengan rakyat dan hal lainnya dari kondisi-kondisi dan
tingkatan-tingkatan yang menuntut adanya pemisah. Dalam hadis Rasul disebutkan,
“Wahai Aisyah, jikalaulah kaummu tidak dekat masanya dengan kekafiran maka
saya akan membongkar ka’bah dan akan membuatkan baginya dua pintu: pintu masuk dan pintu keluar.”[16]
Imam
Bukhari dalam Shahihnya mengkhususkan."bab tersendiri bagi hadis ini dan
menafsirkannya dengan perkataannya, “Bab siapa yang meninggalkan memilih
beberapa urusan disababkan takut tidak maksimal (dalam pelaksanaannya) maka
merekalah orang yang masuk ke dalam keadaan yang lebih parah.”[17]
Dalam
hadis juga disebutkan, “Posisikanlah manusia pada posisi mereka.”[18]
Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk lainnya
yang diketahui oleh para da’i yang bijaksana.[19]
B.
Betuk-bentuk Hikmah
dari segi Cara Dakwah.
Di antaranya adalah:
1.
Pemilihan
metode yang sesuai untuk dijalankan pada kondisi yang sesuai dan keadaan
tertentu. Terkadang sebuah metode cocok dijalankan pada suatu situasi dan kondisi tertentu,
tidak pada yang lainnya. Oleh karena itu maka seorang da’i harus memilih metode
yang bersifat perasaan ketika kondisi menuntut yang demikian dan memilih metode
yang bersifat pemikiran dalam berdebat.
Rasulullah
Saw pernah menggunakan keduanya (metode dakwah ‘athifi dan pemikiran)
sekaligus ketika seorang pemuda datang menemui Rasulullah Saw ketika meminta izin
untuk berzina. Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadis dari Abi
Umamah ra yang mengatakan, “Seorang
pemuda datang menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, Izinkanlah
saya untuk berzina.” Orang-orang serempak memandangnya dan mencemeehnya dengan
mengatakan, “cis....cis” Rasul berkata, “Mendekatlah” Maka pemuda tersebut
mendekat dan duduk di samping rasul. Rasul kemudian memerintahkannya, “apakah
engjkau suka jika itu dilakukan pada ibumu” Ia berkata, “Tidak, demi Allah,
Saya menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula
orang lain, mereka (juga) mencintai ibu-ibu mereka.” Rasul berkata, “Apakah
engkau suka jika hal itu dilakukan kepada anak perempuanmu.” Ia berkata, “Tidak, demi Allah, Saya
menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula orang
lain, mereka (juga) mencintai anak-anak perempuan mereka.” Rasul berkata, “Apakah kamu suka
jika hal itu dilakukan kepada saudari perempuanmu?.” Ia berkata, “Tidak, demi Allah, Saya
menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula orang
lain, mereka (juga) mencintai saudara-saudara perempuan mereka.” Rasul berkata, “Apakah engkau suka
jika hal itu dilakukan kepada bibimu?.” Ia berkata, “Tidak, demi Allah, Saya
menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula orang
lain, mereka (juga) mencintai bibi mereka.” Rasul berkata, “Apakah engkau suka
jika itu dilakukan kepada saudari ibumu?.” Ia berkata, “Tidak, demi Allah, Saya
menjadikan Allah sebagai tebusannya. Rasul kemudian berkata, “Tidak pula orang
lain, mereka (juga) mencintai saudara perempuan ibu mereka.” Abi Umamah
berkata, “Rasulullah kemudian
meletakkan tangannya pada pemuda tersebut seraya berkata, “Ya Allah ampunilah
dosanya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya.” Sesudah itu pemuda tersebut tidak pernah berniat
untuk melakukan yang demikian.[20]
Seruan
Rasulullah Saw terhadap pemuda tersebut, “Mendekatlah” dan kedekatan Rasul terhadapnya serta Rasulullah meletakkan tangannya
pada pemuda tersebut mendo`akannya, merupakan
metode ‘athifi (yang menyentuh perasaan) yang dapat menggetarkan
perasaan dan hati. Selain itu diskusi Rasulullah Saw dengan pemuda tersebut
dengan menganalogikan keadaannya dengan orang lain merupakan cara yang
menggunakan pemikiran. Penggunaan dua metode ini dalam satu keadaan sebagai
tanda kebijaksanaan Rasulullah Saw yang tiada tara dalam berdakwah.
Pemuda
yang datang kepada Rasulullah Saw dan meminta izin untuk berzina menunjukkan
bahwa ia adalah seorang pemuda yang lemah yang tidak memiliki keistiqamahan
serta seseorang yang pribadinya sedang goncang. Semua ini mendorongnya untuk
melakukan zina. Di sisi lain iman yang ia miliki mencegahnya untuk melakukan
hal tersebut dan mendorongnya untuk meminta izin pada Rasulullah Saw. Meminta
izin untuk melakukan zina merupakan realita yang menunjukkan bahwa satu sisi ia
mengidap sebuah penyakit dan di sisi lain masih ada sifat baik pada dirinya.
Jika tidak, maka ia sudah berzina sebagaimana orang lain berzina. Tindakan Rasullah
Saw ini mencerminkan pribadinya yang mampu menguasai keadaan dan mampu
menggunakan kedua metode dalam waktu bersamaan hingga beliau mampu
menyelamatkan pemuda tersebut dan mengembalikannya pada jalan kebenaran.
2.
Memilih
bentuk yang sesuai dari metode-metode
ataupun car-cara pilihan dalam berkdawah. Bentuk-bentuk
cara dakwah bagi suatu metode berbeda-beda. Hikmah menuntut seseorang untuk
memilih bentuk yang sesuai untuk suatu kondisi. Apa yang dikatakan ketika dalam
kondisi bahagia akan beda dengan apa yang dikatakan ketika susah. Apa yang
dikatakan ketika kondisi sulit akan berbeda
dengan apa yang dikatakan ketika lapang. Berita gembira memiliki posisi sendiri
begitupun kabar pertakut. Siapa yang rasa takut lebih dominan pada dirinya maka
ia akan menggunakan cara memberi kabar gembira dan pengharapan. Siapa yang
harapan dan cita-cita lebih dominan pada dirinya maka ia akan menggunakan uslub
tarhib (memberi kabar pertakut) dan peringatan, dan begitu seterusnya.
Berbeda
dangan cara Rasulullah Saw ketika menghadapi salah seorang Arab yang datang
menemuinya meminta keringanan dari kewajiban agama yang ada, maka rasul
berkata, “Demi Allah, saya tidak menambah dan tidak pula menguranginya.”[21] Dengan posisi salah seorang muslim fakir
yang datang meminta tambahan amal kebaikan maka Rasulullah Saw berkata, “Orang-orang
kaya mendapatkan pahala (dengan harta mereka)”[22]
Cara Rasulullah Saw berdakwah dengan terang-terangan
berbeda dengan berdakwah secara
sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abi Arqam. Begitu juga dengan perbedaan sikap beliau antara peperangan dengan perjanjian Hudaibiyah. Lihat
juga bagaimana Rasulullah Saw menyikapi
rasa cemburu isteri-isterinya[23]
serta cara-cara dakwah lainnya..[24]
3.
Berpedoman kepada cara memberi peringatan yang baik. Pertama,
mengenalkannya dengan kesalahan, kemudian menasehati, kemudian, memberikan
peringatan, kemudian pelarangan dengan menuggunakan tangan, kemudian memberikan
ancaman dan terakhir memberikan pukulan. Allah Swt berfirman:
Artinya:
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (selingkuh), Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.”[25]
Dalam
hadis disebutkan, “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka
hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, Jika tidak sanggup dengan lisannya,
jika tidak sanggup dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.”[26]
Ayat
ini mengisyaratkan terhadap urutan dalam merubah kemungkaran. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh hadis dengan urutan-urutan yang telah ditentukan. Dimulai dengan
tingkatan yang paling kuat disusul dengan yang ringan dan kemudian yang lebih ringan. Tidak ada
pertentangan dari tahap perubahan dengan berpegangan terhadap
tingkatan-tingkatannya. Maka seorang da’i ketika menjalankan
tingkatan-tingkatan perubahan harus memperhatikan urutan yang ada. Jika keluar
dari jalur urutan yang ada maka ia telah dianggap keluar dari hikmah dalam
berdakwah dan keluar dari jalur perhitungan.[27]
Lihatlah bagaimana cara Muadz
bin Amru bin al-Jamuh
ra dalam berdakwah terhadap ayahnya dan bagaimana perhitungannya.[28]
Begitu juga dengan cara yang
dipakai Ibnu Rawahah dalam mengajak Abi Darda` masuk Islam.[29]
4.
Mencari
faktor-faktor pendorong dan
sebab-sebab untuk menumbuhkan perhatian dalam memilih cara dakwah. Cara dakwah ketika
berhadapan dengan dengan orang awam akan berbeda dengan cara dakwah ketika
berhadapan dengan musuh. Cara dakwah ketika
memberikan solusi terhadap orang yang lemah akan berbeda dengan cara dakwah ketika
berhadapan dengan orang yang tidak memiliki kekurangan. Dan begitu seterusnya.
Perbedaan ini menuntut seorang da’i
memiliki untuk memiliki kepribadian
yang berbeda pada setiap setiap hal sesuai dengan situasi dan kondisinya. Oleh
sebab itu, ia mesti memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Kaedah dasar dalam membentuk pribadi yang yang siap siaga adalah dengan
cara membentuk prasangkah yang baik sesama muslim dan waspada terhadap musuh.
b.
Seorang
da’i yang kehilangan jati diri, hendaklah menyusun
langkah-langkah untuk mengobati permasalahannya sendiri. Jangan menantangnya
karena yang demikian dapat memberikan dampak dimana seorang dari bisa menjadi
benar atau menjadi salah.
c.
Memilih cara yang sesuai dengan kepribadian yang
diinginkan.
5.
Menjaga perbedaan keadaan kondisi dakwah baik
dakwah yang bersifat pribadi atau kelompok
(kolektif). Cara
dakwah
akan berbeda dari satu keadaan dengan keadaan lainnya dan dari satu kondisi
dengan kondisi lainnya. Cara dakwah
yang dipakai ketika berada di negara muslim akan berbeda dengan cara dakwah yang dipakai
ketika berdakwah di wilayah non-Muslim.
Diantara bentuk hikmh dalam berdakwah di negara Islam
adalah melalui jalur lembaga
resmi yang berada di negara tersebut atau melalui
lembaga
masyarakat yang diakui di negara tersebut. Tidak bijak ketika dakwah dijalankan
melalui lembaga yang bersifat
rahasia. Sebab cara seperti ini pantasnya digunakan untuk berdakwah
di negara yang bukan Islam.
Hal ini merupakan bentuk kewajiban para da’i
terhadap negara Islam
untuk selalu menjaganya, memperbaikinya, menguatkannya walaupun negara tersebut
dalam keadaan lemah, atau berlaku zalim atau bertindak semena-mena. Dan jika negara Islam itu tidak ada maka kewajiban
bagi para da`i adalah mendirikan negara Islam tersebut.
Cara rahasia yang digunakan
di negara Islam walaupun itu baik, tapi nilai negatifnya akan mengalahkan nilai
positifnya. Terkadang dalam kondisi seperti ini para da’i bisa terbawa ke dalam
posisi yang sulit yang ia seharusnya tidak berada dalam posisi tersebut.
Seperti bisa berubah menjadi orang yang mendengarkan dan ta’at terhadap pemimpin kelompok mereka.
Pada akhirnya dakwahnya dipahami sebagai gerakan yang bertentangan dengan negara Islam itu sendiri. Pada
ujungnya negara akan memeranginya
bukan menyokong ataupun menguatkannya gerakannya.
Kebanyakan
para da’i dalam kondisi seperti ini salah bersikap. Mereka menggambarkan dakwah
Islam seolah-oleh dakwah yang
dimusuhi bagi negara mereka berada walaupun di negara tersebut tidak ada
pemisah antara negara dengan yang lainnya. Oleh karena itu mereka semakin
memperbanyak musuh dan menyedikitkan teman. Mereka lebih memilih hidup dengan
dakwah dalam kegelapan yang membuat orang lari daripadanya. Pada akhirnya
dakwah seperti ini tidak akan memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat
kecuali hanya sedikit.
Hal
yang perlu diperhatikan dalam posisi seperti ini adalah bahwa perorangan ataupun jema’ah tidaklah bebas
dalam menghukumi sebuah negara kafir atau muslim,
zalim atau fasiq, negara Islam atau tidak.
Kemudian menentukan posisi sendiri terhadapnya
dan mencari cara yang
sesuai dalam menghadapinya. Ia bukanlah berdasarkan hasil ijtihad mereka
masing-masing. Sebab ijtihad mereka berbeda-beda yang pastinya cara yang mereka gunakan
juga akan berbeda-beda. Bahkan dalam hal ini mereka harus kembali kepada orang
yang memegang tampuk kekuasaan pada umat tersebut. Dialah yang memiliki kemampuan
dalam menjalankan perintah dan mampu menetapkan hukum bagi sebuah kasus
berdasarkan hukum syariat dengan pertimbangan-pertimbangan dakwah yang matang.
Dengan ini maka perbedaan yang ada
akan dapat dihindari, pertentangan dalam hal umum akan bisa diamankan dan pada
akhirnya dakwah akan membuahkan hasilnya, insya Allah.
C.
Bentuk Hikmah dalam cara-cara Dakwah
1.
Dalam
sarana yang bersifat maknawi
(abstrak). Berupa akhlak yang mulia dan sifat yang
terpuji.
a.
Para da`i mesti memberikan perhatian, menambakkan ambisi dan juga
bersusaha keras untuk melaksanaikan akhlak yang mulia atapun sifat yang terpuji.
b.
Memilih
akhlak (prilaku) yang
cocok bagi kondisi yang dihadapi. Hal ini tergantung pada
keadaan dan kondisi. Di antaranya adalah bersikap lunak dan lembut terhadap
kekerasan dan bersikap memaafkan dan toleransi terhadap pembangkangan. Allah Swt mensifati hamba-Nya yang mukmin dengan
firman-Nya:
Artinya:
" Orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka."[30]
Allah Swt juga
berfirman:
Artinya: "
Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir,"[31]
Bukanlah dikatakan dengan hikmah dalam berkdwah ketika memakai cara yang
keras untuk hal-hal yang lembut atapun menggunakan cara yang lembut pada tempat yang semestinya keras.
2.
Dalam
sarana yang bersifat materil
a.
Para
da’i menggunakan semua sarana yang dibolehkan, memudahkan dan sarana yang terdapat pada
masanya dari siapaun dan kapanpun.
Hal ini merupakan bentuk mensyukuri
nikmat Allah yang telah memberikan
kemudahan dalam menjalankan dakwah.
b.
Menjauhi
semua sarana yang haram dan makruh.
Sebab hukum sarana sama
dengan hukum tujuan. Sarana dakwah dan
tujuannya tidak bisa membolehkan segala bentuk cara.
c.
Memperbaiki
sarana al-masyubah (yang
terkontaminasi). Ia adalah sarana yang
di dalamnya terdapat hal yang haram dan yang halal. Sarana ini digunakan setelah
diperbaiki sebagaimana yang dijalankan Rasulullah
Saw dalam cara “an-nadzir al-‘uryan” . pembahasannya
secara terperinci akan dijelaskan dalam pasal “Wasilah Dakwah”
insya Allah.
d.
Toleransi
dalam menggunakan sarana dakwah yang
ulama berbeda pendapat tentang hukumnya pada
kondisi darurat, atau ketika kebutuhan dan maslahat
umum menuntut yang demikian. Berhati-hati
dalam selain kondisi ini. Penjelasaannya secara umum akan dijelaskan pada
pembahasan "Wasilah
Dakwah".
e.
Meningkatkan
sarana dakwah agar sesuai
dengan kontek dakwah dan mengungguli sarana
yang
digunakan oleh musuh. Allah Swt berfirman
Artinya:"Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu [32]
Menakut-nakuti
musuh yaitu dengan mencari cara atau
sarana apapun yang mengungguli
cara ataupun sarana yang mereka gunakan.
Di
antara Keistimewaan-keistimewaan cara
hikmah:
1.
Ia
mungkin dipelajari dan didapatkan. Sebab kebijaksanaan merupakan akhlak baik
dan salah satu sifat mulia yang mungkin didapatkan sebagaimana sifat lainnya.
Allah Swt berfirman,
Artinya:"Dan
mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah,"[33]
Di
antara cara dalam mempelajari
dan mendapatkannya:
a.
Membaca
al-Qur’an, Sunnah Nabi, Sejarah nabi dengan mentadabburinya.
b.
Berteman
dengan orang-orang yang bijaksana,
mengikuti dan mempelajari sejarah hidupnya.
c.
Bersikap
bijaksana dalam semua lahan dakwah dan
melatih jiwa untuk terus menjalankannya.
d.
Mengambil contoh dari gerakan
dakwah yang bersifat individu dan lainnya.
2.
Besarnya
pengaruh sikap bijaksana dalam dakwah. Seorang da’i yang bijaksana akan
mendapatkan apa yang tidak didapatkan oleh da`i
yang
lainnya. Di antaranya adalah:
a.
Sampai pada tujuan dengan menempuh jalan
yang singkat dan hasil yang banyak serta
dengan
resiko yang minim.
b.
Mendekatkan
hati para da’i terhadap dakwah dan menghapuskan kedengkian dan rasa amarah
Allah Swt berfirman:
Artinya:
"Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba
orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi
teman yang sangat setia.* Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang mempunyai Keuntungan yang besar. [35]
Dan masih banyak
pengaruh baik lainnya.[36]
Pembahasan Kedua
Uslub
Mau’izhah Hasanah (Nasehat yang baik)
Pengertiannya:
Al-Mau’izhah menurut
bahasa diambil dari wa’azhahu, ya’izhuhu, wa’zhun, wa’izhah yang
diartikan: menasehatinya, memperingatkannya dengan hukuman-hukuman dan
memerintahkannya serta mewasiatkannya melakukan keta’atan.[37]
Al-Hasanah: kebalikan
dari al-sayyi`ah (keburukan).
Nasehat terkadang ada yang bersifat baik
dan terkadang ada yang bersifat buruk.
Ini dilahat dari objek nasehat dan perintah tersebut dan tergantung juga pada cara yang digunakan
penasehat.
Dari
sini Allah memerintahkan nasehat tersebut dengan pengkhususan yang terdapat
dalam al-Qur’an:
Jika
terdapat perintah nasehat yang tidak ada pengkhususannya maka yang dimaksud
adalah nasehat yang baik sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Swt.:
Artinya:
Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka[39]
al-Mau’izahah Hasanah dalam
istilah dakwah merupakan sinonim dari
nasehat. Dan ia memiliki
bentuk-bentuk yang banyak. Di antara bentuknya adalah:
1.
Perkataan yang baik dan lembut.
Allah Swt
berfirman:
Artinya:
"Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,"[40]
2.
Isyarat yang lembut dan dapat dipahami
3.
Memberikan kiasan atau disampaikan secara tidak lansung.
4.
Melalui cerita, khutbah ataupun komedi
5.
Mengingatkan dengan berbagai kenikmatan yang wajib disyukuri
6.
Memberikan pujian ataupun celaan
7.
Memberikan kabar gembira ataupun kabar pertakut
8.
Memberikan janji berupa kemenangan
9.
Bersabar
Dan masih banyak
lagi cara-cara yang lansung ataupun yang tidak lansung dan dapat memberikan
pengaruh kepada orang yang didakwahi. Dan kemudian mendoorong mereka untuk
berbuat ketaatan dan kebaikan.
Contoh-contoh
seperti ini juga sangat banyak ditemukan dalam al-Qur`an ataupun Sunnah
Rasulullah Saw.
Urgensitas dan Keutamaannya
Adapun
urgensitas dari nasehat yang baik dapat dilihat dari beberapa hal berikut:
1. Secara terang dan jelas Allah Swt memerintahkannya
dalam al-Qur'an.
Allah Swt
berfirman:
Artinya:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik"[41]
Allah Swt juga
berfirman:
Artinya "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".[42]
Allah Swt juga
berfirman:
Artinya:
"Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,"[43]
Allah Swt juga
berfirman:
Artinya:"Dan
berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas
pada jiwa mereka."[44]
2. Rasulullah Saw menjadikan nasehat merupakan dasar dari
agama. Dalam sebuah hdis Rasulullah Saw besabda, "Agama adalah
nasehat."[45]
Adapun yang dimaksud dengan nasehat disini adalah perkataan yang baik
sebgaimna yang telah dijelaskan sebelumnya.
3. Rasulullah Saw mendukung para sahabat dalam penggunaan
cara ini. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Rasulullah Saw mendukung (para
sahabat) untuk melaksanakan shalat, membayar zakat dan memberikan nasehat
kepada umat islam."[46]
4. Seluruh para rasul menggunakan cara ini dalam
dakwahnya. Allah Swt memberitakan tentang Nuh As.
Artinya: "Aku memberi nasehat kepadamu"[47].
Allah Swt juga
berfirman tentang nabi Hud As:
Artinya:
"Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah
pemberi nasehat yang terpercaya bagimu"[48]
Di antara karakteristik cara dakwah dengan nasehat
yang baik
Dakwah dengan
nasehat yang baik memiliki karakteristik ataupun keistimewaan yang banyak
sekali. Diantaranya:
1. Lembut dalam pengucapan dan penyampaian, menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi.
2. Cara penyampaian yang beragam. Oleh sebab itu seorang
da`i bebas memilih cara dakwah dan menyesuaikan dengan kondisinya.
3. Memberikan pengaruh yang kuat dan besar pada jiwa
orang yang didakwahi, diantara pengaruhnya sebagai berikut:
a. Diterimanya nasehat dan bersegera untuk menjalankannya
b. Menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dihati
orang-orang yang didakwahi
c. Dengan segera dapat membendung berbagai bentuk hal-hal
yang mungkar. Mereka malu untuk melakukan kemungkaran sehingga tidak berani
untuk menampakkannya.
Dan masih banyak
lagi pengaruh dari nasehat yang baik yang digunakan oleh para da`i. Diantara
contohnya adalah:
1. Rasulullah Saw menggunakan cara ini kepada seorang
Arab Badui yang buang air di mesjid. Dalam sebuah hadis diceritakan:
Dari Anas ra. ia berkata,
bahwa suatu ketika kami bersama Rasulullah Saw di mesjid, datang sorang orang
Arab Badui dan kemudian ia buang air di mesjid. Para sahabat rasulullah Saw
berkata: usirlah ia" Rasulullah Saw berkata, "Jangan engkau
ganggu, biarkanlah ia." Rasulullah Saw membiarkannya sampai ia
selesai. Rasulullah Saw kemudian memanggilnya dan berkata,
"Sesungguhnya ini adalah mesjid yang tidak boleh dikotori degan kotoran
atau dengan sesuatu yang kotor. Akan tetpi empat ini hanya untuk berzkir kepada
Allah Swt, shalat, membaca al-Qur'an, Atau sebagaimana yang dikatakan
oleh Rasulullah Saw. Ia lalu
memerintahkan seseorang untuk membersihkannya.[49]
2. Sikap
Rasulullah Saw ketika perang Hunain. Beliau membagi harta rampasan perang ia
lalu mendapati sesuatu pada orang Anshar. Beliau lalu berkhutbah diantara
mereka dan mengngatkan mereka dengan nikmat yang telah dianugrahkan Allah Swt
kepada mereka dan keagungan-Nya dengan perkataan yang baik.[50]
Pembahasan Ketiga
Uslub Mujadalah (Perdebatan)
Pengertiannya:
Menurut bahasa al-mujadalah diambil
dari jadalahu, mujadalah dan jidalan yang artinya mendebatnya dan
memusuhinya. Perdebatan adalah ambisi dalam permusuhan serta kesanggupan
untuk itu. Ia juga diartikan permusuhan yang bersangatan. Dalam hadis
disebutkan, “Tidaklah suatu kaum berdebat kecuali
mereka dalam kesesatan.” Debat juga diartikan
menentang dalil dengan dalil dan mujadalah adalah berdebat dan saling
bermusuhan.[51]
Sedangkan menurut istilah ulama mendefinisikannya dengan beberapa
pengertian yang saling berdekatan. Di antaranya adalah:
“Sebuah
ibarat dalam perlawanan
seseorang terhadap lawannya dengan menjelaskan ketidakbenara
perkataannya dengan dalil yang kuat atau tidak.” [52]
“Perdebatan yang berkaitan dengan menonjolkan mazhab-mazhab dan
menetapkan
(kebenarannya).”[53] Ia juga
diartikan sebagai “menentang dalil dengan memperlihatkan (dalil) yang lebih
kuat.”[54]
Perdebatan terkadang dilakukan dengan cara yang baik dan terkadang dengan cara yang bathil (buruk ataupun tercela). Allah Swt berfirman:
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk
melenyapkan kebenaran ."[56]
Dari sini ulama membagi debat kepada
yang terpuji dan yang tercela. Pembagian ini kembali pada tujuan debat, cara dan
sarana yang digunakannya.
Debat yang bertujuan memperlihatkan dan menolong kebenaran dan
dilakukan dengan cara yang
benar dan sesuai maka ia adalah debat yang
terpuji. Sedangkan debat yang bukan
bertujuan seperti itu dan juga dengan cara yang
tidak baik serta tidak mendatangkan kebaikan maka ia adalah debat yang tercela.
Oleh karena itu perintah debat dalam
al-Qur’an datang dengan adanya pengikat yaitu dengan cara yang baik.[57]
Berjadal ataupun berdebat dengan cara yang baik merupakan salah satu cara dakwah
menuju ajaran Islam yang diperintahkan. Serta hal ini juga dicantumkan dalam nash (dalil) al-Qur’an. Dan ia dianggap sebagai cara yang
paling istimewa dalam menggunakan metode akal—sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya. Jadal juga bisa dikatakan dengan “al-munaqasyah,
al-munazharah, al-muhawarah”
dan istilah-istilah lainnya yang
sebenarnya menunjukkan satu tujuan.
Sebagian ulama memandang bahwa debat pada dasarnya bukanlah bagian dari cara dakwah. Ia merupakan pelengkap yang dibutuhkan dalam berdakwah yang berfungsi untuk “daf’u ash-sha`il” . hal ini berdasarkan kepada asal makna dan hakikatnya sera landasannya pada al-Qur’an yang memerintahkan
untuk berdebat. Dalam ayat tersebut Allah me-‘athafkan (menggabungkan) debat terhadap dakwah bukan terhadap mau’izhah hasanah (nasehat
yang baik). Allah Swt berfirman:
Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."[58]
Menurut saya perbedaan ini tidak memberikan pengaruh pada
prakteknya. Sebab
merupakan bentuk kebijaksanaan ketika menggunakan
semua cara dalam berdakwah sesuai dengan tempatnya. Cara debat tidak akan
digunakan kecuali ketika berhadapan dengan orang yang mendebat. Ketika dipakai cara lain tidak mempan maka
digunakanlah cara ini.. Adapun bagi
orang yang langsung menerima nasehat yang baik, maka tidak perlu menggunakan cara jadal atau
mendebatnya. Sebab berapa banyak orang yang berdebat dan itu tidak terlepas
dari permusuhan. Dan cara seperti ini tidak mungkin diibaratkan sebagai “daf’u ash-sha`il” Allah-lah yang
lebih mengetahui!!
Urgensitas jadal (debat)
Peran penting cara jadal dalam
dakwah terlihat dalam beberapa hal, diantaranya
adalah:
1.
Jadal merupakan fitrah kemanusiaan melekat pada dari
manusia itu sendiri. Ia lahir dari orang yang baik dan buruk, besar dan kecil,
laki-laki dan wanita. Allah Swt berfirman:
Artinya:"Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak
membantah."[59]
Begitu juga ketika Allah berbicara tentang orang-orang mukmin, Allah Swt berfirman:
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Sesungguhnya Allah telah
mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang
suaminya"[61]
Hal yang
bersifat fitrah haruslah menjadi perhatian bagi para
da’i dalam dakwahnya.
2.
Allah memerintahkan untuk menggunakannya dalam dakwah. Allah Swt
berfirman,
Artinya: "Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."[62]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, [63]
3.
Para Nabi menggunakan metode debat dalam
dakwah mereka. Allah Swt berfirman,
Artinya: "Mereka berkata "Hai Nuh, Sesungguhnya kamu telah berbantah
dengan Kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap Kami,[64]"
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: "Apakah kamu tidak
memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)"[65]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya:" Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk
membantahmu"[66],
4.
Perhatian para da’i terhadap hal ini mulai dari zaman sahabat
hingga hari ini. Beberapa penukilan yang menyatakan bahwa sebagian ulama
salaf (ulama
terdahulu) hanya mencela jadal (debat) yang tidak terpuji atau mendebat al-Qur’an dan ayat-ayat yang sudah jelas
hukumnya.[67]
Etika berdebat adalah:
Berdebat memiliki
beberapa adab ataupun
sopan santun. Di antaranya
ada yang berhubungan dengan faktor pendorong dan sebab-sebabnya. Di antaranya
juga ada yang berhubungan dengan gaya dan
caranya serta di antaranya juga ada yang berhubungan dengan pengaruh dan
hasilnya.
Dalam
menyebutkan adab ini dan bagaimana semestinya memperhtikan cara ini, ulama berbeda
pendapat. Di antara
mereka ada yang menyebutkannya secara global dan sebagian mereka menjelaskannya
secara rinci. Semua adab yang disebutkan oleh para ulama saling melengkapi
dalam mewujudkan 3 hal besar:
1.
Memperbaiki tujuan dan ini dari berdebat
2.
Memperbaiki cara dan bentuk berdebat
3.
Memperbaiki hasil dan pengaruh berdebat
Al-Kathib al-Baghdadi ra menyebutkan sekitar 30 adab[68] dan
sebagian para penulis menyebutkannya dalam risalah khusus.[69]
Karakteristik
cara jadal (berdebat)
Debat memiliki beberapa keistimewaan. Di antaranya adalah:
1.
Debat mesti bertumpu pada ilmu dan pengetahuan. Debat tidak
sah dilakukan tanpa ilmu. Al-Qur’an sendiri mencela orang yang mendebat orang
lain tanpa ilmu. Allah Swt berfirman:
Artinya: "Hai ahli Kitab, mengapa
kamu bantah membantah tentang hal Ibrahim, Padahal Taurat dan Injil tidak
diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir? *. Beginilah
kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah membantah tentang hal yang kamu ketahui,
Maka kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui."[70]
2.
Mengemukakan dalil terhadap lawan dan mematahkan argumennya. Tujuan utama debat adalah untuk menunjukkan argumen yang jelas. Jangan membiarkan orang yang membantah memiliki argumen yang ia tetap bersikeras untuk
berpegang dengannya. Atau meyakini hal yang dikeragui untuk dijadikan argumen dalam
pendapatnya yang salah. Allah
Swt berfirman:
Artinya: "Apakah kamu tidak
memperhatikan orang yang mendebat
Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang
menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat
menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat," lalu
terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim."[71]
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkomentar, “Siapa yang
tidak mendebat orang yang sesat dan orang yang
mengikuti bid’ah, dengan perdebatan yang mematahkan argumen mereka, maka
ia tidak akan mendapatkan kebaikan Islam. Tidak juga akan mendapatkan faedah iman
dan ilmu dan sedikitpun perkataannya tidak akan menjadi obat hati dan membawa ketenangan. Perkataannya juga
tidak akan melahirkan ilmu dan keyakinan.”[72]
3.
Faktor pendorong untuk melakukan debat sangat
banyak. Di antaranya adalah:
a.
Faktor kejiwaan: seperti merasa sangat puas dengan suatu pemikiran
atau merasa salut terhadap sesuatu sebagaimana terjadi ketika para Malaikat
mendebat Allah tentang penciptaan Adam dan kemudian menjadikannya sebagai
khalifah.[73]
Begitu juga dengan rasa
takjub orang-orang
musyrik terhadap dakwah tauhid.[74] Dan
masih banyak lagi faktor kejiwaan lainnya seperti takabur, merasa besar dan
dengki sebagaimana dengkinya iblis.[75] Atau
bisa disebabkan karena menganggap remeh dan mencela kebenaran dan orang yang
berpegang terhadap kebenaran tersebut.[76] Atau
bisa juga karena takut dan membeci sesuatu sebagaimana yang dialami sebagian
orang mukmin ketika perang Badar.[77] Atau
bisa juga karena adanya keinginan untuk mengaburkan kebenaran[78] dan
keinginan-keinginan lainnya.
b.
Faktor ilmiah: seperti
mengambil manfaat dan bertanya terhadap hal yang tidak ia ketahui,
mendiskusikan sebuah dalil dan mencari yang kuat di antara dalil-dalil yang ada. Atau menghilangkan syubhat (keraguan) yang
berkaitan dengan suatu hal.
c.
Faktor sosial: seperti
rasa fanatisme terhadap sebuah pendapat atau kelompok tertentu
atau terlalu berpegang terhadap sesuatu yang telah menjadi tradisi bagi nenek moyangnya
dan faktor sosial lainnya.
Banyaknya
faktor-faktor pendorong yang bersifat seperti ini harus menjadi
perhatian dan diketahui oleh para da’i. Agar mereka mengetahui bagaimana
berinteraksi dengan orangnya –sebelumnya telah kita sebutkan di antara
indikasi-indikasi hikmah dalam cara dakwah.
Al-Qur’an dan Sunnah sendiri banyak menukilkan contoh-contoh perdebatan, baik
itu perdebatan yang berlangsung sesama orang beriman atau perdebatan orang
kafir dengan orang mukmin yang mungkin dicermati dan diambil pelajaran oleh
para da’i.[79]
Pembahasan Keempat
al-Qudwah
al-Hasanah (Tauladan yang
Baik)
Pengertiannya:
Al-Qudwah dan
al-qidwah menurut bahasa
adalah al-uswah atau tauladan. Dikatakan: Fulan merupakan tauladan yang diikuti. Al-Qidah : Contoh yang
diikuti oleh yang lainnya yang mana orang lain memperbuat sebagaimana yang ia
perbuat.[80]
Qudwah di sini
diikat dengan al-hasanah (yang baik) agar tidak masuk kedalamnya tauladan yang buruk.
Terkadang seseorang menjadi tauladan yang baik atau tauladan yang buruk. Dalam
hadis disebutkan, “Siapa yang menunjukkan dalam Islam jalan kebaikan, maka
baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Siapa yang menunjukkan jalan keburukan,
maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun.”[81]
Tauladan yang
baik dalam Islam dibagi pada dua bagian:
a. Tauladan baik
yang mutlak: yaitu yang terbebas dari kesalahan dan kehinaan sebagaimana yang
terdapat pada diri para Nabi dan Rasul. Allah Swt berfirman:
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: " Sesungguhnya telah ada
suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan
dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas
diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali
Perkataan Ibrahim kepada bapaknya
"Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada
dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata):
"Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada
Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali."*
"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan Kami (sasaran) fitnah bagi
orang-orang kafir. dan ampunilah Kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".* Sesungguhnya pada mereka itu
(Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang
mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan Barangsiapa
yang berpaling, Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha
Terpuji."[83]
Allah Swt juga befirman:
Artinya: "Mereka Itulah orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka.[84]
b. Tauladan baik
yang diikat dengan sesuatu yang disyariatkan Allah. Sebab tauladan tersebut bukanlah seorang yang ma’shum
(bebas dari dosa). Ini sebagaimana
yang terdapat pada orang-orang saleh dan orang-orang yang bertakwa di antara
hamba Allah dan mereka bukanlah para Nabi dan rasul. Selain dari para nabi dan Rasul terkadang
sebagian mereka dijadikan tauladan dan sebagian lain tidak. Hal ini disebabkan
oleh keterbatasan mereka dalam kapasitasnya sebagai manusia. Atau ada kesalahan
mereka dalam berijtihad. Oleh sebab itu menjadikan mereka sebagai tauladan
terbatas kepada dukungan dari syariat.
Dengan hal ini menjadikan cara panutan yang baik
menjadi salah satau cara yang umum. Sebab ia mencakup segenap perbuatan yang baik; baik datang dari
rasul atau yang datang dari selain rasul berupa orang-orang shaleh ataupun
orang-orang baik.
Urgensitas tauladan yang baik.
Urgensitas dari cara memberikan panutan yang baik
tampak dari beberapa hal, diantaranya:
1. Allah Swt menjadikan para rasul dan juga
orang-orang yang shaleh sebagai panutan dalam berbuat kebaikan bagi
hamba-hambanya. Hal itu tidak cukup dengan menurunkan mereka akan tetapi juga
mengutus rasul dan kemudian menceritakan perihal mereka serta sejarah hidup
mereka kepada orang-orang yang beriman. Allah Swt kemudian memerintahkan mereka
untuk mengikuti dan menjadikan mereka sebagai tauladan. Allah Swt berfirman:
Artinya: "Mereka Itulah orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka" [85]
2. Merupakan sesuatu yang normal yang
difitrahkan Allah Swt kepada manusia, untuk terpengaruh dengan tauladan. Dan
kebanyakan pengaruh tersebut datang dari cara pendengaran, cerita, dan tidak
terkecuali dalam hal yang bersifat praktis (perbuatan). Dan pengaruh seperti bersifat
fitrah bukan perasaan.
3. Pengaruh dari cara pemberian tauladan yang
baik secara umum mencakup keberbagai elemen masyarakat dalam tingkatan yang
berbeda. Dan bahkan orang-orang yang ummi (tidak bisa tulis baca) juga bisa
terpengaruh. Sebab seseorang mungkin saja untuk menceritakan orang lain
kepadanya dan kemudian orang tersebut mengikuti walaupun ia tidak memahaminya.
Maka dari sini dapat dipahami bahwa keutamaan para
sahabat dan kemuliaanya tidak pantas untuk dikritik. Peringatan Allah Swt
begitu keras dan tegas kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu dan kemdian
berbuat kebalikan dari apa yang mereka katakan. Allah Swt berfirman:
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan? ) * Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."[86]
Karakteristit tauladan yang baik
Cara memberikan tauladan yang baik memiliki
karakteristik ataupun keistimewaan sebagai berikut:
1. Mudah,cepatnya perpindahan kebaikan dari
orang yang menjadi tauladan kepada orang yang meneladani. Sebab mengambil
contoh berupa perbuatan dari seseorang yang diteladani lebih cepat pengaruhnya
dari pada hanya sekedar cerita. Menampakkan perbuatan dengan berdasarkan kepada
kebaikan dan mengaplikasikannya, akan melahirkan ketenangan dan ketentraman
bagi orang-orang yang meneladani. Sebab ia tidak hanya sekedar mencontoh. Realitas
ini banyak kita temukan dalam kehidupan.
2. Adanya semacam jaminan kebaikan dari tempat
mengambil tauladan dan jaminan kebenarannya. Tidak terkecuali pada hal-hal yang
besifat rumit dan terperinci. Maka dari sini, Rasulullah Saw memastikan kepada
umatnya dalam memberikan pengajaran kepada mereka tentang rukun Islam seperti
shalat, haji. Dalam perintah shalat beliau berkata, "Shalatlah kalian
sebagaimana saya shalat.[87]
Dalam masalah haji beliau bersabda, "Ambillah dariku cara manasik
kalian."[88]
Bahkan, malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Saw pada
malam isra' untuk mengajarinya bagaimana tata cara shalat. Rasulullah
mencontohnya dan para sahabat kemudian mencotoh Rasulullah Saw.[89]
3. Dalamnya pengaruh pada diri seseorang, dan
cepatnya perubahan dalam berbagai hal yang bersifat amaliah (perbuatan).
Dalam hal ini Ummu Salamah mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw bersegera untuk
melakukan al-halq dan al-tahalulul agar dicontoh oleh orang lain.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah tersebut.[90] Sebagian
para sahabat melakukan shalat bersama orang lain. Mereka pada hakikatnya
tidaklah hanya sekedar shalat akan tetapi juga untuk mengajari mereka bagaimana
shalat Rasulullah Saw.[91]
Pada hari penaklukan (Makkah), Rasulullah Saw meminta
satu bejana susu atapun air dan meminumnya dihadapan orang banyak. Beliau
membukakan puasanya. Ketika para sahabat melihatnya, mereka bersegera untuk
membukakan puasanya.[92]
Dan masih banyak lagi keistimewaan dengan cara seperti ini yang dipahami
oleh kebanyakan para da`i.
Pembahasan Kelima
Karakteristik Umum dari Cara-cara Dakwah
Secara umum, krakteristik dari cara dakwah
hampir sama dengan karekteristik metode dakwah. Sebab cara dakwah—sesuai dengan
penjelasan sebelumnya—yaitu cara untuk mengaplikasikan metode dakwah. Maka dari
sini, bisa kita katakan bahwa karakteristik dari cara dakwah tidak lepas dari
kedisiplinan, bertingkat dan berkelanjutan.
Sebagaimana kita mungkin untuk menambahkan
beberapa karakteristik yang baru, mungkin juga mungkin juga bagi kita untuk
menggabungkan keduanya dikarenakan adanya keserasian dan keterikatan antara
metode dengan cara dakwah. Maka dari sini, dapat kita uraikan karekteristik
umum dari cara dakwah.
1. Fitrah.
Adapun yang dimaksud dengan hal ini adalah
keserasian antara cara dakwah dengan fitrah manusia. Karena cara sebelumnya memiliki bentuk yang beragam dan bisa
bersinergi dengan hati orang yang di dakwahi. Kemudian hal tersebut dapat
menggerakkan perasaannya. Cara dakwah banyak memberikan pengaruh dalam hal ini
adalah pemberian nasehat yang baik dalam berbagai bentuk.
Ia juga bisa menyentuh akal orang yang
didakwahi. Kemudian menggerakkan pikirannya dan mengajakknya untuk mengambil
pelajaran dan mentadaburi ayat-ayat Allah. Dan yang banyak memberikan pengaruh
pada cara dakwah seperti ini adalah jadal (debat dengan cara yang baik).
Ia juga bisa menyentuh inderawi manusia dan
mengajak mereka untuk merasakan apa yang
ada disekitarnya. Dan yang banyak memberikan pengaruh pada cara dakwah ini
adalah adalah memberikan tuladan yang baik.
Seorang penda`i yang bijaksana adalah mereka
yang mampu memilih cara dakwah yang sesuai dengan kondisi medan dakwahnya diantara
cara yang beragam. Hendaklah dakwah yang ia sampaikan dapat menyentuh fitrah
orang yang diseru dari segala segi. Sebagaimana yang dijelakan dalam al-Qur'an
atau yang jelaskan oleh Rasulullah Saw.
2. Keberagaman
Adapun yang dimaksud dengan hal ini adalah
keberagaman cara yang dimiliki oleh da`i untuk memenuhi segala kebutuhan
dakwah. Dan melingkupi segenap fitrah orang yang didakwahi.
Terkadang dakwah butuh cara kekerasan dan
terkadang butuh kepada cara yang lembut. Terkadang ia butuh kepada cara
menghadapi kesalahan dan kemudian meluruskannya atau cara mengeneralisir dan
kemudian tidak mempermasalahkannya. Rasulullah Saw terkadang berkata ketika
mengingkari sesuatu, apa yang dipikirkan oleh suatu kaum dengan berkata, "Apa
yang dipikirkan oleh suatu kaum dengan mengatakan demikian atau melakukan yang
demikian. [93]
Terkadang beliau menghadapi orang-orang
yang salah dengan mengatakan "Apa yang dimaksud dengan ungkapan seperti
ini"[94].
dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Seorang da`i dikatakan bijaksana apa bila
ia mampu menempatkan dengan baik cara-cara dakwah yang ada. Menempatkannya
sesuai dengan situasi dan kondisi. Maka kesempatan untuk memilih terbuka lebar
bagi dari dan kemudian mengaplikasikannya.
3. Berkembang
Adapun yang dimaksud dengan berkembang
adalah tidak monoton dengan satu cara dakwah. Sebab cara-cara dakwah selalu berubah
dari waktu ke waktu, dari kondisi ke kondisi yang lain sesuai dengan tempat dan
masa.
Terkadang suatu cara dakwah cocok bagi
orang tertentu, dalam kondisi tertentu, atau umur tententu,. Jika seorang da`i
tetap saja dengan cara yang ia gunakan, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat
yang begitu berarti dalam dakwahnya. Oleh sebab itu seorang da`i mesti mengganti
cara dakwahnya dan menyesuaikannya dengan kondisi orang-orang yang didakwahi.
Mengembangkan cara dakwah tesebut seusua dengan kemaslahatan yang lebih banyak.
Terkadang, cara dakwah dengan memberi kabar
gembira bisa berkembang menjadi memberi ancaman. Atau dari cara nasehat yang
baik kepada cara yang kasar dan bahkan sampai kepada tahap pemukulan.
Sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat:
Artinya: "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya
(selingkuh) Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka."[95]
Terkadang, cara dakwah kepada musuh bisa
berubah dari kesepakatan damai kepada cara perang. Atau dari cara berperang
kemudian berkembang menjadi perdamaian. Hal itu disesuaikan dengan kondisi
orang-orang yang didakwahi.
Sebagaimana terjadinya perkembangan pada
cara penerapan musyawarah dari satu bentuk kepada bentuk yang lain. Dari
musyawarah yang bersifat personal menjadi musyawarah yang bersifat kelompok.
Dari musyawarah yang bersifat bersifat anjuran menjadi musyawarah yang bersifat
penerapan.
Atau sebagaimana terjadinya perkembangan
pada cara tansaksi dan jual beli dari masa ke masa. Semua bentuk perubahan
tersebut dapat diterima selama sesuai dengan korior hukum Islam dan tidak
bertentangan dengan tujuan pensyariatan islam ataupun tidak menyebabkan
lahirnya mafsadah (kerugian).
Pada dasarnya cara dakwah selain dari cara
ibadah bersifat ijtihadiyah yang dapat dikembangkan. Hal ini berpotensi
untuk digunakan oleh para da`i sesuai dengan tuntuntan zaman. Sebagai dalil
atas yang demikian sebagaimana yang dilakukan oleh khulafaurrasyidin. Para
sahabat yang mulai para ulama terdahulu dalam perkembangan penjagaan al-Qur'an
dan Sunna Rasulullah Saw.
Cara penjagaan al-Qur'an telah banyak
berkembang dari cara awalnya dengan menghafalnya. Kemudian menuliskannya pada
lembaran-lembaran dan kemudian menggumpulkannya secara sempurna pada masa Abu
Bakar. Pada masa Utsman, ia menyatukan kumpulan tersbut dan kemudian dilakukan
usaha untuk pemberian titik dan baris pada masa setelahnya.
Begitu juga terjadi pada perkembaganan
penjagaan sunnah, yang pada awalnya dengan menghafalkannya dan menuliskannya oleh
sebagian para sahabat. Kemudian datang masa dimana para ulama memberikan
perhatian khusus untuk melakukan penulisannya dan mengumpulkannya menjadi satu.
Membedakan periwayatan yang benar dengan yang yang salah serta meneliti pada
kondsi periwayatannya.
[1] QS. Al-Nahal: 125-128
[2] Lih. Lisanu’l ‘Arab, bagian “hukum” (12/140-143) dan “Mu’jam
al-Wasith” (1/189)
[3] Lih. Mufradat al-Qur’an, Ar-Raghib, hal. 127
[4] Lih. An-nihayah fi Gharibi al-Hadis, (1/419)
[5] Lih. Al-Bahru al-Muhith, Abi Hayyan (1/393)
[6] Lih. Tafsir Ibni Katsir (1/184)
[7] Lih. Ghara`ib al-Qur’an, Naisaburiy (1/413), Tafsir ar-Raziy
(4/73) dan (7/72)
[8] HR. Muttafaq
‘Alaihi. Llih. Shahih Bukhari ma’a al-Fathi, No. 349 (1/458-459) dan Shahih
Muslim, No. 163.
[9] QS. Al-Baqarah: 129
[10] QS. An-Nahal: 125
[11] QS. al-Baqarah: 269
[13] Lihat lagi materi ini dalam kitab Awlawiyat al-Harakah al-Islamiyah
fi al-Marhalah al-Qadimah, Dr. Yusuf al-Qardhawiy, dan bahas “al-Ihkam
Baina Marahil al-‘Amal fi Da’wati al-Islam, Dr. Yusuf Muhyuddin Abu Hilalah
dan “Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah” (20/48-61) dan Hayatu Ash-Shahabah,
Kandahlawiy (1/ 123-125)
[15] Telah disebutkan sebelumnya dalam bahas “Khashishatu at-Tadarruj”
fi al-Khasha`ish al-‘Ammah li’l Manahij ad-Da’wiyah. Dan lihat juga bahas “at-Tadarruj
Baina at-Tasyri’ wa ad-Da’wah, Dr. Yusuf Muhyuddin Abu Hilalah.
[16] HR. Muttafaq
‘Alaihi, Lih. Shahih Bukhari ma’a al-Fathi, No. (126, 1583, 1584, 1585)
dan Shahih Muslim bi Sharhi an-Nawawiy (9/ 88)
[17] Shahih al-Bukhari ma’a al-Fathi (1/224), Lihat juga beberapa
hadis yang menunjukkan terhadap hikmah ini yang dimasukkan Bukhariy ke dalam
penafsiran ini.
[19] Lih kitab Da’wah Ila as-Sunnah Fi Tathbiqi as-Sunnah Minhajan wa
Usluban, Dr. Abdullah ar-Rahiliy, Dar al-Qalam.
[20] Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal (5/256 dan 257) Telah ditakhrij pada Asalib al-Manahij al-Aqly,
hal. 209.
[23] HR. Bukhari
Lih. Shahih Bukhari ma’a al-Fathi, No. 2481 dan 5225 dan al-Fathi (5/
124) dan (9/ 320)
[24] Lihat uslub rasul dalam menyikapi penyelewengan Bani Quraidzah
terhadap perjanjian ketika perang Ahzab dalam Sirah Ibnu Hisyam, (3/32)
[25] QS. An-Nisa`: 34.
[27] Lih. Kitab, al-Hasbah
fi al-Islam, oleh Ibnu Taymiyah. Didalamnya mengandung beberapa faedah
dalam berbagai hal.
[28] Lih. Al-Hasbah fi al-Islam,Ibnu Taimiyah. Di dalamnya ada
beberapa faedah dalam bidang ini.
[29] Lih. Hayatu ash-Shahabah (1/ 230-233)
[34] Hadis yang sudah ditakhrij sebelumnya, hal. 246.
[36] Lihat kitab al-Hikmah wa Atsaruha fi ad-Da’wah IlalLah, bahas
untuk menyempurnakan program master pada bagian Dakwah di perkuliahan penulis
(Ali Ahmad Masya’il) dan kitab Ru`yu ‘Ala Thariqi ad-Da’wah, Dr. Abdul
Qadir Thasya, dan Hakadza ‘Alamatni al-Hayah, as-Siba’i.
[37] Lih. Lisanu’l Arabi, bagian wa’azha (7/466) dan Mu’jam
al-Wasith, (2/1055)
[39] Qs. Al-Nisa: 34
[40] QS. Al-Baqarah: 83
[41] QS. Al-Nahal: 125
[42] QS. Thaha: 44
[43] QS. Al-Baqarah: 83
[44] QS. Al-Nisa': 63
[45] HR. Muslim dan telah
ditkhrij pada pembahasan sebelumnya.
[46] HR. Muttafaq alaihi. Lih.
Shahih Bukhary (7204) dan (57-58), HR Musllim (56)
[47] QS. Al-Araf: 62
[48] QS. Al-`Araf: 68
[49] HR. Muttafaq alaih. Lih.
Shahih al-Bukhary (221 dan 6128). HR Muslim (3/196)
[50] HR. Muttafaq alaih Lih.
Shahih al-Bukhary (3779, 4330, 7052, 7244 dan 7245). HR Muslim (7/123)
[51] Lih. Lisanu’l ‘Arabi, bagian jadala (11/105) dan Mu’jam
al-Wasith, (1/111)
[52] Lih. Al-Kulliyat, Abi al-Baqa`, hal. 145.
[53] Lih. At-Ta’rifat, Jurjaniy, hal. 66.
[54] Lih. Al-Mishbah al-Munir, hal. 128.
[57] Lih. Surat an-Nahal: 125 dan surat Al-‘Ankabut: 46.
[58] QS. Al-Nahal: 125
[59] QS. Al-Kahfi: 54
[62] QS. Al-Nahal: 125
[63] QS. Al-Ankabut: 46
[64] QS. Hud: 32
[65] QS. Al-Baqrah: 258
[66] QS. Al-An`am: 25
[67] Lih. Kembali al-Faqih wa al Mutafaqqih, (1/ 230-235) dan Jami’
Bayani’l ‘Ilmi wa Fadhlihi, (2/ 92-108)
[68] Lih. Al-Faqih al-Mutafaqqih, (2/ 25-37) dan Ihya ‘Ulumuddin,
(1/ 42-45) dan (116 dan 118)
[69] Lih. Risalah al-Adab fi ‘Ilmi Adabi al-Bahtsi wa al-Munazharah, Syaikh
Muhammad Muhyuddin Abdul Hamid dan Adab al-Bahtsi wa al-Munazharah, Syaikh
Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi, dan risalah Fi Ushuli al-Hiwar, yang
terdapat pada Seminar Internasional bagi pemuda muslim dan Qawa’id fi Ushuli
Al-Hiwar Warda asy-Syubhat”, Dr. Abdullah ar-Rahiliy
[70] QS. Ali Imran: 65-66
[71] QS. Al-Baqarah: 258
[72] “Dar`u Ta’arudhi al-‘Aqli wa an-Naqli” (1/357)
[73] Lih. Surat al-Baqarah: 30-33.
[74] Lih. Surat Shad: 5.
[75] Lih. Surat Ghafir: 56 dan surat Shad: 71-76.
[76] Lih. Surat At-Taubah: 64-65.
[77] Lih. Surat Al-Anfal: 5-6.
[78] Lih. Ghafir: 5 dan Al-Kahfi: 56.
[79][79] Lih. Istikhraj al-Jadal fi al-Qur’an al-Karim, Ibnu
al-Hanbaliy, ditahkik oleh Dr. Zahir ‘Awadhu al-Alma’i dan kitab Manahiju
al-Jadal fi al-Qur’an al-Karim, Dr. Zahir ‘Awadhu al-Alma’i.
[80] Lih. Lisanu’l ‘Arabi, bagian (Qadawa) (15/171) dan Mu’jam
al-Wasith, (2/727)
[85] QS. Al-An`am: 90
[86] QS. Al-Shaf: 2-3
[87] HR Bukhari (631 dan 6008)
[88] HR Bukhari (3371) dan
juga Nasa'i
[89] HR Bukhari (521) HR
Muslim (5/107)
[90] HR Bukhari (2731-2732)
dan dan Za`adul Ma`ad (3/295)
[91] HR Bukhari (677) dan (824)
[92] HR Bukhari (4277)
[93] HR Bukhari (6101 dan
6102)
[94] HR Bukhari (1975) dan
(5063) HR Muslim 1159, 1401 dan 1557)
[95] QS. Al-Nisa': 34
0 Comment