ANALISIS
TERHADAP PENDAPAT HANAFIAH TENTANG TAKHARUJ
A. Dalil Hanafiah Tentang Takharuj
Masalah takharuj adalah masalah yang baru dan
tidak terdapat penjelasannya di dalam nash al-Qur’an maupun Hadist Nabi SAW.
Oleh karena itu, dalil yang memperbolehkan takharuj ini adalah dalil yang tidak
disepakati oleh para ulama, sehingga perbedaanpun terjadi dalam menetapkannya.
Adapun
dalil yang menyatakan tentang adanya takharuj adalah sebuah atsar yang
peristiwanya terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin ‘Affan. Atsar
tersebut berbunyi :
عن أبي يوسف
عمن حدثه عن عمرو بن دينار عن ابن عباس : أن احدي نساء عبد الرحمن بن عوف صلحوها
على ثلاثة و ثمانين ألفا على أن أخرجوها من الميراث[1]
Artinya : Dari Abi Yusuf dari seseorang
yang menceritakan kepadanya dari ‘Amru
bin Dinar
dari Ibnu ‘Abbas : salah
seorang istri Abdurrahman bin ‘Auf
diajak untuk berdamai oleh para ahli waris terhadap harta sejumlah
delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari pembagian harta warisan.
Peristiwa tersebut adalah pembagian harta
peninggalan Abdurrahman bin ‘Auf yang dilakukan oleh para istri dan
anak-anaknya. Dalam pembagian tersebut salah seorang dari istrinya yang bernama
Thumadir bersepakat dengan istrinya yang lain untuk keluar dari pembagian harta
warisan dengan menerima imbalan sebesar delapan puluh tiga ribu dinar.
Atsar tersebut adalah
satu-satunya dalil yang membicarakan masalah takharuj. Tidak ditemukan
adanya peristiwa takharuj lain yang terjadi dan dalil yang
membicarakannya. Ulama-ulama Hanafiah berpegang pada atsar tersebut
dalam melegalkan takharuj.
Pada
dasarnya takharuj adalah salah satu cara pembagian harta warisan dengan
menggunakan prinsip-prinsip musyawarah. Para
ahli waris mempunyai peranan dan pengaruh dalam menentukan cara pembagian dan
besarnya bagian dari masing-masing mereka. Namun pembagian tersebut membuat
beberapa prinsip dalam hukum kewarisan Islam diabaikan.
Hanafiah
dan jumhur ulama berbeda pendapat dalam hal dalil yang digunakan dalam
membolehkan takharuj. Ini terkait dengan kedudukan dalil tersebut dalam metode
istinbat hukum mereka. Perbedaan ini menjadi penyebab perbedaan mereka dalam
menetapkan hukum takharuj.
Hukum
kewarisan ditetapkan dengan dalil yang qathi’i, yaitu al-Qur’an dan
Sunnah. Di dalamnya telah dijelaskan secara terperinci tentang bagaimana cara
membaginya, siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian
masing-masing. Disamping itu al-Qur’an dan Sunnah juga menegaskan tentang
keharusan untuk membagi harta warisan tersebut sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan.
Sementara
kalangan Hanafiah disamping mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam
al-Qur’an dan Sunnah tersebut, memiliki pandangan yang lebih luas dan kompleks
dalam hal memahaminya. Ketika terjadi peristiwa takharuj seperti yang
ada dalam atsar tersebut, Hanafiah dengan rasional kemudian
membolehkannya. Dengan cermat Hanafiah menempatkan takharuj sebagai
salah satu bentuk jual beli harta warisan sehingga membuatnya tidak
bertentangan dengan prinsip kewarisan Islam.
Perbedaan
Hanafiah dengan jumhur terletak pada bagaimana kedudukan atsar tersebut
dalam dalil yang mereka gunakan ketika mengistinbatkan hukum. Penulis menilai
bahwa atsar tersebut dalam dalil yang digunakan oleh Hanafiah adalah Qaul Shahabi atau Fatwa Sahabat.
Dalil ini termasuk kedalam dalil yang
tidak disepakati oleh para mujtahid.
Qaul
Sahabi atau sering juga disebut dengan Fatwa
Sahabi dan Mazhab Sahabi adalah perkataan atau pendapat seorang
sahabat tentang sebuah perkara. Hal ini banyak dilakukan oleh para sahabat
setelah wafatnya Nabi SAW seiring dengan banyaknya pertanyaan atau perkara yang
diajukan pada mereka. Qaul Sahabi berbeda dengan Ijma’ Sahabi
dari segi kekuatan dan sumbernya. Qaul Sahabi merupakan pendapat sahabat
secara perorangan dan kedudukannya masih diperselisihkan oleh para ahli ushul.
Bahkan menurut Amir Syarifuddin, Asnawi dalam kitabnya Syarh Minhaj al-Ushul
menempatkan Qaul Sahabi sebagai dalil syar’i yang ditolak.
Sedangkan Ijma’ Sahabi adalah dalil syara’ yang mempunyai
kedudukan yang kuat dan tinggi karena diterima oleh semua ahli ushul.
Hanafiah
sendiri dalam penggunaan dalil menempatkan Qaul Sahabi pada posisi yang
tinggi dibawah al-Qur’an dan Sunnah. Hanafiah tidak mempermasalahkan apakah Qaul
Sahabi tersebut berasal dari beberapa orang sahabat atau hanya dari satu
orang saja. Hal ini karena Hanafiah menilai bahwa sahabat merupakan orang-orang
yang istimewa. Mereka hidup dan bergaul bersama Rasulullah. Mereka pun turut
menyaksikan proses turunnya wahyu dan bagaimana hukum dibentuk. Karena itu
pengetahuan mereka dekat dengan kebenaran. Hanafiah dapat menerima Qaul
Sahabi meskipun hanya berasal dari satu orang.
Sementara
jumhur ulama hanya menerima Qaul Sahabi yang dikeluarkan secara kolektif
sebagai dalil yang kuat. Qaul Sahabi yang dikeluarkan oleh satu orang
sahabat saja rentan dengan kesalahan. Ini menunjukkan bahwa jumhur ulama sangat
hati-hati dalam menerima sesuatu sebagai dalil karena akan berdampak pada
produk hukum yang dihasilkannya.
Penulis
melihat bahwa Hanafiah menjadikan atsar tersebut sebagai dalil mereka untuk
membolehkan takharuj dengan beberapa alasan :
a.
Peristiwa takahruj
tersebut terjadi pada masa Khalifah Usman bin ‘Affan. Ketika peristiwa tersebut
terjadi, ia memperbolehkan dan tidak melarangnya.
b.
Persetujuan Usman ini
dianggap sebagai fatwa. Hanafiah dalam metode istinbat hukumnya menempatkan Fatwa
Sahabat sebagai salah satu dalil hukum dibawah al-Qur’an dan Sunnah. Dengan
posisi tersebut maka fatwa itu dijadikan dalil yang kuat oleh Hanafiah dalam
membolehkan takharuj.
Penulis menilai bahwa dalil takharuj
memang lemah karena hanya berupa atsar dan tidak ada dalil pendukung
lainnya. Atsar itupun hanya
menceritakan satu kali peristiwa takharuj yang terjadi dan tidak ada
peristiwa selainnya. Namun demikian dalil tersebut dapat menjadi kuat dengan memasukkan
unsur-unsur pendukung lainnya. Misalnya dengan mengaitkan fungsi atsar
sebagai bayan (penjelas) dari nash-nash al-Qur’an dan Hadist. Kemudian
dalil dapat juga dikuatkan dengan melihat mashlahat yang diperoleh dari
peristiwa takharuj tersebut.
Sesungguhnya dari segi dalil, tidak ada
petentangan yang terjadi antara atsar tersebut dengan asas-asas kewarisan Islam
jika dikaitkan dengan tujuan umum diciptakannya sebuah hukum yaitu untuk
kemashlahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi :
اين
ما تكون المصلحة فثم شرع الله
Artinya : Dimana ada
kemashlahatan maka disana ada hukum Allah
Kaidah
tersebut menjelaskan bahwa ketika ada kemashlahatan yang dihasilkan dari
sesuatu perbuatan maka sebenarnya disana ada hukum Allah. Jadi ketika pada
pelaksanaan takharuj ada kemashlahatan ahli waris yang didapat, maka
sesungguhnya telah ada hukum yang membolehkannya.
Disamping itu, takharuj sebagai salah
satu bentuk mu’amalah yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat, merupakan
sesuatu hal yang diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan prinsip dan
tujuan hukum yang terkandung didalam al-Qur’an dan Sunnah atau tidak ada dalil
yang melarangnya. Kaidah fikih juga menyatakan :
الأصل في المعاملة الاباحة حتي يدل الدليل علي التحريم[2]
Artinya : Asal dalam sebuah mu’amalah adalah boleh sehingga ada dalil
yang mengharamkannya.
Karena itu penulis menilai
bahwa dalil yang digunakan oleh Hanafiah dapat diterima dan tidak bertentangan
dengan asas-asas kewarisan Islam karena pada dasarnya keduanya mempunyai tujuan
dan maksud yang sama, yakni menciptakan kemashlahatan bagi ahli waris.
B. Takharuj adalah jual beli harta warisan
Pendapat Hanafiah dalam kitab Syarah Fathu Qadir
menyebutkan bahwa takharuj dibolehkan karena ia adalah sebagai bentuk
jual beli harta warisan. Dalam prakteknya memang terjadi semacam transaksi jual
beli, yaitu ahli waris yang keluar menerima imbalan dari ahli waris yang lain
sebagai ganti atas harta warisan yang menjadi haknya.
Penulis melihat bahwa pandangan seperti itu sangat
rasional dan tepat mengingat bahwa secara substansi takharuj memang
sebuah bentuk jual beli harta warisan meskipun secara langsung akadnya tidak
seperti akad jual beli pada umumnya. Hal pokok yang mendasari pendapat Hanafiah
ini adalah adanya imbalan yang diberikan
kepada ahli waris yang keluar. Pemberian imbalan itulah yang mengisyaratkan
telah terjadi transaksi jual beli diantara kedua belah pihak. Disatu sisi ahli
waris yang keluar adalah sebagai pihak penjual dan disisi lain ahli waris yang
menerima adalah sebagai pihak pembeli. Sedangkan yang menjadi objek jual
belinya adalah bagian atau furud yang ditinggalkannya tersebut.
Dalam konteks jual beli secara umum, ada rukun-rukun
yang harus dipenuhi agar jual belinya dianggap sah. Rukun-rukun tersebut adalah
penjual, pembeli, barang yang diperjual belikan, dan ijab kabul . Namun hal ini berbeda dengan rukun
jual beli versi Hanafiah. Menurut mereka, rukun jual beli adalah ijab kabul yang menunjukkan keridhaan
dari penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi.
Penulis melihat bahwa Hanafiah memandang keabsahan
jual beli pada substansi pelaksanaannya. Keridhaan antara penjual dan pembeli
sudah mencakup segalanya yang terkandung dalam proses transaksi. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat
an-Nisaa’ ayat 29 :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB …..
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu…[3]
Melihat kepada proses takharuj secara jelas
memang tidak terlihat adanya transaksi jual beli seperti jual beli pada umumnya.
Tidak ada yang disebut dengan penjual dan pembeli dan tidak ada akad jual beli.
Namun jika melihat kepada substansinya, hal itu dapat dikategorikan sebagai
jual beli dengan adanya perpindahan kepemilikan disertai dengan keridhaan dari
masing-masing pihak. Dengan demikian takharuj dapat dianggap sebagai
jual beli yang sah dan boleh untuk dilakukan.
Setelah mengkategorikan takharuj sebagai
bentuk jual beli harta warisan, Hanafiah kemudian menetapkan beberapa
persyaratan yang mengiringi pelaksanaannya. Penulis melihat bahwa syarat-syarat
yang ditetapkan oleh Hanafiah tersebut secara umum adalah syarat-syarat
keabsahan jual beli. Diantaranya syarat-syarat tersebut adalah :
a. Syarat
yang berkaitan dengan keridhaan kedua belah pihak
Dalam
hal ini, Hanafiah mensyaratkan bahwa harus ada kesepakatan terlebih dahulu
antara ahli waris yang akan keluar dengan sebagian ahli waris atau dengan
keseluruhan ahli waris. Penulis melihat bahwa Hanafiah mensyaratkan ini
agar prosesnya lancar dan tidak
menimbulkan sengketa dikemudian hari. Kesepakatan diantara ahli waris akan menunjukkan
bahwa mereka ridha dan tidak mempermasalahkannya. Syarat ini menjadi penting
karena dengan itulah takharuj menjadi sah dan dianggap sama dengan jual beli.
b. Syarat
yang berkaitan dengan barang yang diperjual belikan
Dalam
takharuj, yang menjadi objek transaksi adalah bagian dari ahli waris
yang keluar. Bagian tersebut yang diperjualbelikan dan ditransaksikan oleh para
ahli waris. Oleh karena itu, Hanafiah memberikan beberapa persyaratan untuk
keabsahannya. Diantara syarat-syarat tersebut adalah :
1. Bagian
ahli waris yang keluar tersebut telah diketahui jumlahnya.
2. Transaksi
harta warisan yang berupa benda tetap dan benda yang bergerak berbeda. Kalau
berupa benda tetap maka transaksinya seperti jual beli biasanya, dan yang
berupa benda bergerak seperti emas dan perak transaksinya mengikuti transaksi
mata uang.
Penulis
melihat syarat-syarat yang diberikan oleh Hanafiah ini erat kaitannya dengan
tata cara jual beli pada umumnya. Dalam hal bagian ahli waris yang keluar, hal
ini mutlak harus diketahui terlebih dahulu, karena syarat barang yang diperjual
belikan harus jelas dan dimiliki secara penuh. Meskipun bagian tersebut secara
konkret belum dimilikinya, tetapi secara hukum sudah menjadi haknya dan ia
dapat melakukan transaksi terhadapnya.
Kemudian
Hanafiah juga memberikan ketentuan tentang tata cara bertransaksi dengan harta
warisan yang berupa emas, perak atau mata uang lain pada umumnya. Dalam hal
hartanya berupa emas, maka transaksi yang dilakukan hendaklah dengan
menggunakan mata uang lain dan harus dilebihkan. Begitu juga jika hartanya
berupa perak, maka harta yang dijadikan imbalan harus harta yang berbeda. Hal
ini karena harta-harta tersebut adalah diantara benda-benda ribawi dan dilarang
melakukan transaksi harta yang sejenis dengan memberikan kelebihan.[4]
Oleh
karena itu, jika ingin meraih keuntungan dari jual beli tersebut, hendaklah
bertransaksi dengan memberikan harta yang berbeda dan memberikan kelebihan
dalam imbalan. Kelebihan yang diharuskan oleh Hanafiah dalam transaksi tersebut
merupakan konsekuensi terjadinya sebuah jual beli, dimana disetiap transaksinya
pihak penjual pasti ingin meraih keuntungan.
C. Tujuan Takharuj
Pada
dasarnya, tidak ada orang yang ingin melepaskan haknya atau memberikan hak yang
telah dipunyainya kepada orang lain. Apalagi kalau hak tersebut berkaitan
dengan harta dan kekayaaan. Karena memang kecendrungan kepada harta merupakan
sebuah fitrah yang diletakkan oleh Allah pada manusia, sebagaimana firmanNya
dalan al-Qur’an surat
Ali Imran ayat 14 :
z`Îiã
Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$#
Artinya
:. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).[5]
Penulis
melihat bahwa seseorang yang bertakharuj bukan disebabkan oleh
keinginannya untuk tidak mengambil bagiannya atau melepaskan sama sekali harta
warisan tersebut kepada ahli waris yang lain. Tapi penulis melihat ada
mashlahah yang ingin dicapainya dari harta warisan tersebut.
Seseorang
yang bertakharuj adakalanya karena ia membutuhkan harta dalam waktu yang
cepat, sementara harta warisan belum dibagi. Kalau menunggu pembagian harta
terlebih dahulu, maka kebutuhannya tadi tidak terpenuhi. Atau harta warisan
adalah sebuah rumah dengan ahli waris yang banyak, sementara rumah tersebut
tidak bisa dibagi layaknya uang. Maka ahli waris yang keluar kemudian melakukan
kesepakatan dengan para ahli waris supaya ia dapat mengambil haknya terlebih
dahulu dan melepaskan diri dari rumah tersebut. Dengan kesepakatan itu, maka
akan ada ahli waris yang akan mengganti bagiannya tersebut.
Disini
penulis melihat bahwa tujuan utama bertakharuj adalah kemashlahatan para ahli waris. Kemashlahatan merupakan
tujuan pembentukan hukum pada umumnya, seperti yang diungkapkan oleh kaedah fikih
berikut :
اين
ما تكون المصلحة فثم شرع الله
Artinya : Dimana ada mashlahah, maka disitu ada hukum
Allah
Kaidah tersebut menyatakan bahwa
pada dasarnya tujuan Allah menetapkan sebuah hukum adalah untuk kemashlahatan
hambaNya. Karena itu dimanapun ada kemashlahatan maka disana ada hukum Allah.
Meskipun takharuj tidak disebutkan secara tegas
dalam sebuah nash, namun dari tujuan pelaksanaannya sejalan dengan
tujuan hukum kewarisan, yaitu untuk menghindari terjadinya sengketa. Jadi
dengan demikian, takharuj sesuai dan sejalan dengan nash-nash
al-Qur’an dan hadist.
[1]
Ibnu al-Humam, Syarah Fathu al-Qadir, (Kairo : Darul Fikri,
t. th), juz 8, h. 440
[2] Jalal al-Din Abdurrahman
al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Najzair, (Singapura : Sulaiman Mari’e, t.
th), h. 223
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya (Bandung : Diponegoro, 2008), h. 83
[4] Shalih bin Fauzan
al-Fauzan, al-Mulakhas al-Fikih, diterjemahkan oleh Asmuni dengan judul
Ringkasan Fikih Lengkap, (Jakarta
: Darul Falah, 2005), h. 516
[5]Departemen
Agama RI, op. cit, h. 56
0 Comment